Generasi Milenial Dianggap Paling Boros, Menabung Saham Dinilai Jadi Solusi Investasi Jangka Panjang

25 Mei 2021, 19:31 WIB
Ilustrasi generasi milenial /PIXABAY/Michael Murica./


GALAMEDIA - Masih ingatkah nasihat para orang tua kita di masa lalu yang mengajak kita menabung? Apa tujuannya? Orang zaman dulu kebanyakan lebih rajin menabung untuk kebutuhan di masa depan karena konsumerisme masa lalu tidak sedahsyat saat ini.

Orang tua atau kakek dan nenek kita tidak banyak pilihan untuk menghabiskan uang di masa mudanya karena ketika itu belum banyak pusat perbelanjaan. Tidak ada cafe yang bertebaran di setiap pelosok seperti sekarang.

Tidak ada transaksi online yang memudahkan orang berbelanja barang kapan saja dan dari mana saja. Belum ada trip jalan-jalan dan berbagai barang branded yang gampang ditemukan. Sehingga, mereka lebih banyak menyimpan uang atau menabung.

Untuk apa uang yang mereka tabung? Untuk mereka bisa membeli rumah idaman mungkin 10-20 tahun kemudian, untuk biaya kuliah anak-anak mereka, dan untuk biaya hidup saat pensiun.

Apakah cara ini bisa ditiru oleh para milenial atau keluarga muda masa kini? Jawabannya harus. Simpanlah uang dalam jangka panjang lebih awal sebelum menggunakan uang yang kita miliki untuk berbagai kebutuhan dan keinginan.

Baca Juga: Terdakwa Kasus RTH Merasa Kecewa dan Menilai Tuntutan Jaksa KPK Berlebihan

Berdasarkan survei dari GoBankingRates, generasi milenial jauh lebih boros ketimbang generasi lainnya.

Berdasarkan survei tersebut, banyak individu yang menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang sifatnya tidak esensial, seperti kopi, makan di luar, hiburan, pakaian, dan minuman.

Kepala Kantor Perwakilan Kantor BEI Jawa Barat, Reza Sadat Shahmeini mengatakan bahwa ketika dikelompokkan berdasarkan kelompok usia, generasi milenial menghabiskan uang lebih banyak dibandingkan generasi lainnya secara keseluruhan, terutama untuk pakaian dan makan di luar.

"Padahal, jika anak-anak muda ini mau menghilangkan kebiasaan membeli kopi setiap hari atau pengeluaran lainnya yang tidak perlu, mereka dapat mengumpulkan uang lebih banyak dari waktu ke waktu. Apalagi, jika anak-anak dan pasangan muda mau menggunakan uang itu untuk berinvestasi," ungkapnya di Kota Bandung, Selasa, 25 Mei 2021.

Baca Juga: Wow! Sosok Gubernur Ini Sumbang 1 Unit Mobil Ambulans Guna Dukung Palestina

Menurutnya bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan warga negara konsumen, tingkat inflasi kenaikan barang pada jangka panjang akan melampaui tingkat suku bunga jika menabung di bank saja.

Terlebih lagi, semakin lama dan semakin maju sebuah negara, tingkat suku bunga akan mengecil. Selain itu, kenaikan pendapatan secara umum belum tentu dapat mengungguli kenaikan harga barang.

"Jadi, cara yang paling ideal untuk mempersiapkan kebutuhan di masa depan adalah dengan membagi porsi yang optimal dari dana yang disisihkan di luar kebutuhan pokok untuk berinvestasi," ujarnya.

Dikatakannya bahwa investasi bukan ditujukan untuk jangka pendek. "Bukan investasi sekarang dan nikmati hasilnya satu minggu, satu bulan, atau satu tahun, melainkan idealnya investasi dilakukan untuk kebutuhan sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh tahun ke depan," jelasnya.

Reza menjelaskan salah satu pilihan investasi jangka panjang yang memberi potensi return terbesar adalah dengan membeli saham di pasar modal.

"Jika ada sekelompok investor yang berinvestasi dalam jangka pendek dengan memanfaatkan strategi teknikal dari kenaikan dan penurunan harga saham yang dinamis di Bursa Efek Indonesia (BEI), hal ini lebih tepat disebut sebagai spekulasi dibandingkan investasi," tuturnya.

Baca Juga: Segera Tayang! Link Streaming Badai Pasti Berlalu 25 Mei 2021: Helmi Niat Celakai Sisca, Leo Melerainya

Ia menuturkan dibandingkan investasi yang memang fokus pada tujuan jangka panjang, para investor spekulan harus punya pengetahuan menganalisis fluktuasi saham dan siap untuk kehilangan dana investasinya sewaktu-waktu.

Sehingga, harus punya nyali yang kuat saat terombang-ambing oleh arus fluktuasi pasar. Di sisi lain, investor jangka panjang bisa tetap tenang karena hasil yang diinginkannya bukan untuk waktu yang singkat.

"Coba kita bayangkan seandainya saat ini kita membeli satu saham perusahaan di BEI di saat harga saham sedang turun karena dampak pandemi yang belum berakhir. Harga saham yang sedang turun saat ini menjadikan momen ini waktu yang baik untuk memulai berinvestasi saham, karena kita dapat menikmati potensi keuntungan di masa mendatang," paparnya.

Seperti yang kita ketahui, salah satu keuntungan dari investasi saham adalah dari selisih harga jual dan beli yang disebut capital gain. Selain itu, ada pula keuntungan dalam bentuk dividen saham yang dibagikan tiap tahun oleh perusahaan kepada pemegang saham.

Sehingga, jika kita membeli saham dengan harga rendah, akan semakin berpotensi memberi keuntungan besar dalam jangka panjang. Dengan catatan, abaikan fluktuasi dalam jangka pendek jika kita meyakini kinerja perusahaan secara internal baik. Contohnya saham PT Astra International Tbk (ASII).

Baca Juga: Makin Panas, Relawan Jokowi Terang-terangan Dukung Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno untuk Maju di Pilpres 2024

Ia menuturkan ketika kita membeli saham ASII pada bulan April 2004 atau 17 tahun lalu. Ketika itu, harga per lembar saham ASII terendah di harga Rp505. Pada bulan Juli 2010, harganya sudah di atas Rp5.000. Harga saham ASII terus naik hingga mencapai level di atas Rp9.000 per saham pada bulan April 2017. Sehingga, kenaikan saham sempat mencapai 1.600 persen.

Jika bulan April 2004 kita menginvestasikan uang sebesar Rp10 juta dengan membeli saham ASII misalnya, maka uang kita akan bertambah menjadi Rp160 juta pada bulan April 2017.

"Jadi, kalau kita mau menyisihkan uang untuk menabung saham secara berkala pada perusahaan yang bagus secara fundamental, maka hasilnya dapat kita nikmati pada tahun 2045 saat merayakan HUT kemerdekaan RI satu abad, di mana kita dapat memanen potensi keuntungan yang relatif besar," tambahnya.***

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler