Pandemi Belum Usai, Sistem Islam Solusi Penyelesaian

- 5 Desember 2020, 11:21 WIB
Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass)
Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Hass) /dokumen pribadi

GALAMEDIAKasus harian Covid-19 di Indonesia kembali pecah rekor. Satuan Tugas atau Satgas Penanganan Covid-19 melaporkan penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 5.534 orang, pada Rabu lalu, 25 November 2020. Dikutip Tempo.co, berdasarkan data Kementerian Kesehatan ada sembilan provinsi yang memiliki kasus harian Covid-19 di atas 100. DKI Jakarta misalnya, menempati peringkat pertama dengan 1.273 kasus. Kemudian Jawa Tengah di urutan kedua dengan 1.008 kasus. Jawa Barat di urutan ketiga dengan 741 kasus.

Sikap pemerintah dalam menangani pandemi corona terlalu lamban, bahkan terkesan meremehkan. Tengok saja, saat dunia ramai-ramai melakukan berbagai upaya maksimal termasuk kebijakan lockdown, pemerintah masih membuka pintu lebar-lebar untuk para wisatawan, terutama dari Cina. Pemerintah bahkan rela membayar para buzzer dan influencer demi menarik sektor pariwisata yang diharapkan bisa menambah pundi-pundi kas negara yang menipis sejak lama. Seraya terus bersikukuh menyebut bahwa Indonesia akan aman dari corona.

Baca Juga: Tilep Bansos Covid-19, Salah Seorang Pejabat Kemensos kena OTT KPK

Nyatanya, tak perlu waktu lama, hari ke hari catatan kasus corona di Indonesia meningkat secara eksponensial. Bahkan, Indonesia pun langsung jadi juara dunia untuk kasus kematian sebagai dampak corona. Jawa Barat pun bertahan di peringkat ketiga kasus covid, hal ini menunjukkan bagaimana penanganan covid di Jawa Barat tidaklah efektif. Pemerintah galau dan sangat gagap menghadapi kasus wabah corona. Buruknya kualitas kepemimpinan, parahnya kondisi keuangan negara serta kuatnya ketergantungan kepada asing nampak menjadi alasan utama.

Namun ironisnya yang selalu jadi alasan adalah kepentingan rakyat banyak. Jika Indonesia benar-benar lockdown, maka terlalu banyak risikonya. Ekonomi akan mandek. Dan ujung-ujungnya, rakyatlah yang akan menderita. Begitu katanya. Akibatnya, rakyat dibiarkan dalam ketidakpastian. Edukasi dan informasi yang kurang membuat mereka mengambil sikap yang beragam. Sosialisasi protokol kesehatan yang lamban disampaikan dan setengah-setengah ditegakkan pun tak efektif membantu langkah pencegahan.

Baca Juga: Jenderal Ini Keluarkan Warning, Bakal Sikat Ormas Berperilaku Preman dan Radikal

Selain karena ada masyarakat yang “terpaksa” wara-wiri untuk mencari penghidupan, tak sedikit pula yang berkeliaran karena kebodohan. Sekolah diliburkan. Tapi sebagian malah memakainya untuk jalan-jalan dan liburan. Mal, pasar, warnet, bioskop tetap saja ramai dikunjungi warga termasuk anak-anak sekolah tanpa rasa bersalah. Maka ketika pandemi corona melanda, pemerintah pun gelagapan. Bukan saja karena fasilitas dan layanan kesehatan yang serba terbatas dan lamban disiapkan, tapi juga karena corona sudah merebak di mana-mana. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak serius dalam penanganan covid ini.

Menelisik apa yang terjadi, tampak bahwa sikap penguasa yang sedemikian memang terkait dengan paradigma kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang diterapkan. Bagi negara pengekor seperti Indonesia, mengambil keputusan itu pasti sulit luar biasa. Bukan rahasia jika negeri ini sudah lama sangat bergantung pada dunia luar utamanya Cina dan Amerika. Maka jika menyangkut kepentingan keduanya, Indonesia seolah tak punya pilihan apa-apa. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang makin jeblok. Tepatnya dibuat jeblok. Untuk memutuskan lockdown saja, galaunya luar biasa, serba dilema.

Baca Juga: Deteksi Dini ABK Harus Dimulai Sejak PAUD, Dosen Psikologi Unisba Lakukan Pendampingan ke Guru PAUD

Halaman:

Editor: Kiki Kurnia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x