“Sense of Crisis” ala Islam

9 Juli 2020, 08:58 WIB
/

SAAT berpidato membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, 18 Juni lalu, Jokowi mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja sejumlah bawahannya. “Saya harus ngomong apa adanya, tidak ada progres signifikan (dalam penanganan krisis Covid-19). Tidak ada,” kata Jokowi dalam video sidang kabinet tersebut yang baru diunggah Sekretariat Presiden di akun Youtube resminya, Minggu (28/6). Video tersebut sontak menjadi tagline di berbagai lini media. Hal itu terjadi karena di video tersebut Presiden tampak sangat marah dan emosional terhadap kinerja para menterinya. Kekecewaan dan kemarahan presiden ini sehingga mendesak para menteri untuk membuat langkah dan kebijakan extraordinary, yang menurutnya bentuknya bisa pembuatan aturan baru dan presiden siap mendukung jika memang dibutuhkan untuk membuat perppu atau reshuffle.

Begitulah, dampak dari makhluk tak kasat mata. Covid-19 masih menjadi momok yang menakutkan bagi negeri ini dan dunia pada umumnya. Ukurannya yang nanometer, tapi mampu membuat dunia kewalahan terguncang krisis. Pun juga di negeri ini. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat, masih tingginya angka kematian Covid-19 dan yang positif terpapar virus, menjadi hal yang begitu melelahkan bagi punggawa negeri. Sehingga presiden menuntut lebih kinerja kabinetnya, bahkan mendesak para menteri untuk membuat langkah dan kebijakan extraordinary.

Baca Juga: Donald Trump Ngeyel Buka Sekolah, Ancam Potong Anggaran Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit

Perlu disadari, yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi ini bukan hanya langkah dan kebijakan yang sifatnya extraordinary, namun landasan yang benar dalam pengambilan kebijakan itu sendiri. Selama kebijakan tersebut masih berlandaskan kapitalisme sekuler, niscaya lagi-lagi yang diuntungkan hanyalah kaum kapitalis, bukan masyarakat pada umumnya. Alih-alih negeri ini terbebas dari pandemi, bisa jadi kita malah selalu berkubang dalam penderitaan. Na’udzubillahimdzalik.

Disadari atau tidak, nyatanya penanganan pandemi di negeri ini masih jauh panggang dari api. PSBB yang digadang-gadang mampu menekan angka Covid-19, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Angkanya terus merangkak naik. Ditambah kebijakan new normal (padahal masih abnormal), membuat euforia di tengah masyarakat tak terkendali. Berduyun-duyun keluar rumah, memenuhi mall, car free day dan spot keramaian lainnya. Sampai lupa bahwa sesungguhnya pandemi masih “menemani”. Maka, untuk punggawa negeri janganlah menaruh heran jika penanganan Covid-19 ini belum ada progres signifikan. Karena berbagai kebijakan di negeri ini, Anda juga yang menentukan.

Baca Juga: Kornas MP BPJS Usul Bebaskan Pajak Klaim JHT Selama Covid-19

Semenjak virus ini masih berada di negeri asalanya (Wuhan), belum masuk ke Indonesia, para penguasa di negeri ini bukannya sesigap mungkin melakukan penguncian, malah sibuk berkelakar. Adalah hasil kebijakan penguasa yang berlandaskan kapitalisme, disaat negara-negara lain sigap dan cepat melakukan lockdown, Indonesia malah promosi pariwisata besar-besaran untuk menarik warga negara asing melancong ke negeri ini. Padahal wabah sedang mengintai di seluruh dunia. Lebih absurd lagi adalah masuknya ratusan TKA asal China sebagai episentrum wabah ke negeri ini dengan mudahnya. Belum lagi, ditambah kebijakan new normal, seolah wabah sudah selesai total. Padahal, kurva pandemi kian hari makin meninggi. Wacana pilkada tetap jalan terus, walaupun pandemi belum selesai diurus. Demikianlah, potret penanganan pandemi, di alam kapitalisme saat ini. Dimana “ruh ekonomi” lebih didahulukan dan dikedepankan ketimbang ruh (nyawa) manusianya itu sendiri.

Lain kapitalisme, lain pula dengan Islam. Sebagai sebuah agama sekaligus sistem hidup, Islam punya seperangkat aturan yang lengkap dalam seluruh aspek kehidupan. Kekaffahan Islam ini telah mewujud dalam sebuah negara adidaya yang berdiri tegak kurang lebih 13 abad lamanya, dibawah kepemimpinan para khalifah yang banyak jumlahnya. Kita dapati di masa kekhilafahan Islam yakni di bawah kepimpinan Khalifah Umar bin Khattab, juga pernah dilanda wabah thaun. Kita bisa lihat bagaimana sense of crisis ala Islam, yang dimotori langsung oleh Umar bin Khattab sebagai pemimpin saat itu.

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Hari Kamis, 9 Juli 2020 untuk Wilayah Bandung dan Sekitarnya

Dalam bukunya, “The Great Leader of Umar bin Khattab” karya DR. Muhammad Ash-Shalabi, kita bisa melihat penanganan pandemi di era keemasan Islam ini. Berawal dari keteladan Sang Khalifah, yang sangat bergaya hidup hemat dan sederhana terlebih di kala wabah. Sang Khalifah juga senantiasa bertaubat memohon ampun, semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan senantiasa meminta pertolongan-Nya. Nyawa manusia tetap diprioritaskan, bukan ekonomi yang didahulukan . Ini terbukti dengan sigapnya Khalifah Umar ketika wabah melanda, dengan memberi makan orang-orang yang berduyun-duyun datang ke Madinah sebagai pusat pemerintahan.

Dikisahkan jumlahnya mencapai 70.000 orang yang ikut makan bersama Umar bin Khattab. Selain itu, Khalifah Umar juga menunda pengambilan zakat selama masa sulit. Demikianlah, nyawa manusia dan kebutuhan rakyatnya sangat diperhatikan oleh Sang Khalifah dan rakyat tidak dibebani ketika masih berada di masa sulit (krisis).

Baca Juga: Tak Bekerja di Kantor Selama Tiga Bulan, Presiden Jokowi Sentil Sejumlah Menteri

Khalifah Umar berlaku demikian, karena satu nyawa dalam Islam, dihargai sama dengan seluruh nyawa manusia. Berikut firmannya:”Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”(QS: Al-Maidah: 32).

Ekonomi bisa diperbaiki dan ditumbuhkan kembali. Namun nyawa manusia, hanya satu dan berharga! Karenanya, kebijakan dalam penanganan wabah yang tepat adalah dengan lebih dahulu menyelamatkan nyawa manusia. Iringi juga dengan kemudahan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan: akan kesehatan (janganlah dikomersialisasi), murahnya listrik, gas, pendidikan. Rakyat juga jangan dibebankan aneka pajak. Pemasukan negara bisa diambil dari sumber lain semisal: kharraj, fa’I, jizyah dan pengellaan SDA. Di sinilah, pentingnya landasan kebijakan ala Islam. Bukan ala kapitalisme yang banyak menyengsarakan. Wallahua’lam.

Penulis : Aniyatul Ain, S.Pd
Aktivis Muslimah Kabupaten Tangerang

Editor: Kiki Kurnia

Tags

Terkini

Terpopuler