Mengangkat Destinasi Desa Wisata

- 14 November 2021, 17:08 WIB
Foto penulis./dok.pribadi
Foto penulis./dok.pribadi /

GALAMEDIA - Pergeseran preferensi travellers milenial akan wisata alam yang lebih terbuka sekaligus bisa menikmati kuliner lokalnya yang unik menjadikan desa wisata sebagai destinasi unggulan yang paling dicari oleh wisatawan dimasa pandemi ini.

Agrowisata, wisata pertanian, desa wisata, wisata ringan, wisata alternative, ekowisata dan beberapa lainnya, yang memiliki arti berbeda dari masing-masing, merupakan deskripsi beragam dari kegiatan pariwisata di daerah pedesaan.

Era kejayaan desa wisata pasca pandemi yang ditunjukan oleh kian menjamurnya pertumbuhan desa wisata di Indonesia saat ini, didasari oleh kenyataan bahwa desa wisata "lebih kuat" dalam menghadapi tantangan di masa pandemi.

Dengan bentangan alam yang luas dan terbuka sangat memungkinkan wisatawan mengeksplorasi aktivitas wisata alamnya dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan yang kemudian akan membuat wisatawan merasa lebih aman dan nyaman di suatu desa wisata.

Baca Juga: Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang: Pelaku Dapat Peringatan, Denny Darko: Dengarkan Baik-baik....!

Saat ini nampak gejala mindset orang bergeser dari bisnis di kota menjadi bisnis di desa. Maka semakin yakinlah bahwa pilihan untuk mengelola desa wisata adalah pilihan yang tepat untuk terus dikembangkan saat ini.

Pengembangan desa wisata akan terakselerasi jika kelompok urban ini menjadi bagian dari aktor bisnis wisata di desa.

Setelah era Perang Dunia II munculnya wisata kreatif pertama ke daerah pedesaan dalam konsep liburan adalah desa wisata.

Desa wisata dalam konteks wisata pedesaan dapat disebut sebagai aset kepariwisataan yang berbasis pada potensi pedesaan dengan segala keunikan dan daya tariknya yang dapat diberdayakan dan dikembangkan sebagai produk wisata untuk menarik kunjungan wisatawan ke lokasi desa tersebut.

Untuk bisa berhasil menjadi desa wisata unggulan maka titik awal bagi penggiat desa wisata adalah secara teliti menentukan target market wisatawannya dengan menggunakan teknik segmentasi yang mengintegrasikan variabel geografis, demografis, psikografis, dan tanggapan konsumen dengan basis potensi keunikan lokal produk desa wisatanya.

Di situ terjadi integrasi sistem kehidupan masyarakat dan alam (human nature) di mana satu desa bisa berbeda atau memiliki kesamaan pada beberapa desa lainnya yang wilayah geografisnya beririsan.

Pada beberapa wilayah lain terdapat desa wisata yang berdekatan dengan kota sehingga produk wisatanya harus unik dan mampu menyerap pasar pada segmen yang variatif.

Baca Juga: Dedi : Don't Panic, Go Vaccine, Go Picnic

Kemudian penggiat desa wisata dapat merumuskan positioning sebagai strategi komunikasi untuk memasuki jendela otak wisatawan yang dilanjutkan dengan merancang diferensiasi (upaya menciptakan perbedaan-perbedaan) produk wisata yang merupakan pengalaman total pengunjung selama melakukan aktivitas di desa wisata (something to see, something to do dan something to buy) yang sifatnya lebih kongkret yang diterjemahkan secara kreatif kedalam marketing mix serta dipahami oleh frontliner-nya.

Dan akhirnya penggiat desa wisata dituntut untuk memperkuat brand-nya melalui peningkatan service yang memuaskan dan proses yang efisien.

Selanjutnya pelaku desa wisata tidak bisa tidak harus menyesuaikan penawarannya dengan NEWA (Nature, Ecotourism, Wellness, Adventure).

Sejak pandemi definisi dari destination branding terlihat semakin membumi karena market cenderung memilih destinasi bukan hanya karena functional benefitnya, tetapi lebih kepada emotional benefit, yaitu image dan reputasi destinasi terutama dalam hal pengelolaan CHSE (Cleanliness-Health-Safety-Environment) - nya.

Dan akhirnya perlahan tapi pasti penggiat desa wisata harus mulai memasarkan desa wisatanya menggunakan platform digital channels dengan mulai membangun digital asset.

Banyaknya pilihan platform digital pemasaran pariwisata saat ini semakin memberikan banyak ruang bagi penggiat desa wisata untuk melakukan banyak inovasi dalam mengemas paket-paket desa wisatanya yang menarik dan berkualitas.

Baca Juga: Rektor UMJ: Kok Seolah Permendikbud Sudah Seperti Kitab Suci, yang Tolak Disebut Penjahat Kelamin

Unsur penting dari destinasi desa wisata adalah partisipasi masyarakat lokal yang ada dan tinggal di dalamnya. Pembangunan desa wisata tidak bisa bergerak secara mandiri pada komunitas bisnis wisata tapi perlu menyatu dengan kebijakan pembangunan desa secara comprehensive.

Masyarakat sadar wisata di desa wisata adalah suatu hal yang mendasar, sehingga membangun masyarakat berbasis wisata, sadar wisata, menjadi hal yang sangat strategis.

Patut diakui pemahaman masyarakat lokal bahwa produk wisata adalah produk kolektif, yang melibatkan seluruh mata rantai produk, masih amat sangat rendah.

Mental "pedagang" penggiat desa wisata, harus dirubah menjadi mental "pengusaha".

Banyak penggiat desa wisata yang sama sekali tidak mengerti, tidak peduli bahwa yang bersangkutan adalah bagian mata rantai produk pariwisata.

Baru beberapa minggu lalu terjadi di Lembang, parkir liar mematok tarif Rp. 150.000,-/bus, tidak ada yang mengawasi dan mengatur disitu. Dan viral di media sosial.

Meski mereka akhirnya diamankan dan dibina, terlambat sudah, saat itu lalu lintas Setiabudhi-Lembang sangat merayap dan terhenti di beberapa titik.

Setelah kejadian itu, beberapa hari kemudian arus lalulintas pergi-pulang lancar, namun ada yang berkomentar kejadian tersebut di atas sempat membuat hilang kunjungan wisatawan ke Lembang.

Baca Juga: Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang, Pelaku Disebut Masih Ada di Sekitar TKP! Ahli Tarot: Dia Mengamati...

Kondisi ini mengingatkan kita akan kejadian serupa yang pernah terjadi di Bali yang sudah sangat "maju" pariwisatanya, tapi ternyata ada satu desa yang jadi titik lemah yang akhirnya ditutup atau dicoret ASITA dari itienary, karena warga desanya suka memalak dan minta paksa uang kepada wisatawan.

Hal ini menguatkan kita bahwa mensinergikan antara sumber daya alam dan sumber daya manusia-nya menjadi kekuatan utama dalam membangun desa wisata dan pariwisata yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

Pengirim:
Yudhi Koesworodjati
- Dosen Tetap Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan
- Pemerhati pariwisata

DISCLAIMER: Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim.

 

 

 

 

 

 

 

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x