Hari Pahlawan, Ini Detik-detik Pertempuran Surabaya dan Semangat Rakyat Mempertahankan Kemerdekaan

2 November 2020, 14:07 WIB
Hari Pahlawan, 10 November 2020 /

GALAMEDIA - Respons masyarakat Surabaya atas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan bagian terpenting, karena semangat merdeka itu kemudian hari akan terwujud pada Peristiwa 10 November yang hingga ini dikenal sebagai Hari Pahlawan.

Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama Revolusi sehingga menjadi lambang perlawanan nasional. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II membuat bangsa ini menyerah terhadap sekutu. Kejadian itu pun membuat Jepang melepaskan Indonesia dari genggamannya.

Sebelum meninggalkan tanah air, seperti dikutip galamedia dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id., Jepang dituntut untuk menyerahkan senjata.

Baca Juga: Hari Pahlawan: Bentuk Perlawanan Rakyat Membela Republik yang Masih Muda, Ini Sejarah Lengkapnya

Oleh sebab itu, pada tanggal 3 Oktober 1945 Laksamada Madya Shibata Yaichiro di Surabaya tunduk terhadap Sekutu dan memerintahkan pasukannya agar memberikan senjata kepada rakyat Indonesia yang akan bertanggung jawab untuk menyerahkan senjata-senjata itu kepada pihak sekutu.

Pada tanggal 25 Oktober 1945 kapal perang Eliza Thompson milik sekutu mendarat di Surabaya. Brigade 49 ini di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.

Sebelumnya pasukan ini merupakan bagian dari Divisi India ke -23 yang dipimpin oleh Jenderal D.C Hawthorn. Pasukan ini mendapat tugas dari AFNEI (tentara sekutu) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran serikat.

Keberadaan kapal sekutu saat itu bertujuan untuk mengangkut tawanan perang yang dikirim dari Semarang ke Surabaya. Kedatangan Laskar Sekutu awalnya bertujuan untuk mengamankan tawanan perang, melucuti senjata Jepang, evakuasi dan menjaga ketertiban di berbagai daerah di tanah air salah satunya Surabaya.

Baca Juga: Perpol No 4 Tahun 2020 Jadi Landasan Reformasi Satpam di Indonesia, APSI: Terimakasih Polri

Pada praktiknya, sekutu yang didominasi pasukan Inggris ini menyimpang dalam pelaksanaan tugas. Pada 27 Oktober 1945 Tentara Sekutu menyerbu penjara Republik untuk membebaskan perwira-perwira Sekutu dan Pegawai RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Interness) yang ditahan Republik.

Tempat vital

Masyarakat Surabaya semakin antisekutu lantaran rombongan yang mendarat di Tanjung Perak ini dengan cepat menduduki tempat-tempat vital seperti lapangan terbang, kantor pos, radio Surabaya, gedung internatio, pusat kereta api, pusat oto mobil dan lain-lain.

Dengan maksud untuk menduduki seluruh kota Surabaya. Tidak sampai situ, pasukan ini diduga membawa NICA. Hal itu terbukti dengan keberadaan dua buah motor boat bermuatan Pasukan Serikat menembaki pos komando laut RI di Modderlust.

Di samping itu, Angkatan Udara Inggris (RAF) menjatuhkan selebaran tanpa sepengetahuan Jenderal Mallaby. Isi pamflet itu secara garis besar memerintahkan rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan perang milik Jepang dalam tempo 48 jam.

Selanjutnya Jenderal Hawthorn mengeluarkan ultimatum akan menghukum seberat-beratnya bagi yang tidak mematuhi perintah Inggris.

Tindakan–tindakan sekutu menimbulkan kemarahan pemuda Surabaya. Perlakuan tersebut dianggap sebagai suatu penghinaan bagi bangsa Indonesia. Atas persetujuan pemerintah, maka di bawah pimpinan Mayor Jenderal Yono Sewoyo (Komandan Divisi TKR) dikeluarkan perintah perang terhadap badan perjuangan, polisi dan TKR untuk menghadapi sekutu.

Baca Juga: Siapkan Podium Khusus, Dituding Bakal Kudeta Hasil Pilpres Ini Tanggapan Trump

Dari situ, masyarakat mulai menentang sekutu di Jawa Timur. Gubernur R.M.T.A Suryo yang mewakili pemerintah daerah saat itu enggan menerima kehadiran sekutu.

Pada sore hari di tanggal 28 Oktober 1945, para pemuda dipimpin dr. Mustopo bersama 20.000 kekuatan prajurit TKR dan 120.000 kelompok pemuda bersenjata bersatu dalam melakukan penyerangan kamp Belanda dan sekutu.

Di hari yang sama, ketika tengah malam, Radio Pemberontakan terhadap sekutu, menyebarkan semangat seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu dan merebut kembali tempat-tempat vital yang telah dikuasai Inggris dan sekutu.

Aspirasi perlawanan terhadap penjajah dikumandangkan oleh Bung Tomo (1920-1981), seorang yang berapi-api menggunakan radio untuk perjuangan. Hal tersebut menimbulkan suasana semangat revolusi yang fanatik ke seluruh kota.

Sebagai respons atas keberanian Arek Surabaya dan figur Bung Tomo, maka pada akhir bulan Oktober para pemimpin Nahdatul Ulama dan Masyumi memberi dukungan dan menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air Indonesia adalah Perang Sabil (Ricklefs: 1998).
Bertepatan tanggal 29 Oktober para pemuda Surabaya mulai gegap gempita mempertahankan kedaulatan. Dari beberapa perlawanan yang dilancarkan, maka para pemuda ini berhasil menguasai kembali obyek vital yang sebelumnya diduduki sekutu.

Untuk menyelamatkan pasukan Inggris dan sekutu dari amuk warga Surabaya, Jenderal DC. Hawntorn meminta Presiden Soekarno untuk menyerukan penghentian pertentangan antara pemuda dan sekutu.

Saat itu Soekarno didampingi oleh Moh Hatta dan Amir Syarifuddin mengadakan perjanjian dengan pihak sekutu yang ditujukan untuk menghentikan kontak senjata.

Baca Juga: Bansos Provinsi Jabar Tahap III Gerakkan Ekonomi Masyarakat

Berdasarkan hasil perundingan dibentuklah Contact Committee (Kontak Penghubung). Ketika itu, kedaulatan RI diakui sekutu, namun pasca perundingan penyerangan dilakukan kembali sehingga banyak kampung penduduk yang menjadi korban. Tindakan sekutu yang didominasi pasukan Inggris ini semakin menyulut pertikaian.

Pada tanggal 31 Oktober 1945, Brigadir Mallaby yang dikawal oleh Kapten Smith, Kapten Shaw dan Letnan Laughland tiba-tiba ditahan oleh sekelompok pemuda. Hal itu membuat Mayor Venugopall melemparkan granat ke arah pemuda.

Saat itu terjadi letusan yang hebat dari kedua belah pihak. Jenderal Brigadir Mallaby yang ada di lokasi justru terbunuh dan hangus bersama mobil. Versi lain mengungkapkan bahwa Mallaby tewas karena menjadi sasaran pemuda, ia ditusuk dengan bayonet dan bambu runcing.

Baca Juga: DCM 2020 Bisa Menstimulasi Pengusaha Muda Saat Terguncang Pandemi Covid-19

Kejadian itu memicu anggapan pihak Inggris, bahwa tewasnya Brigjen Mallaby karena lemparan granat dari pihak Indonesia sehingga Jenderal Christison selaku Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia mengecam keras peristiwa itu.

Di samping itu, Kapten Shaw mengancam untuk membalas dengan seluruh kekuatan Kerajaan Inggris, baik laut, darat, dan udara. Sebagai Panglima AFNEI, Christison memperingatkan agar rakyat Surabaya menyerah, apabila tidak mereka akan dihancur leburkan

Hal ini mendapat reaksi dari Kontak Biro Indonesia yang mengumumkan, bahwa kematian Mallaby adalah akibat kecelakaan, tidak dapat dipastikan apakah akibat tembakan rakyat atau tembakan tentaranya sendiri.

Untuk mengantisipasi balasan Inggris, maka rakyat Surabaya dilatih mempergunakan senjata dan granat tangan. Apalagi rakyat mengetahui bahwa Tentara Inggris membawa pasukan Belanda ke dalam kota secara diam-diam.

Kematian Mallaby

Dengan demikian rakyat menganggap Inggris melindungi dan membantu Belanda untuk menjajah kembali. Hal ini menyebabkan semakin berkobarnya semangat rakyat. Di seluruh kota pemuda dan TKR mempersiapkan diri untuk pertempuran.

Baca Juga: Puluhan Rumah yang Diterjang Angin Kencang Sudah Diperbaiki Para Pemiliknya

Sesudah kematian Mallaby pihak Inggris mendatangkan pasukan baru di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Mansergh. Pada tanggal 7 November, Mansergh mengirim surat yang isinya menyatakan Gubernur Soeryo tidak mampu menguasai keadaan, seluruh kota telah dikuasai para perampok (Nasution: 1977).

Kemudian tanggal 8 November surat kembali dikirim, adapun isi surat berupa ancaman serius dari pihak sekutu yang berniat menggempur seluruh Surabaya. Surat-surat tersebut kemudian dibalas Soeryo pada tanggal 9 November, akan tetapi tidak sampai kepada sekutu.

Hal itu mendorong sekutu untuk mengeluarkan ultimatum yang isinya memerintahkan orang-orang Indonesia untuk meletakkan bendera merah putih di atas tanah dan para pemuda harus menghadap dengan “angkat tangan” dan dituntut untuk bersedia menandatangani surat menyerah tanpa syarat.

Mansergh saat itu menginstruksikan agar wanita dan anak-anak patut meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 WIB malam itu. Pribumi diberi ancaman hukuman mati apabila masih membawa senjata sudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.

Baca Juga: BMKG : Gelombang Tinggi 4 Meter Berpotensi di Sejumlah Perairan Indonesia

Ultimatum tersebut dianggap menusuk perasaan rakyat Indonesia. Hal ini karena maknanya merupakan penghinaan terhadap martabat dan harga diri bangsa Indonesia.

Keadaan itu menciptakan situasi antara pemimpin Indonesia dan pemuda Surabaya terjadi perdebatan dalam menanggapi ultimatum sekutu. Hasilnya bahwa para pemuda memutuskan menolak ultimatum.

Reaksi Arek-arek Surabaya itu diumumkan oleh Gubernur Soerjo melalui radio pada pukul 23.00 malam. Ultimatum itu sama sekali tidak dihiraukan rakyat Surabaya sehingga pecahlah Pertempuran Surabaya.

Keesokan harinya, 10 November 1945 sejak pukul 06.00 WIB, Inggris melakukan serangan atas kota Surabaya. Menghadapi keadaan genting itu, para pemuda Surabaya sama sekali tidak gentar.

Di balik jiwa-jiwa berani Arek Surabaya ada pidato pidato Bung Tomo yang menyemangati rakyat untuk melawan penyerbuan sekutu. Pada hari itu, Pemuda Indonesia yang membawa bendera merah putih dalam berperang tetap semangat di bawah pimpinan Soengkono yang saat itu menjadi Komandan Pertahanan.

Baca Juga: The Adventure of Kabayan: Baju Hikmat (28)

Para pemuda saat itu menghadapi sekutu dengan menggunakan senjata bambu runcing dan belati dalam bergerak menyerang tank-tank Sherman milik sekutu. Sedikitnya, terdapat 6000 orang rakyat Surabaya yang gugur dan sisanya mengungsi.

Tanggal 10 November 1945 merupakan puncak perjuangan arek-arek Surabaya. Surabaya habis-habisan digempur oleh Inggris, namun para pemuda berhasil mempertahankan Surabaya selama tiga minggu. Kontak senjata yang pertama terjadi di Tanjung Perak dan kemudian berakhir di Gunung Sari pada tanggal 28 November 1945.

Semangat para pemuda Surabaya menunjukkan kepada kita, betapa para pejuang ini sangat menghargai kemerdekaan. Mereka merasakan bahwa “semut dan cacing pun akan mengamuk apabila diinjak”.

Para pemuda ini dengan segenap jiwa raganya berupaya untuk mempertahankan bangsa Indonesia. Bahkan gegap gempita perjuangan arek-arek Surabaya ini seakan menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia sudah benar-benar merdeka.

Berdasarkan keberanian rakyat Surabaya, maka peristiwa ini berhasil menyita perhatian dunia internasional. Dalam hal ini Pertempuran Surabaya telah mewakili semangat daerah-daerah lain untuk mempertahankan Indonesia.

Baca Juga: Bansos Provinsi Jabar Tahap III Gerakkan Ekonomi Masyarakat

Pihak Republik telah kehilangan banyak jiwa manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut menciptakan suatu lambang dan pekik persatuan demi Revolusi.

Tanggal 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan merupakan hari pembersihan berdarah sebagai hukuman dari pasukan inggris terhadap perlawanan Indonesia yang fanatik.

Untuk memperingati kepahlawanan rakyat Surabaya yang mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Pertempuran Surabaya merupakan titik balik bagi Belanda dalam menghadapi kenyataan bahwa Indonesia telah merdeka.***

 

Editor: Hj. Eli Siti Wasilah

Tags

Terkini

Terpopuler