Hukuman Mati Tepat! Alasan Jaksa, Herry Wirawan Terungkap Perkosa Korban yang Sedang Haid

- 11 Januari 2022, 15:57 WIB
Terdakwa Herry Wirawan dijaga petugas Kejati Jabar usai mengikuti sidang agenda tuntutan di PN Bandung, Selasa, 11 Januari 2022. Herry dituntut hukuman mati./Darma Legi/Galamedia
Terdakwa Herry Wirawan dijaga petugas Kejati Jabar usai mengikuti sidang agenda tuntutan di PN Bandung, Selasa, 11 Januari 2022. Herry dituntut hukuman mati./Darma Legi/Galamedia /Darma Legi/Galamedia

GALAMEDIA - Terdakwa pemerkosa 13 santriwati di Bandung, Herry Wirawan sudah dituntut dengan hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jabar.

Jaksa pun mengungkap alasan menuntut hukuman mati yang dinilai sangat tepat. Pasalnya, terungkap dalam persidangan jika Herry Wirawan memperkosa korban yang sedang haid.

Sejumlah alasan dibeberkan oleh JPU Kejati Jabar atas tuntutan hukuman mati terhadap Herry Wirawan.

Alasan-alasan itu disampaikan Kepala Kejati Jabar Asep N Mulyana yang menjadi Ketua Tim JPU kasus tersebut.

Salah satu alasan mengapa tuntutan hukuman mati diberikan, karena Herry Wirawan terungkap perkosa korban yang sedang dalam kondisi haid.

Baca Juga: Setuju Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati Dituntut Hukuman Mati, Komnas PA: Yes!!

Seperti diketahui, selain tuntutan hukuman mati, JPU juga meminta majelis hakim memberikan hukuman terhadap Herry Wirawan.

JPU meminta majelis hakim memutuskan terdakwa membayar denda dan ganti rugi yang nominalnya mencapai Rp 1 miliar.

Selain itu, Herry Wirawan juga dituntut hukuman kebiri kimia dan identitasnya disebarkan. JPU menilai perbuatan Herry Wirawan sudah tergolong ekstra spesial ordinary crime.

Kepala Kejati Jabar Asep N Mulyana memberikan penjelasan kepada wartawan usai persidangan yang digelar secara tertutup di Pengadilan Negeri Bandung, Jln. L.L.R.E Martadinata, Selasa, 11 Januari 2022.

Asep mengungkapan, kejahatan Herry Wirawan menggambarkan fenomena gunung es (iceberg). Pasalnya, setelah perkara ini menyeruak ke permukaan, maka serta merta terkuak pula kasus-kasus lain yang hampir sama di seluruh pelosok negeri.

Baca Juga: MENGEJUTKAN! Respons Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati Usai Dituntut Hukuman Mati

Dikatakan Asep, merujuk pada berbagai konvensi internasional, pendapat pakar dan akademisi sebagai sebuah doktrin, berbagai rujukan regulasi, serta dengan menghubungkan fakta-fakta persidangan.

Oleh karena itu, ujar dia, tidak berlebihan jika JPU menggolongkan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa merupakan kejahatan sangat serius (the most serious crimes).

Dalam hukum internasional, suatu kejahatan dikategorikan sebagai the most serious crime karena merupakan perbuatan yang keji dan kejam, serta menggoncangkan hati nurani kemanusiaan.

Termasuk adanya unsur kesengajaan yang dilakukan secara sistematis ataupun menimbulkan akibat-akibat sangat serius lainnya.

Menurut Asep, setidaknya terdapat beberapa alasan dan argumentasi yang mendasari JPU untuk menggolongkannya sebagai kejahatan sangat serius.

Pertama, merujuk pada The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishmen, bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa termasuk kekerasan seksual.

Baca Juga: Alasan Jaksa Tuntut Mati Herry Wirawan, Salah Satunya Gunakan Simbol Agama Saat Perkosa 13 Santriwati

Pada tataran ini, kata dia, mereka tidak secara sukarela berada dalam 'sistem kekerasan' tersebut. Melainkan karena manipulasi dan tipu muslihat, serta iming-iming dan janji yang menggerakannya untuk menundukkan diri kepada keinginan pelaku.

Kedua, bahwa kekerasan seksual dilakukan terhadap anak-anak asuh dan anak-anak didiknya yang berada di bawah relasi kuasa terdakwa, baik berdasarkan jenis kelamin (gender), usia maupun status sosial ekonominya.

Ketiga, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak perempuan yang masih di bawah umur.

Hubungan seksual dan kehamilan yang dialami anak-anak yang berusia kurang dari 17 tahun berisiko meningkatkan komplikasi medis.

Terjadinya karsinoma serviks atau kanker serviks, risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV, yang berkontribusi terhadap meningkatnya angka morbilitas dan mortalitas.

Keempat, perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak hanya menyerang kehormatan fisik anak-anak, melainkan juga berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan emosional para santri.

Baca Juga: Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie Divonis 1 Tahun Penjara: Kami Berserahlah Insya Allah...

Menurut Violence Prevention Initiative (2009), papar Asep, kekerasan seksual yang dialami oleh korban dalam berbagai jenisnya akan mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, emosional dan fisik korban.

Alasan kelima, kekerasan seksual oleh terdakwa dilakukan secara terus menerus dan bersifat sistematik. Persetubuhan yang dilakukan terdakwa tidak mengenal waktu, mulai pagi hari, siang atau sore hari, maupun pada malam hari di saat anak-anak didik lainnya sedang istirahat tidur.

Bahkan menyetubuhi anak korban NR yang sedang haid, serta juga meniduri anak korban NSS dan SB, maupun IRPC dan LS secara bersamaan, di mana mereka terjebak dalam situasi yang membuatnya terus menerus menjadi korban.

Keenam, terdakwa menggunakan simbol-simbol agama dan pendidikan, sebagai salah satu cara dan upaya manipulatif serta justifikasi dalam mewujudkan niat jahatnya (mens rea) untuk melakukan kejahatan.

Terdakwa memanipulasi ajaran agama untuk memperdayai anak-anak perempuan dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik, menjadikan korban terjerat dan masuk dalam sistem yang merampas kemerdekaannya.

Baca Juga: DPRD KBB Kembali Persoalkan Aset Perumda Tirta Raharja, Sundaya: Harusnya Ada Profit Sharing

Alasan ketujuh, ujar Asep, perbuatan yang dilakukan terdakwa telah menimbulkan dampak yang luar biasa, yang menimbulkan keresahan dan ketakutan sosial (social fear).

Kedelapan, anak-anak santriwati berpotensi menjadi korban ganda, karena menjadi korban kekerasan seksual sekaligus menjadi korban demi keuntungan ekonomi dari pelaku, yang dapat menimbulkan dampak sosial dalam berbagai aspek.

"Jadi atas dasar itulah, maka tidak hanya sekadar mengganjar pelaku dengan hukuman berat sebagai detterent effect, melainkan juga membutuhkan komitmen bersama untuk mengatasi dan menanggulanginya dengan cara-cara luar biasa (extra ordinary measures), sebagai upaya kolaboratif untuk menjamin masa depan dan keberlangsungan hidup anak-anak korban," tandas Asep.

Seperti diketahui, Herry Wirawan menjadi terdakwa usai memperkosa 13 santriwati.

Beberapa di antara para korban itu ada yang sampai hamil dan melahirkan anak.

Atas perbuatannya itu, JPU menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa Herry Wirawan.

Herry Wirawan disebut terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 yentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x