Isu pertama adalah adanya budaya turun temurun, yang memilah olahraga layak dan tidak layak untuk kaum wanita. Sepak bola, tinju, gulat, dll yang digolongkan sebagai OR maskulin.
Baca Juga: Liverpool Kalahkan Southampton, Penentuan Juara Liga Inggris Terjadi di Laga Pamungkas
Pelabelan “jalingkak” menjadi alasan utama. sehingga dampaknya, tidak banyak anak perempuan yang mendapat dukungan, walaupun memiliki potensi.
Isu kedua, dalam keseharian, anak perempuan selalu diidentikan dengan kelemahlembutan, dan anak laki-laki sebagai sosok hebat, kuat, perkasa.
Komentar “pukulanmu lembek seperti anak perempuan”, ketika anak laki memukul dengan lemah, atau “larimu hebat seperti anak laki-laki”, ketika anak perempuan bisa berlari kencang, lumrah terlontar di masyarakat.
Beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa stereotip gender mempengaruhi aktivitas olahraga pada wanit. Hal ini terutama berlaku untuk olahraga yang biasanya dianggap cocok untuk laki laki.
Baca Juga: Cek Tangal Tayang, Sinopsis, dan Deretan Pemeran Film Mengejar Surga, Drama Religi Tanah Air
Masih ada stereotif tentang “u throw like a girl” atau “girl should cock rather than kick”. Sekecil apapun stereotif itu, pada dasarnya dapat merusak dan mengancam keyakinan anak permpuan dalam aktivitas olahraga.
Deklarasi UNESCO tahun 1978 silam, disyahkannya UU no 3 tahun 2005, membuka peluang bagi kaum wanita untuk mensejajarkan diri dengan kaum laki-laki dalam aktivitas olahraga.
Olahraga merupakan bagian dari HAM yang dilindungi UU. Terbuka peluang bagi kaum wanita, tidak saja terbuka untuk menjadi atlet dalam semua cabang olahraga yang dianggap sebagai miliknya kaum laki laki, namun juga bisa berkiprah sebagai pelatih atau pimpinan organisasi OR.