Menakar Efektivitas Peminjaman Gawai dan Kuota Gratis untuk Siswa

- 9 September 2020, 16:47 WIB
/

GALAMEDIA - Sebanyak 38.000 siswa SMA sederajat di Provinsi Jawa Barat (Jabar) yang tidak memiliki telepon pintar akan diberikan pinjaman gawai berupa tablet. Dinas Pendidikan (Disdik) berharap gawai itu bisa membantu mereka belajar daring selama pandemi Covid-19. Kepala Disdik Pemprov Jabar Dedi Supandi mengatakan, puluhan ribu siswa tingkat SMA itu berasal dari keluarga prasejahtera. Selama ini, mereka kesulitan belajar jarak jauh karena tidak punya ponsel pintar. (iNews.Jabar.id, 1/9/2020)

Pandemi Covid-19 memang berpengaruh kepada perubahan di semua aspek termasuk pendidikan. Sekolah daring (dalam jaringan) alias online, kini menjadi bagian keseharian kegiatan belajar di era pandemi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, punya alasannya. Menurut Nadiem, konsep sekolah daringlah satu-satunya solusi yang bisa diupayakan bagi sistem pendidikan di era pandemi, atau anak didik malah tidak belajar sama sekali.

Sebagai solusi primer, alasan Nadiem memang logis. Namun, untuk solusi sekunder, sekolah daring yang ditawarkan kementeriannya belum cukup mampu mengatasi problem sistemis sekolah daring ini. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang ia gadang-gadang dapat menyuplai kesulitan ekonomi anak didik, nyatanya masih bertepuk sebelah tangan. Faktanya, sekolah daring tak hanya butuh pulsa dan kuota data, tapi juga perangkat lain, yakni gawai (gadget) -entah itu ponsel pintar (smartphone) ataupun komputer jinjing (netbook)-. Tentu saja perangkat tersebut tak mungkin disediakan melalui dana BOS.

Baca Juga: Ubah Kalimat Alquran, Sejumlah Anggota Paguyuban Tunggal Rahayu Mengundurkan Diri

Dipinjami, istilah yang cukup menggelitik menurut saya, mengingat pemerintah berkewajiban untuk meri'ayah masyarakat. Apakah dengan strategi peminjaman gawai dan pemberian kuota akan efektif? Bagaimana jika gawai tersebut rusak? Apakah harus diganti? Bagaimana jika gawai tersebut digunakan siswa tidak hanya untuk belajar? Dampak dari kebijakan ini akan bagaimana?

Sebetulnya kondisi pendidikan hari ini merupakan dampak dari pendidikan berbasis sekuler-kapitalisme yang tak siap dengan kurikulum di masa pandemi. Pelaksanaan sekolah daring acap kali terhadang banyak kendala. Di antaranya ketika ada orang tua yang tidak memiliki perangkat android. Juga daerah-daerah yang tak terjangkau listrik dan sinyal internet.

Belum lagi bagi para siswa yang orang tuanya kurang berpendidikan dan murni mengandalkan belajar hanya dari sekolah. Tentu belajar sendiri di rumah butuh upaya lebih keras dari diri siswa itu sendiri. Sebab, ketika sekolah normal seperti sebelumnya, siswa bisa mendapat pendampingan lebih intensif dan efektif dari gurunya.

Baca Juga: Kasus Covid-19 di Indonesia Hari Ini Bertambah 3.307, Stadion Patriot Disiapkan Untuk Tampung Pasien

Kendala-kendala seperti ini semestinya turut dipikirkan matang oleh pemerintah, baik pembiayaan dan antisipasi segala kemungkinan yang harus disiapkan ataupun diupayakan. Memang, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, sempat mengingatkan pemerintah. Terkait langkah konkret sebagai opsi mitigasi sekolah daring, agar pemerintah memberikan kuota internet gratis kepada anak-anak yang harus belajar dari rumah.

Karena jika sulit ekonomi demi membeli pulsa/kuota data ini (dibiarkan) berkepanjangan, justru sangat mungkin menurunkan kualitas SDM anak-anak masa usia sekolah. Di samping itu, bukankah dana pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 memang lumayan besar? Apakah dana tersebut hanya terkonsentrasi untuk sektor kesehatan?

Boleh saja anggaran besar digelontorkan untuk sektor kesehatan demi mengatasi pandemi. Negara memang wajib untuk itu. Hanya saja, sektor lain tidak boleh diabaikan, terlebih banyak dana lain yang bisa dialihkan ke sektor yang lebih utama, yakni pendidikan ini.

Baca Juga: Gubernur Jabar Minta Setiap Daerah Contoh Kota Bogor yang Berlakukan Jam Malam dan PSBM

Namun demikian, sekolah daring menghadapi dilema. Di satu sisi begitu banyak keluarga yang ekonominya jatuh. Mereka korban PHK, dirumahkan, bisnis sepi, dan lain sebagainya. Di sisi lain, mereka ternyata harus memperjuangkan kocek untuk anggaran lain demi sekolah putra-putrinya. Untuk membeli pulsa/kuota internet, misalnya.

Dana BOS yang diklaim Pak Menteri akan meng-cover proses pembelajaran daring ini, nyatanya tak semulus yang dijanjikan. Masyarakat, yang mayoritas kalangan ekonominya mendadak jadi menengah ke bawah di tengah pandemi, tetap harus berjaga-jaga. Siap-siap dana lebih. Selain untuk mengisi perut, pun agar sekolah bisa berlangsung.

Tak jarang, mereka harus bertaruh, beli beras atau kuota internet. Itu pun belum tentu sinyal internet lancar di wilayah tempat tinggal mereka, bahkan meski menggunakan WiFi. Bagaimanapun, sinyal internet seringkali masih ruwet dalam pertarungan lalu lintas antara 3G dan 4G. Belum termasuk sinyal 5G yang turut menjadi penyelia seluler.

Baca Juga: Kolaborasi Kebaikan untuk Gerakkan Ekonomi Indonesia

Sungguh tak sedikit kisah ironis, dramatis, hingga prihatin, yang diberitakan di sejumlah media tentang hal ini. Di antara mereka ada yang harus belajar daring di pinggir jalan raya, di atas pohon, kebun, pinggir tebing/jurang, dan lokasi lain yang sebenarnya sama-sama tidak kondusif untuk belajar. Pun tak sedikit anak didik yang mencoba menambah pemasukan dengan berjualan nasi bungkus atau barang lainnya. Hingga yang nekat, ada anak didik rela jual diri seperti yang terjadi di Batam beberapa waktu yang lalu.

Sedangkan mereka yang benar-benar tak punya ponsel pintar, pada akhirnya terpaksa memilih belajar luring (luar jaringan) seorang diri di sekolah, tanpa teman-teman sekelasnya, hanya didampingi guru yang bersangkutan.

Demikianlah serba-serbi seputar daring serta beragam upaya demi nominal receh untuk sekadar beli pulsa/kuota data. Membuat para orang tua mengurut dada. Pasalnya, semua upaya mereka itu semata demi tetap meraih hak pendidikan. Demi mengejar sinyal harus merogoh kocek yang tak sedikit. Perkara hitung-hitungan anggaran dan harga paket kuota data, silakan bisa dihitung sendiri-sendiri, bisa dikomparasikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing.

Baca Juga: 7 Bulan Tak Bayar Gaji Karyawan, PT INTI Tagih Telkom dan Mulai Lirik Bank BUMN

Belajar daring pun justru membuahkan diskriminasi pendidikan. Realitasnya, lagi-lagi hanya mereka yang punya uang yang bisa sekolah. Karena hanya yang punya uang yang bisa beli pulsa/kuota data yang besar beserta perangkat penunjang lainnya. Menyikapi problem demikian, betapa ini semua tak bisa berhenti pada aspek teknis pembelajaran semata. Tapi juga berdampak luas pada aspek lainnya, tak terkecuali aspek sosial dan ekonomi.

Demikianlah ketika pendidikan tidak diposisikan sebagai instrumen penting pencetak konstruktor peradaban. Akibatnya, penguasa tak tampak serius menggarap sektor ini. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan hanya bersifat instruktif, tak jarang juga menghadapi ancaman adanya output pendidikan yang justru destruktif.

Dengan kata lain, anak didik yang sudah sekolah, seringkali nasibnya malah berakhir menjadi sampah peradaban. Mereka tidak tampil menjadi kaum terpelajar. Tak sedikit ditemukan kasus mantan anak berprestasi yang di masa depan menjadi generasi yang salah, seperti koruptor maupun predator seksual.

Baca Juga: Jika ASN Pemkab. Bandung Terbukti Mendampingi Pasangan Calon Akan Ditindak

Apakah ini output pendidikan yang kita harapkan? Karena itu, sungguh, ketika di masa pandemi ini mayoritas orang sedang meningkat religiusitasnya, hendaknya sistem pendidikan dikembalikan fungsinya sebagai instrumen ketaatan dan ketakwaan.

Hanya sistem pendidikan Islam yang mampu atasi permasalahan ini, tentunya didukung sistem ekonomi dan politik yang kuat. Negara wajib menfasilitasi pedidikan rakyat secara gratis dan berkualitas. Karena itu seharusnya dalam kondisi seperti sekarang ini pembelajaran tetap dihandel dosen/guru dengan kuliah dan belajar online. Sekolah dan kampus menyiapkan SDM, media pembelajaran dan sumber belajar dengan baik. Dengan itu proses belajar-mengajar bisa dilakukan dengan baik.

Pada masa Khalifah al-Ma’mun, kebijakan pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas betul-betul dilaksanakan dengan baik. Negara tidak hanya menggratiskan biaya pendidikan. Negara juga memberi fasilitas berupa asrama, makan-minum, kertas, pena dan lampu serta uang satu dinar perbulan. Jika harga emas 1 gram Rp 700.000, berarti Rp 2.975.000 perbulan. Ini hanya uang jajan saja, karena kebutuhan sehari-hari siswa/mahasiswa sudah dipenuhi. Demikianlah gambaran pelayanan pendidikan pada masa Khilafah.

Baca Juga: Jika ASN Pemkab. Bandung Terbukti Mendampingi Pasangan Calon Akan Ditindak

Sistem pendidikan seyogianya tetap bisa menjadi perisai generasi dari berbagai ancaman generation disorder. Dengan catatan, sistem pendidikannya wajib berbasis akidah Islam yang akan mengantarkan pada penyempurnaan iman dan keterikatan pada syariat Allah SWT.

Allah SWT berfirman, “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS Al-Mujadalah [58]: 11).

Ayat di atas mengandung mandat tentang fungsi instrumentasi sistem pendidikan Islam, selaku satu-satunya sistem pendidikan yang menghasilkan sosok generasi berkepribadian Islam. Oleh karena itu, sistem pendidikan juga harus ditopang sistem politik Islam, agar fungsi pendidikan sebagai instrumen pencetak generasi konstruktor peradaban itu dapat diwujudkan.

Baca Juga: Deklarator KAMI Tantang Buzzer dan Influencer Bully 59 Negara yang Boikot Warga Indonesia

Inilah alasan mengapa umat butuh Khilafah, payung besar sistem dan tata aturan kehidupan berlandaskan akidah Islam dan terikat dengan syariat Allah, Al-Khaliq Al-Mudabbir. Rasulullah SAW bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Wallahu a'lam bishshawab.


Penulis Tawati

Muslimah Revowriter dan Member WCWH Majalengka

 

Editor: Kiki Kurnia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x