WASPADA COVID-19! Angka Positivity Rate di Indonesia Menunjukkan Potensi Penularan Cukup Tinggi

- 25 Februari 2022, 18:05 WIB
Satgas COVID-19 Cianjur melakukan tes cepat dan usap terhadap tenaga kesehatan sebagai upaya pencegahan penularan varian omicron//ANTARA/Ahmad Fikri).
Satgas COVID-19 Cianjur melakukan tes cepat dan usap terhadap tenaga kesehatan sebagai upaya pencegahan penularan varian omicron//ANTARA/Ahmad Fikri). /

GALAMEDIA - Angka positivity rate di Indonesia saat ini menunjukkan potensi penularan cukup tinggi. Dari data dan analisis per 20 Februari 2022, angka positivity rate mingguan sebesar 17,61%.

Angka ini meningkat cukup tajam dibandingkan akhir Januari di kisaran 1%. Sebelumnya, angka ini berhasil dipertahankan di bawah standar WHO, yaitu kurang dari 5%, selama 135 hari berturut-turut atau sejak 17 September 2021 hingga 29 Januari 2022. Bahkan, angka terendah yang pernah dicapai yaitu 0,09% pada 12 Desember 2021.

"Kita perlu untuk tetap waspada mengingat tren kenaikan positivity rate mingguan masih belum menunjukkan tanda-tanda penurunan," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito, dikutip Galamedia dari laman Covid1.go.id.,Jumat 25 Februari 2022.

Baca Juga: Perokok Wajib Tahu! Inilah Resep Ramuan Herbal Pembersih Paru-paru, Ayo Racik Sendiri!

Menurutnya, meski demikian, kenaikan positivity rate mingguan saat ini lebih rendah dibanding pada masa gelombang Delta. Melihat kembali pada masa Delta, angka positivity rate bertahan di atas 20% selama 5 minggu berturut-turut.

Bahkan, pernah mencapai angka mingguan tertinggi hingga 30,24% per 18 Juli 2021. Sehingga angka positivity rate saat ini menggambarkan kondisi penularan yang jauh lebih rendah dibanding masa varian Delta.

Lalu, melihat jumlah orang yang dites juga saat ini lebih baik dibandingkan masa varian Delta. Dari data per 20 Februari 2022, melebihi 2 juta orang dites dalam 1 minggunya. Meski fluktuatif dalam 5 minggu terakhir, namun jumlahnya selalu bertahan di atas 1 juta orang tiap minggunya.

Baca Juga: Khairullah: Kami Benar-Benar Kecewa dengan Menag!

Capaian ini sungguh baik karena jauh lebih tinggi dibanding pada masa gelombang Delta di kisaran 1 juta orang dalam 1 minggu. Terlebih pula, Indonesia juga sudah mencapai target testing WHO yaitu 1000 orang dites per 1 juta penduduk sejak Januari 2022.

Selanjutnya, dari metode testingnya, saat ini didominasi tujuan skrining. Hal ini terlihat dari tingginya proporsi antigen dibanding PCR. Sedangkan di masa gelombang Delta, proporsi testing cenderung berimbang.

Hal ini juga dapat disebabkan karena varian Omicron memunculkan gejala yang lebih ringan bahkan tanpa gejala dibandingkan varian Delta dengan gejala yang lebih nyata.

Baca Juga: Efek Pandemi, UMKM dan Penjualan Digital Kota Bandung Tumbuh Pesat

Karenanya, di masa Delta proporsi PCR sebagai alat peneguhan diagnosa lebih banyak, karena orang yang bergejala sedang hingga berat pun cenderung lebih banyak. Sementara di masa Omicron, orang cenderung bergejala ringan bahkan tanpa gejala, dan masih tetap beraktivitas normal.

Sementara, dari sisi mobilitas nasional saat ini, setara bahkan lebih tinggi dibanding gelombang Delta. Namun, saat ini testing lebih banyak untuk tujuan skrining dengan proporsi rapid antigen yang lebih tinggi.

Dari paparan data tersebut, dengan kondisi yang tidak separah masa varian Delta, seluruh elemen masyarakat harus tetap meningkatkan kewaspadaan. Dan jika melihat tren kenaikan positivity rate mingguan, belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Baca Juga: Usulan Jabatan Presiden Jokowi Diperpanjang, NasDem: Menghancurkan Demokrasi

Artinya, potensi penularan masih tinggi di tengah masyarakat. Terlebih pula, hal ini terjadi di tengah kondisi capaian testing rapid antigen yang lebih besar dimana banyak orang yang didapati positif melalui proses skrining, seperti syarat perjalanan dan aktivitas lainnya.

Tingginya angka positivity rate di tengah tingginya mobilitas ini menunjukkan kesadaran protokol kesehatan masyarakat yang masih belum cukup baik. Orang-orang yang beraktivitas dan melakukan perjalanan, ternyata masih banyak yang tertular. Meskipun pada akhirnya orang-orang yang tertular dapat teridentifikasi positif berkat skrining, namun akan lebih baik lagi mencegah penularan tidak terjadi sejak awal.

Karena itulah untuk mengakhiri rantai penularan, hanya dapat dilakukan dengan penerapan disiplin protokol kesehatan ketat. Dan upaya pemulihan ekonomi harus dilakukan dengan aman. Produktivitas masyarakat yang tidak aman berpotensi menyebabkan lonjakan kasus yang justru menurunkan capaian ekonomi jauh lebih besar.

Baca Juga: Rusia Invasi Ukraina, UEFA Pindahkan Final Liga Champions ke Paris

Terlebih lagi, masyarakat bertanggung jawab melindungi kelompok rentan yaitu lansia, anak-anak, orang orang yang belum dapat divaksin.

"Jangan sampai, ketidaktaatan kita akan protokol kesehatan menempatkan kita sebagai bahaya laten bagi mereka. Ingat, bukan tidak mungkin kita ternyata tertular dan menjadi OTG," tukasnya.***

Editor: Dicky Mawardi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x