MUI Desak Jokowi Ditahan, Rocky Gerung: Nah, Inilah yang Namanya Evolusi Terbalik

26 Februari 2021, 17:56 WIB
Rocky Gerung (kanan) menilai kasus penembakan hingga kerumunan di NTT yang bebani Kapolri buntut ketidakadilan tak tuntas di era Presiden Jokowi (kiri). /Instagram/@jokowi dan @Rockygerung.

GALAMEDIA – Pengamat Politik Rocky Gerung menilai jika saat ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sedang mengalami suatu kerumitan dalam menyelesaikan beberapa kasus yang sedang ramai di Indonesia.

"Kita bayangkan di benak Kapolri itu ada ingatannya terkait km 50 (kasus penembakan FPI), kasus Cengkareng, hingga tuntutan seorang presiden yang melanggar UU Kesehatan," ujar Rocky Gerung yang dikutip Galamedia dari kanal YouTube pribadinya, @Rocky Gerung.

"Dirinya padahal baru dilantik sebagai Kapolri sejak sebulan yang lalu. Namun, kini harus dihadapkan dengan suatu masalah yang memusingkan kepala," tambahnya.

Baca Juga: Innalillahi, Dunia Komedi Tanah Air Kembali Berduka, Bintang Sinetron Para Pencari Tuhan Meninggal Dunia

Menurutnya, beberapa kasus tersebut merupakan suatu bentuk konsekuensi dari ketidakadilan di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dibiarkan sejak dua atau tiga tahun yang lalu.

"Seluruh problem ini akan bermuara kepada Kapolri. Karena ini dicicilkan dari dua tiga tahun lalu," ujarnya.

"Jadi ini tuh bentuk konsekuensi dari pembiaran suatu ketidakadilan di masa-masa Jokowi kemaren yang belum diselesaikan. Jadi ini jadi beban pak Sigit," tambahnya.

Seperti halnya dengan kasus kerumunan pada saat kunjungan kerja Jokowi ke NTT yang menimbulkan kesan ketidakadilan dan ketidaksamaan di mata hukum yang kini dirasakan oleh masyarakat.

Masyarakat pun secara otomatis akan membanding-bandingkan kasus ini dengan kasus yang menurut mereka memiliki kronologi yang sama.

Baca Juga: Diapresiasi, Hadirnya Buku Panduan Sesuai Kurikulum untuk Mendukung Penca Jadi Mapel Mulok di Jabar

Kemudian masyarakat pun membandingkannya dengan kasus kerumunan terdahulu yang sempat dilakukan Habib Rizieq Shihab hingga berujung ke jeruji besi.

"Kok tidak adil ketika Habib Rizieq mengundang kerumunan yang disebut sebagai tindak kejahatan. Sementara Jokowi tidak," ujarnya.

"Kemudian pihak istana bilang itu bentuk spontanitas. Menurut saya Habib Rizieq juga spontanitas. Dia juga tidak pernah mengundang pengikut dia untuk dateng ke bandara," tambahnya.

Selain masyarakat, tugas Kapolri tampaknya akan semakin rumit dengan adanya tuntutan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendesak agar Jokowi dapat segera dilakukan penahanan.

"Saya membayangkan jika ini akan menjadi kerumitan seorang Kapolri. Apalagi sekarang datang lagi tuntutan dari Majelis Ulama Indonesia yang sinyal itu sinyal moral," ujarnya.

Baca Juga: Film Silenced, Perjuangan Gong Yoo Ungkap Kasus Pelecehan Seksual kepada Difabel

Berbeda dengan tuntutan masyarakat, Rocky menilai jika tuntutan MUI itu merupakan tuntutan yang paling serius. Menurutnya, tuntutan MUI tersebut didasari dengan pendekatan ketidakadilan dari segi moral.

"Beda halnya yang ngelaporin itu orang yang sakit hati ke Jokowi itu enggak akan terlalu heboh," ujarnya.

"Ini MUI. MUI itu lembaga moral. Dia melihat pendekatan ketidakadilan dari segi moral," tambahnya.

Tuntutan MUI ini muncul karena penguasa yang terkesan selalu menghindar ketika publik menyinggung kasus ini. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan kekuasaan yang terkesan arogan dan tidak ingin mengakui kesalahan.

"Ini bahayanya jika penguasa terus-terus menghindar," ujarnya.

Baca Juga: BMKG Keluarkan Peringatan, Waspadai Gelombang Tinggi Hingga 6 Meter di Palabuhan Ratu - Pangandaran

"Jadi saya menganggap bahwa sangat mungkin bila dalam dua minggu ini akan terjadi percepatan pemanasan poltik yang disebabkan oleh kekuasaan yang arogan," lanjutnya.

Rocky Gerung pun mengungkapkan jika hal tersebut tidak akan terjadi jika Jokowi mengklarifikasinya langsung di hadapan publik.

Namun nyatanya, Jokowi hanya menyuruh pihak lain yang mengatakan bahwa kasus ini berawal dari spontanitas presiden dan masyarakat setempat.

"Kan lain kalo misalnya presiden punya feeling atau indera keenamnya bilang waduh saya melanggar prokes nih. Seharusnya dari NTT dia langsung bicara bukan malah menyuruh orang lain mengatakan jika semua itu spontanitas," ujarnya.

Hal inilah yang menjadikan beban polisi menjadi kian bertambah dan munculnya anggapan masyarakat akan ketidakadilan yang terjadi di Indonesia.

"Jadi menimbulkan kekisruhan. Kan enggak enak polisi memproses presiden. Demikian masyarakat sipil yang beranggapan agar polisi mesti adil dong," ujarnya.

Baca Juga: Elektabilitas Partai Gerindra Tergerus, Hingga Akhirnya Tersalip Golkar

"Mau dibebaskan kek mau dianggap sebagai perbuatan melawan hukum tapi tidak bisa dipidana karena statusnya sebagai presiden yang dapat mengakibatkan negara jadi tidak punya kepala negara selama proses hukum," tambahnya.

Anggapan masyarakat tersebut kian menguat ketika polisi menolak apa yang masyarakat tuntut. Parahnya lagi, masyarakat akan berpikir jika hukum di Indonesia itu hanya kebal bagi para pejabat negara dan tidak kebal bagi masyarakat umum.

"Tetapi mestinya harus ada sinyal bahwa kekuasaan itu tidak kebal hukum. Nah, yang terjadi kemaren polri menolak pelaporan itu," ujarnya.

"Jadi, beban ini dialihkan buat kapolri. Tidak fair juga. Seharusnya pihak istana tuh punya etika kepublikan yang berucap bahwa presiden memang salah. Jadi kan polisi akan bilang kalo pihak istana sudah meminta maaf," lanjutnya.

Selain Jokowi, Rocky juga menilai jika pihak istana seharusnya menggelar konferensi pers kecil bukan malah mencari banyak alasan. Menurutnya, kasus ini hanya tergolong ke dalam tindak pidana ringan (tipiring).

Baca Juga: Buntut Blunder dr Tirta Bela Jokowi, Politisi Partai Demokrat: Dokter Menjelma Buzzer

"Tapi istana malah cari-cari alasan. Jadinya Istana memusingkan Kapolri," ujarnya.

"Nah, ini yang saya sebut dungu. Kalo pintar, istana nih bakal punya sinyal kalo mereka ini akan di-bully mending minta maaf duluan," lanjutnya.

"Ini kan cuman tipiring (tindak pidana ringan yang didasarkan oleh kecerobohan, kedunguan, ketidakmampuan mengantisipasi. Ya udah tinggal adain konferensi pers," tambahnya.

Menurutnya, hal tersebut dapat mengakibatkan bebasnya Habib Rizieq dan tahanan lainnya dengan kasus yang serupa.

"Meskipun ini akan menjadi konsekuensi agar Habib Rizieq dapat segera dibebaskan," ujarnya.

"Tapi ini akan menjadi kebahagiaan publik dan kesetaraan di depan hukum. Justru ini tidak terjadi. Nah, inilah yang dapat menimbulkan spekulasi terkait ada sesuatu yang disembunyikan oleh istana," lanjutnya.

Baca Juga: Film Silenced, Perjuangan Gong Yoo Ungkap Kasus Pelecehan Seksual kepada Difabel

Apabila hal itu tidak dilakukan, Rocky menilai jika hal tersebut dapat memunculkan stigmadan kecemasan masyarakat akan berubahnya bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara kerajaan.

Menurutnya, hal tersebut juga bisa dianggap sebagai sisa-sisa feodal.

"Ketika istana ditanya pers. Mereka jawab presiden tidak boleh di penjara terus tidak boleh dipanggil polisi. Jika dipanggil polisi, kita akan jadi negara demokratis dong," ujarnya.

"Kalo tidak dipanggil polisi, akan muncul stigma sebagai Negara Kerajaan Republik Indonesia," tambahnya.

"Nah, ini yang namanya evolusi terbalik, karena penguasa tidak bisa diadili, jadi ini betul-betul seperti sisa-sisa feodal," lanjutnya.

Baca Juga: India Selamatkan 81 Pengungsi Rohingya dengan Kapal yang Hanyut, 8 tewas dan Satu Orang Hilang

"Nah, di sini saya hanya membaca kecemasan publik bahwa negara ini sedang menuju menjadi negara kerajaan," pungkasnya.

seperti diketahui, Ketua MUI meminta agar Jokowi ditahan atas karena dianggap telah melanggar protokol kesehatan, karena telah menimbulkan kerumunan massa.

Kerumunan itu terjadi ketika Jokowi datang untuk melakukan kunjungan di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), saat itu terlihat Jokowi disambut dengan antusias oleh warga yang berkerumun.

Peristiwa tersebut disebut sama dengan apa yang terjadi pada Habib Rizieq Shihab, yang sekarang ini tengah ditahan oleh pihak Kepolisian.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler