Sejarah Perjuangan RA Kartini : Bukan Sekedar Identik dengan Kebaya dan Pawai Baju Daerah

- 18 April 2022, 12:56 WIB
Sejarah Perjuangan RA Kartini : Bukan Sekedar Identik dengan Kebaya dan Pawai Baju Daerah/made blog.com/
Sejarah Perjuangan RA Kartini : Bukan Sekedar Identik dengan Kebaya dan Pawai Baju Daerah/made blog.com/ /

Baca Juga: Profil Fitrul Dwi Rustapa, Kiper Baru Persib Bandung yang Direkrut Hari Ini

Adik-adik Kartini yang lebih muda (Roekmini dan Kardinah), masih bersekolah di sekolah rendah dan menanti giliran dipingit.

Sementara kakak laki-lakinya, RM Sosrokartono bernasib lebih beruntung sebagai laki-laki karena bisa melanjutkan sekolah di HBS Semarang dan ke Universitas Leiden, Belanda.

Hari-hari awal Kartini hanya dihiasi dengan kegiatan belajar memasak, membatik, dan menulis surat.

Baca Juga: Disebut-sebut Jadi Wanita yang Buat Putra Siregar di Penjara, Netizen Minta Chika Chandrika Buka Suara

Sejak dipingit dan tidak boleh bersekolah maupun tidak boleh keluar rumah, semangat belajar Kartini hanya tersalurkan pada bacaan buku-buku Belanda yang dikirim oleh sang kakak dan sang moedertje (Ovink-Soer).

Bacaan Kartini tergolong dari karya sastra feminis dan anti perang, seperti Goekoop de-Jong Van Beek, Berta Von Suttner, Van Eeden, hingga Max Havelaar karya Multatuli yang menceritakan ketidakadilan dari cultuurstelsel/tanam paksa kopi.

Kenekatan Kartini dengan prinsip egaliternya (kesetaraan), menjadikan dirinya dijuluki kuda kore atau kuda liar oleh lingkungannya.

Baca Juga: Mau Bikin Kue Lidah Kucing Pandan? Ini Resepnya

Enam tahun dalam pingitan, Kartini adalah gadis pertama yang tercatat dalam sejarah peradaban Jawa yang memberontak pada tatanan adat istiadat yang kaku dan tidak mempedulikan tekanan sosial di sekitarnya.

Pada, 2 Mei 1898 sang ayah memutuskan membebaskan mereka dari pingitan. Keputusan Sosroningrat ini tidak lepas atas bujukan dari Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer.

Mereka ingin Sosroningrat  memperbolehkan Kartini dan adik-adiknya untuk menghadiri perayaan hari penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang.

Baca Juga: GALIH GINANJAR Ngaku MENYESAL Cerai dengan Fairuz A Rafiq, Netizen Langsung Geram

Kegembiraan Kartini ia tuliskan dalam suratnya tak terbendung. I

ni adalah hari paling membahagiakan bagi dirinya, hari pertama pembebasan itupun dirayakan dengan pengalaman pertama Kartini keluar Jepara dan melihat “dunia baru” di Semarang.

Setelah lepas dari pingitan, Kartini mendirikan sekolah pertama untuk perempuan pribumi di tanah Hindia Belanda. Awalnya, sekolah itu berisi hanya satu orang murid.

Ide “menyekolahkan anak perempuan” itu adalah hal yang asing, aneh, dan radikal.

Baca Juga: RESMI! Persib Bandung Rekrut Penjaga Gawang Fitrul Dwi Rustapa

Tidak menyerah, Kartini terus menyurati orangtua yang memiliki anak perempuan di seluruh Jepara untuk menjadi murid sekolah yang didirikannya. Lambat laun, murid-murid Kartini pun bertambah.

Saat itu, ia bukan hanya dikenal sebagai pendiri sekolah wanita pertama, Didi Kwartanada (sejarawan Yayasan Nabil) berpendapat bahwa Kartini juga bisa disebut sebagai jurnalis pertama sekaligus antropolog pertama Indonesia.

Namun, nasib kurang beruntung Kartini ternyata belum berakhir.

Baca Juga: Heboh Rose BLACKPINK di Klip Tiffany, Dikira Belum Cukup Umur

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatnya untuk melanjutkan studi menjadi guru di Batavia juga terhalang oleh kedatangan sepucuk surat lamaran, dari Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Djojo Adhiningrat (selanjutnya disebut Djojoadhiningrat).

Dalam proses penerimaan lamaran ini, Kartini melakukan banyak hal yang sangat tidak lazim bagi perempuan pada masa itu.

Syarat dari Kartini antara lain: Kartini ingin diberi kebebasan untuk membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri pejabat Rembang, seperti yang telah dia lakukan di Jepara.

Baca Juga: GALIH GINANJAR Ngaku MENYESAL Cerai dengan Fairuz A Rafiq, Netizen Langsung Geram

Dalam prosesi pernikahan, Kartini tidak mau ada proses jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki pria, dan gestur-gestur lain yang melambangkan ketidaksetaraan antar hubungan laki-laki dan perempuan.

Syarat terakhir, Kartini minta untuk diperbolehkan berbicara dengan suaminya dengan bahasa Jawa ngoko (kasar), bukan kromo inggil (bahasa halus dan hanya untuk bangsawan).

Sepuluh bulan setelah pernikahannya, Kartini melahirkan anak semata wayang RM Soesalit Djojoadhiningrat.

Halaman:

Editor: Mia Fahrani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah