Muhammadiyah: Jabatan Presiden Tiga Periode Mungkin Sah Secara Formil, Tapi...

- 14 Maret 2022, 10:33 WIB
Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi. /Antara/Akbar Nugroho Gumay/

GALAMEDIA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah angkat bicara perihal perdebatan publik mengenai wacana jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama tiga periode.

PP Muhammadiyah bahkan menggelar sebuah Webinar untuk membahas perihal wacana jabatan Presiden Jokowi tidak periode.

Webinar PP Muhammdiyah terkait isu jabatan Presiden Jokowi tiga periode ini digelar pada Rabu, 9 Maret 2022 lalu.

Melalui webinar tersebut, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti memberikan tanggapan terkait wacana jabatan Presiden Jokowi diperpanjang hingga tiga periode.

Baca Juga: 64 Juta Pelaku Berkontribusi Lebih dari 60 Persen GDP, BRI Fokus Pembiayaan UMKM

Abdul memandang, wacana tiga periode bisa dilakukan secara formal-konstitusional. tTetapi secara etika jauh dari moralitas konstitusi.

Dituturkan Abdul, Penjelasan Umum Tentang Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia 1945 bisa menjadi acuan terkait jabatan Presiden Republik Indonesia.

“UUD negara manapun tidak bisa dimengerti jika hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya, dan harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin," paparnya seperti dilansir Galamedia dari laman resmi PP Muhammadiyah pada Senin, 14 Maret 2022.

Baca Juga: Bukan Main, Sekali Tampil Outfit Lesti Kejora Totalnya Puluhan Juta Rupiah, Begini Reaksi Publik

Oleh karena itu, kata Abdul, penetapan masa jabatan presiden dan wakilnya selama dua periode dalam amandemen UUD 1945 tidak terlepas dari semangat reformasi.

Di luar teks formal, kata Abdul, suasana kebatinan dan kejiwaan serta konteks yang menjadi latar belakang lahirnya pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945 itu tidak boleh dilepaskan.

“Nah suasana kebatinan itu adalah jiwa dari suatu UUD. Suasana kebangsaan itu adalah ruh yang menjadi landasan mengapa sebuah UU itu disusun dan mengapa teks atau redaksinya itu berbunyi sesuai dengan di UUD itu,” jelasnya.

Dari pemahaman yang utuh terhadap teks dan konteks penyusunan UUD, Abdul menilai wacana hingga aksi amandemen UU untuk mewujudkan perpanjangan masa jabatan Presiden terbuka untuk dilakukan, tetapi melabrak norma kepatutan.

Baca Juga: Efek Putin, Pemain Chelsea Terancam Tak Digaji

"Marilah kemudian kita meninggalkan legacy yang baik sebagai pendidikan dan keteladanan bagi putra-putri bangsa," ujarnya.

"Jangan sampai bangsa kita terutama generasi muda ini mempelajari sejarah yang tidak baik dari para pemimpinnya dan kemudian sejarah kita ini harus kita koreksi berkali-kali hanya untuk menyelamatkan seseorang yang mungkin orang itu sedang berkuasa, atau orang itu sedang turun dari kekuasaan,” tukas Abdul.***

Editor: Dadang Setiawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x