Mahar Politik: Sebuah Tindak Korupsi di Politik Demokratis

27 Februari 2023, 15:50 WIB
Ilustrasi mahar politik sebuah tindak korupsi di politik demokratis./bawaslurokanhulu /

GALAMEDIANEWS - Dalam sistem politik yang demokratis, semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih.

Namun, mahar politik dapat merusak kondisi demokrasi dengan memperkuat pengaruh uang dan kekuatan kelompok tertentu untuk mempengaruhi kebijakan publik dan hasil pemilu.

Kita sudah paham bahwa politik uang adalah induk dari korupsi di suatu negara. Salah satu bentuk politik uang yang paling sering terjadi adalah pemberian mahar politik kepada partai. Praktik ini akan merusak demokrasi dan menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak kompeten dan korup.

Baca Juga: BANJIR JAKARTA: Luapan Ciliwung Rendam Kebon Pala Setinggi 1,75 Meter!

Mahar politik adalah praktik di mana seseorang atau sekelompok orang membayar sejumlah uang atau memberikan sesuatu yang berharga kepada orang atau partai politik sebagai syarat untuk mendapatkan dukungan atau akses ke kebijakan publik.

Mahar politik adalah sejumlah uang yang diberikan oleh seseorang atau lembaga kepada partai politik atau gabungan partai dalam proses pencalonan wakil rakyat atau pemimpin seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden dan wakil presiden.

Dari definisi tersebut, politik uang jenis ini terjadi pada tahap pencalonan oleh partai, pemberi mahar bisa siapa saja, baik dari internal maupun eksternal.

Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK mengatakan, Mahar politik juga dikenal dengan istilah uang perahu yang digunakan untuk berlayar di pemilu.

"Mahar politik juga dikenal dengan istilah 'uang perahu', dimana seseorang membayar uang untuk mendapatkan kendaraan di partai politik untuk dicalonkan. Mahar tersebut diberikan untuk mendapatkan 'stempel' dan restu dari partai politik. Mereka beralasan hal ini diperlukan untuk menggerakkan mesin politik," ujar Amir

Mahar politik sering dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi dan integritas sistem politik, karena kepentingan individu atau kelompok dapat mengesampingkan kepentingan publik.

Baca Juga: 5 Tempat Kuliner Pisang Goreng Terlezat di Bandung, Salah satunya Sudah Buka sejak 1948? Ini Rekomendasinya!

Oleh karena itu, praktik ini dilarang di banyak negara dan dianggap sebagai tindakan korupsi yang dapat dikenai hukuman pidana termasuk di Indonesia.

Peserta pemilu yang mengikat partai politik dengan menggunakan uang mahar politik menyebabkan proses pemilu, terutama pada saat pencalonan calon peserta pemilu, menjadi cacat prosedur.

Karena seseorang dicalonkan menjadi peserta pemilu bukan karena kemampuan dan visi misinya, tetapi dipengaruhi oleh mahar politik.

Mahar politik merupakan salah satu aspek yang membuat politik di Indonesia menjadi mahal, selain jual-beli suara. Nilai transaksi di bawah tangan ini sangat fantastis, mencapai miliaran rupiah. Semakin besar uang yang dikeluarkan, semakin besar pula peluang kandidat untuk diusung partai.

Amir juga mengungkapkan bahwa para kontestan mengeluarkan uang sekitar Rp 5-15 miliar untuk membiayai mahar politik.

"Para kontestan mengeluarkan uang antara Rp 5-15 miliar per orang untuk membiayai mahar politik," kata Amir.

Baca Juga: LINK LIVE STREAMING PERSIB vs Barito Putera Liga 1 Sedang Berlangsung, Klik di SINI Tanpa Ribet

Untuk mendapatkan uang mahar politik, tentu saja seorang kandidat tidak merogoh koceknya sendiri. Pasalnya, nilai mahar tersebut terkadang bahkan lebih besar dari total harta kekayaan calon pemberi. Amir mengatakan, ada penyandang dana di balik mahar politik, baik pengusaha, perorangan, maupun pihak swasta.

"Ada yang mendanai, membiayai, dan membayar mahar politik. Yang pasti tidak ada yang gratis. Jika terpilih, dia akan menguntungkan dirinya sendiri karena berpikir untuk balik modal," kata Amir.

Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya mahar politik. Diantaranya tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.

Pasal 47 menyatakan bahwa "partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota".

Peraturan yang melarang mahar politik juga terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 228 yang menyatakan "Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden".

Baca Juga: Prediksi Barito Putera vs Persib Bandung BRI Liga 1: Link Live Streaming, Susunan Pemain hingga Head to head

Pasal yang sama juga menyebutkan larangan bagi orang atau lembaga untuk memberikan imbalan kepada partai politik dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Aturan mengenai mahar politik ini memuat sanksi tegas, yaitu larangan bagi partai politik untuk mengajukan calon pada periode berikutnya.

Meskipun mahar politik sudah menjadi rahasia umum, namun pembuktiannya sulit dilakukan karena bersifat terbatas dan rahasia. Selain itu, untuk membuktikan mahar politik harus ada pengakuan dari pemberi.

Adanya sanksi pidana bagi pemberi dan penerima mahar politik membuat pengakuan tersebut sulit diwujudkan. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa mahar politik adalah bentuk korupsi dalam politik demokratis.***

Editor: Usman Alwasim

Sumber: ACLC KPK

Tags

Terkini

Terpopuler