Komnas HAM Sebut Penerapan Pasal Penodaan Agama Cenderung Diskriminatif di Beberapa Daerah

- 22 Agustus 2020, 05:10 WIB
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. /



GALAMEDIA - Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyoroti penerapan pasal penodaan agama yang cenderung diskriminatif di beberapa daerah.

"Kadang-kadang enggak jelas batasannya untuk kasus tertentu dianggap sebagai penodaan agama di kasus lain tidak. Jadi ada unsur diskriminasi juga terutama antara mayoritas minoritas," kata Taufan dalam diskusi bertajuk tren penodaan agama di Indonesia, Jumat 21 Agustus 2020.

Dia memberi contoh diskriminasi penerapan pasal penodaan agama misalnya jika dilakukan kelompok mayoritas di wilayah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama muslim, maka cenderung selamat dari deliknya. Akan tetapi jika dilakukan oleh kaum minoritas akan diproses hukum.

"Kalau itu di Jawa yang mayoritas muslim kalau itu dilakukan oleh orang atau tokoh yang beragama Islam dia selamat dari deliknya, tapi kalau dilakukan dengan minoritas terbalik, dia akan kena dengan pasal itu atau kasus yang kurang lebih sama," ujarnya.

"Sebaliknya kalau di NTT dia akan sama nasibnya seperti di Jawa dan Sumatera, jadi bukan hanya fleksibel pasalnya, tapi juga dia cenderung diskriminatif dan menimbulkan problem yang berdampak pada sosial politik kita," imbuhnya.

Selain itu Komnas HAM menyoroti kasus penodaan agama yang diterapkan pada kasus Meiliana yang viral akibat terganggu karena suara azan dari toa masjid.

Menurutnya kasus itu tak punya konsekuensi atas dampak sosial, tetapi ada pihak yang memviralkan dan mengaku terganggu sehingga diproses pidana.

Namun di sisi lain, ada pula kasus penodaan agama yang dibebaskan karena efek lobi kepada aparat penegak hukumnya.

"Kasus Meiliana agak sedikit berbeda ya, saya selalu mengatakan saya juga diminta diskusi tentang overcrowded di lapas dan di rutan kalau misalnya kasus-kasus seperti itu kita pidanakan ya enggak enak lah penjara kita makin penuh hanya karena seorang ibu-ibu yang nyinyir karena ada toa yang keras di depan rumahnya pidana. Memang perilaku Meiliana kurang sopan tapi bukan berarti dipidana," ungkapnya.

Komnas HAM menilai berbagai regulasi terkait pasal penodaan agama justru cenderung menimbulkan masalah, terutama cenderung marak terjadi pada masa pemilihan umum. Adapun regulasi terkait penodaan agama misalnya Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Pasal 156A KUHP.

Dalam penerapannya, ketentuan yang digunakan berlapis dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diantaranya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE), serta UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Serta surat edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.

"Kita punya berbagai regulasi yang regulasi ini sebetulnya sudah banyak menimbulkan masalah, dia bisa mengenai siapa saja apalagi kalau dalam situasi politik yang sedang hangat Pilkada, Pileg, Pilpres, Pemilu itu menambah siapa-siapa saja bisa kena."

"Tambah lagi UU ITE, UU Kemasyarakatan, Surat Edaran Kapolri sendiri juga kurang lebih menegaskan sehingga para penegak hukum di bawah kalau ada pengaduan langsung mengambil tindakan dengan regulasi yang ada," ujarnya.

Lebih lanjut, Komnas HAM telah membuat Standar Norma dan Pengaturan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Komnas HAM juga telah memberikan rekomendasi kepada DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU KUHP sebelumnya.

Komnas HAM menilai pengaturan mengenai keagamaan tumpang tindih dengan UU ITE sehingga Taufan mendorong adanya perumusan definisi yang lebih jelas mengenai frasa permusuhan.

Selain itu, Komnas HAM mendorong agar penerapan pasal penodaan agama diberikan pada tokoh masyarakat karena bisa berdampak luas dan berhati-hati mengeluarkan pendapatnya.

"Kalau kita mau cermat, mau fokus sebetulnya dia harus arahkan kepada pihak-pihak yang kita sebut sebagai pemimpin agama, pemimpin politik atau tokoh karena dampaknya kalau dia menimbulkan keributan itu lebih besar peluangnya oleh orang-orang berpengaruh itu apalagi oleh pengambil kebijakan, bukan oleh orang biasa," ujarnya.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x