Emisi Gas Rumah Kaca Menurun Drastis Selama Pandemi, Kearifan Lokal Ikut Berikan Peranan

5 Juli 2020, 11:20 WIB
Ilustrasi (Pixabay/marcinjozwick) /

GALAMEDIA - Selama pandemi Covid-19 berlangsung, iklim dunia menjadi lebih baik. Salah satu yang menjadi perhatian yakni menurunnya emisi gas kaca. Indonesia sebagai negara besar memiliki peranan strategis dalam perubahan iklim tersebut.

Hal itu disampaikan Duta Besar Indonesia untuk Kuwatir, Tri Tharyat, dalam webinar terkait krisis iklim bertemakan merangkai gotong royong multipihak menghadapi krisis iklim, Sabtu, 4 Juli 2020. Webinar digelar Ikatan Alumni (Ika) Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

"Di tengah pandemi, selama 20 Februari hingga 20 Mei 2020, iklim dunia jadi lebih baik. Misalnya, emisi gas kaca menurun hingga 17 persen. Penurunan itu terbesar sepanjang sejarah manusia dan tidak terprediksi sebelumnya. Kita melakukan simply by doing nothing, kita diam di rumah, aktifitas polutan berkurang," papar Tri.

Baca Juga: BMKG Minta Warga Jatim Waspada Gempa Bumi

Emisi gas rumah kaca adalah gas yang ada di atmosfer dan terkumpul secara alami akibat aktivitas manusia. Salah satunya dihasilkan oleh karbondioksida dari bahan bakar fosil, limbah padat hingga bahan bakar kendaraan.

Tri menjelaskan, isu climate change atau perubahan iklim di dunia internasional jadi bahasan yang sangat pelik karena menyangkut banyak kepentingan. Baik kepentingan kebijakan negara, kepentingan dunia industri hingga kelompok non government organization (NGO).

Ia juga menilai, posisi Indonesia di dunia internasional terkait isu climate change sangat strategis. Pasalnya, Indonesia memiliki potensi untuk menekan krisis iklim.

"Indonesia sangat unik karena punya hutan tropis yang besar dan garis pantai yang panjang. Keduanya mampu menyerap karbon sangat tinggi sehingga bisa menekan krisis iklim," ungkap dia.

Baca Juga: IKA UPI Minta Mas Menteri Masukan LPTK dalam Road Map Pendidikan

Dalam webinar itu ikut berbicara perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup, Ratnasari Wargahadibrata. Menurut dia, saat ini negara-negara di Asia Pasifik menyumbang‎ hingga 40 persen emisi gas kaca.

Negara-negara maju paling besar menyumbang emisi gas kaca hingga 60 persen. Kondisi itu berdampak pada krisis iklim yang kini dirasakan. Contohnya seperti musim panas yang berkepanjangan sehingga berdampak pada kekeringan hingga musim hujan yang juga lebih panjang.

"Dampak lainnya air tanah sudah terkontaminasi air laut (intrusi air laut) karena permukaan air laut yang meningkat. Itu dampak krisis iklim yang sudah dan sedang kira rasakan. Jadi, climate change itu bukan hoaks," jelas Ratnasari.

Baca Juga: Didukung Penuh Elon Musk, Kanye West Calonkan Diri Jadi Presiden AS

Senada dengan yang disampaikan Tri, Ratnasari juga menyebut penyumbang terbesar peningkatan emisi gas rumah kaca di dunia adalah penggunaan fosil fuel yang jadi bahan bakar kendaraan transportasi. Di masa pandemi, emisi gas rumah kaca akibat kendaraan bemotor justru jadi berkurang.

"Saat pandemi Covid 19, emisi gas rumah kaca ini berkurang signifikan sekali terutama di sektor transportasi karena orang-orang di rumah tidak di luar," kata dia.

"Penurunannya mencapai 13-16 persen. Tapi konsumsi energi tidak turun signifikan karena orang di rumah menggunakan listrik untuk kebutuhan masing-masing," sambungnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Ida Nirlinda menuturkan, mengurangi emisi gas rumah kaca supaya tidak memperparah krisis iklim bisa dilakukan dengan mengurangi transportasi sebagai efisiensi energi.

Baca Juga: Hanya Tiga Menteri Bisa Bertahan, Ini Pandangan Ekonom Soal Reshuffle Kabinet

Indonesia, ujar dia, bahkan memiliki kelebihan lain yang bisa dimanfaatkan. Indonesia dengan beragam suku dan adat, memiliki kearifan lokal yang sangat mendukung kelestarian lingkungan.

"Banyak kearifan lokal di Indonesia yang mendukung penanganan perubahan iklim karena kearifan lokal ini efektif membantu pemerintah menangani perubahan iklim," kata Ida.

Pekerjaan rumah ke depan, lanjutnya, tinggal bagaimana menjaga agar apa yang saat ini dihasilkan bisa tetap terjaga. Terlebih setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Baca Juga: Seorang Petugas Kebun Binatang Tewas Diterkam Harimau Siberia

Soal kearifan lokal yang diklaim memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim, dibenarkan Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Gita Lestari. Meski begitu ia tak mengklaim daerah yang menjadi anggotanya sudah benar-benar lestari.

Sejumlah daerah yang menjadi anggota LTKL di antaranya Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Siak, Kabupaten Sintang, Sigi, Bone Bolango, Gorontalo dan Kabupaten Aceh Tamiang. Daerah-daerah itu
memiliki berkomitmen terhadap keberlangsungan lingkungan untuk menekan krisis iklim.

"Mereka melibatkan masyarakat adat yang selama ini konsisten menjaga hutan," tandasnya.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler