Mengetahui Kepemimpinan Mao Zedong, Kampanye Seratus Bunga X Gulma Beracun: Boleh Kritik Lalu Tangkap

13 Februari 2021, 08:56 WIB
PEMERINTAH Tiongkok di bawah Xi Jinping menerapkan gaya kepemimpinan dan prosedur karantina ala Mao Zedong, pendiri Partai Komunis Tiongkok (PKT).* /Kolase instagram/@realxijinping dan pixabay

GALAMEDIA – Siapa yang tidak kenal dengan Mao Zedong. Ia merupakan seorang tokoh pemimpin Partai Komunis China/Communist Party of China (CPC) yang menjabat dari 20 Maret 1943 sampai 9 September 1976.

Dilansir Galamedia dari berbagai sumber, Mao Zedong lahir di Shaoshan, Hunan pada 26 Desember 1893. Pada 27 September 1954 hingga 27 April 1959 dirinya diamanahi memegang kursi Presiden Republik Rakyat China.

Selain itu, dirinya memegang jabatan sebagai Ketua Komisi Militer Pusat dari 8 September 1954 sampai 9 September 1976.

Baca Juga: TERBARU, Harga Emas Hari Ini, Sabtu, 13 Februari 2021 Ada yang Stabil dan Naik, Antam 2 Gram Rp1.911.000

Pada akhir 1956 atau tujuh tahun setelah Tentara Merah berhasil mengalahkan perlawanan dari tentara nasionalis (saat ini menjadi Taiwan), Mao mengumumkan sebuah kebijakan baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Kebijakan ini dinamainya dengan Kampanye Seratus Bunga dengan sebuah motto “Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing.”

Mao mengatakan bahwa kritik terhadap birokrasi mendorong pemerintahnya untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Hal ini benar-benar mengejutkan masyarakat China, terutama kalangan mahasiswa, pengamat politik, dan kaum intelektual lainnya.

Baca Juga: Pajak Mobil Baru 0 Persen PPnBM Berlaku Mulai Maret, Ini Harga Daihatsu Agya: Bisa di Bawah Rp100 Juta

Pemerintah berdalih ingin mendapatkan kritik dari rakyat sebagai bentuk kompromi terhadap Partai Komunis China agar bisa menghindari penindasan kejam terhadap rakyatnya.

Mao menyebutkan kampanye ini sebagai gerakan liberalisasi, meskipun kenyataannya orang-orang China masih dibungkam untuk membuka suara.

Saat ini awalnya masyarakat masih belum percaya bahwa mereka bisa dijamin keamananya untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah, khususnya kepada Partai Komunis China atas kebijakan-kebijakannya.

Namun akhirnya beberapa kalangan intelektual mulai memberanikan diri untuk menyampaikan kritik lewat surat yang diterima oleh Perdana Menteri Zhou Enlai yang saat itu memiliki masa jabatan sejak 1 Oktober 1949 hingga 8 Januari 1976.

Baca Juga: Jokowi Ajak Masyarakat Aktif Mengritik, JK: Bagaimana Jika Dipanggil Polisi? Iwal Fals: Lha Iya Iya

Kritik yang muncul dari para intelektual masih seputar hal yang kecil sembari tetap ada sikap kehati-hatian.

Melihat hal tersebut, pada 1957 pemerintah semakin membuka keran selebar mungkin dengan mengubah nada kebijakan yang tadinya “memperbolehkan” menjadi “disukai”.

Hasilnya, pada Mei dan Juni 1957, berbagai kaum intelektual mulai dari profesor, cendekiawan, mahasiswa, hingga masyarakat umum mengirimkan jutaan surat berisi kritik dan saran yang tegas, tidak hati-hati seperti yang tejadi pada 1956.

Tak hanya itu, aksi unjuk rasa dan pemasangan poster serta penerbitan berbagai artikel turut dilakukan oleh mahasiswa dan media.

Baca Juga: MUI Minta SKB 3 Menteri Direvisi Karena Timbulkan Polemik, Kegaduhan, dan Ketidakpastian Hukum

Melihat semua itu, Mao Zedong terkejut, karena tidak menyangka ternyata banyak permasalahan yang terjadi atas berbagai kebijakannya sehingga begitu banyak kritik muncul dari masyarakat.

Dirinya menilai semua ini telah berubah karena awalnya menganggap kritikan masyarakat itu untuk membangun kinerja pemerintah, tetapi dianggap telah menjadi ancaman terhadap eksistensi Mao dan partai.

Pada 8 Juni 1957, Mao Zedong menyatakan Kampanye Seratus Bunga dihentikan. Ia mengumumkan bahwa sekarang sudah waktunya setelah menabur bunga, yakni memetik “gulma beracun”.

Akhirnya sekira 700.000 kalangan intelektual ditangkap oleh aparat pemerintah, termasuk di dalamnya aktivis pro-demokrasi Luo longqi dan Zhang Bojun.

Baca Juga: Meski Masalahnya Sudah Selesai, Ini yang Terus Dilakukan Eiger untuk Pelanggannya, Tanya Mengapa?

Seluruh kalangan intelektual tersebut kemudian dipaksa oleh Mao untuk mengakui bahwa mereka telah mengorganisir sebuah konspirasi rahasia untuk melawan ideologi Sosialisme Komunisme yang saat itu sedang menjadi ideologi partai berkuasa dan negara China.

Pemerintah mengirim para aktivis, terutama tokoh terkemua untuk tinggal di kamp kerja paksa dalam rangka melaksanakan “pendidikan ulang” dalam tahanan.

Kemudian setelah semua masyarakat kembali dibungkam, Mao memfokuskan pemerintahannya untuk membentuk Kampanye Anti-Kanan (Anti-Kapitalisme) di akhir 1957 untuk mencegah munculnya kritik dalam gelombang besar terulang kembali.***

 

Editor: Hj. Eli Siti Wasilah

Tags

Terkini

Terpopuler