GALAMEDIA - Sejumlah negara saat ini bersaing untuk mendapatkan berbagai jenis vaksin Covid-19 yang persediaannya masih sangat terbatas.
Vaksinasi diharapkan akan mengakhiri pandemi Covid-19 yang hingga kini masih merebak di mayoritas negara-negara dunia.
Namun seiring berjalannya waktu, program vaksinasi menemui sejumlah persoalan baru, salah satunya pascapenyuntikan.
AstraZeneca yang merupakan salah satu jenis vaksin Covid-19, dilaporkan menimbulkan efek samping yakni adanya pembekuan darah pascapenyuntikan.
Sejumlah negara di Eropa dan Asia termasuk Indonesia telah menghentikan penyuntikan vaksin Covid-19 jenis AstraZeneca untuk warganya.
Menanggapi hal itu, perusahaan farmasi AstraZeneca menegaskan vaksin Covid-19 buatannya terbukti aman secara ilmiah.
Hal itu disampaikan pada Minggu, di tengah kekhawatiran akan laporan orang-orang yang mengalami pembekuan darah setelah divaksin.
Perusahaan itu mengatakan keamanan adalah prioritas mereka dan mereka akan terus memantau keamanan vaksin.
"Kami terus meninjau dengan cermat semua data keamanan yang tersedia. Dari lebih dari 17 juta orang yang divaksin di Uni Eropa dan Inggris tidak ada yang menunjukkan bukti peningkatan risiko emboli paru dan trombosis vena dalam (DVT) atau trombositopenia," kata AstraZeneca dilansir Galamedia dari Anadolu Agency.
Baca Juga: Pemerintah Harus Uji Kualitas Vaksin Hadapi Mutasi Covid-19 B117
Tercatat bahwa sejauh ini di seluruh UE dan Inggris, terdapat 15 kasus DVT dan 22 kasus emboli paru di antara mereka yang diberi vaksin.
"Sekitar 17 juta orang di UE dan Inggris sudah divaksin. Jumlah kasus pembekuan darah yang dilaporkan dalam kelompok ini lebih rendah daripada ratusan kasus yang diperkirakan terjadi pada populasi umum," ujar Kepala Petugas Medis Perusahaan Ann Taylor.
Selama produksi vaksin, AstraZeneca telah melakukan uji kualitas sebanyak lebih dari 60 kali.
"Semua pengujian harus memenuhi kriteria ketat. Data ini diserahkan ke regulator di setiap negara atau wilayah untuk ditinjau secara independen sebelum akhirnya dikirim ke negara-negara itu," tutur Taylor.***