Menurut Slamet, Dittipidsiber Bareskrim Polri selalu melakukan patrol siber untuk melakukan pengawasan dan pengontrolan.
Jika terdapat konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks dan hasutan serta ujaran kebencian, maka akan diberi peringatan.
Namun, tim Siber Polri terlebih dahulu akan menyerahkan hasil tangkapan layar konten untuk ditelaah oleh ahli pidana, bahasa, dan ITE.
Dengan demikian, keputusan pemberian Virtual Police Alert terhadap akun yang bersangkutan bukan pendapat subjektif penyidik Polri.
Setiap warganet yang diduga melakukan pelanggaran akan diberikan peringatan sebanyak dua kali dalam 1x24 jam agar konten segera dihapus oleh pengguna.
Akan tetapi, jika pelanggar tidak menghapus konten yang dimaksud setelah diberi peringatan dua kali, Polri akan memangg pengguna untuk dimintai klarifikasi.
Slamet menegaskan kembali bahwa hal tersebut merupakan tahapan strategi yang dilakukan dalam beberapa proses, sehingga tidak semua pelanggar kemudian diproses secara hukum.
Baca Juga: MEMALUKAN! DCI Microsoft: Tingkat Kesopanan Online, Netizen Indonesia Paling Rendah Se-Asia Tenggara
“Pertama, edukasi, kemudian peringatan virtual, lalu kami mediasi, restorative justice, kemudian laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggar dilakukan upaya penegakan hukum,” jelasnya.