Kronologi Kerusuhan Dago Elos, Sengketa Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller

- 15 Agustus 2023, 13:27 WIB
YLBHI untuk warga Dago Elos
YLBHI untuk warga Dago Elos /lbhbandung.or.id/

GALAMEDIANEWS - Kronologi kerusuhan warga Dago Elos dengan aparatKepolisian, berikut awal mulanya sengketa warga Dago Elos dengan keluarga Muller.

Kronologi kerusuhan bermula sejumlah warga Dago Elos dan Koalisi Dago Melawan mendatangi kantor Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Bandung, pada Senin 14 Agustus 2023 pada pukul 10.15 WIB 

Kerusuhan terjadi di Dago Elos pada Senin malam hari nya. Aparat kepolisian membubarkan warga demonstran yang melakukan blokade di sepanjang jalan arah terminal dago.

Warga datang ke Polrestabes Bandung untuk melakukan pelaporan atas tindak pidana yang Pemalsuan Ahli Waris dari Warga Dago Elos yang sedang bersengketa dengan Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha yang merupakan lawan sengketa.

Maksud dan tujuan demonstrasi yang mengatasnamakan warga Dago Elos tersebut adalah dalam rangka pembuatan Laporan Polisi terkait Pemalsuan Ahli Waris dari Warga Dago Elos yang sedang bersengketa dengan Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.

Menurut keterangan tertulis dari perwakilan warga Dago sebagaimana dilansir GalamediaNews dari Instagram @ lbhbandung, Warga Dago Elos saat ini sedang bersengketa dengan Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha dan tengah mempertahankan lahannya dari ancaman penggusuran paksa.

Kronologi Kerusuhan Dago Elos 

Sebelumnya, warga telah melakukan pelaporan sebanyak dua kali yang mana kali pertama dilakukan pada tanggal 8 Maret 2023. Dan laporan pertama ini dilakukan penolakan oleh pihak kepolisian.

Selanjutnya warga datang kembali ke Polrestabes Bandung pada tanggal 14 Agustus 2023 dan kembali dilakukan penolakan tanpa adanya alasan yang jelas.

Baca Juga: Kronologi Kerusuhan di Dago Elos Bandung: Aparat Bubarkan Warga Demonstran, Gas Air Mata Disemburkan

"Ini adalah untuk kedua kalinya Laporan Pidana warga Dago Elos ditolak oleh Polrestabes,” sebagaimana dikutip dari Instagram @ lbhbandung.

Penolakan tersebut berakhir dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga Dago Elos dan membawa spanduk bertuliskan "Kita Belum Merdeka", "Dago Melawan", dan "Tanah untuk Rakyat".

Hingga malam hari, Satreskrim Polrestabes Bandung belum bisa membuatkan Laporan Polisi, dikarenakan pihak warga dianggap tidak memenuhi syarat laporan yang dibutuhkan atau belum cukup bukti.

Setelah ditunggu sampai pukul 19.30 WIB, pihak kepolisian hanya melakukan berita acara wawancara (BAW), bukan berita acara pemeriksaan (BAP).

"Laporan kami ditolak polisi, padahal semua data-data, bukti-bukti sudah tercantum. Alasannya karena bukti tidak cukup. Alasan lainnya ingin ada salah satu pelapor yang memiliki sertifikat tanah, itu kan konyol. Kalau mau bilang dari siang, kita sudah delapan jam," kata seorang warga bernama Rizkia saat dihubungi, Senin malam.

Warga lain yang sudah menunggu kemudian meminta polisi datang menemui mereka untuk menyampaikan secara langsung alasan laporan tersebut ditolak. Namun, tidak satu pun polisi menemui warga. Kemudian sekitar pukul 20.30 WIB, warga Dago Elos memblokade jalan dan membakar ban dan kayu.

Warga juga sempat berorasi dan membentangkan spanduk tentang sengketa tanah. Aksi ini sempat membuat kemacetan. Petugas kepolisian menutup jalan dari sebelum SPBU Dago dan meminta kendaraan menuju Dago Atas putar balik.

Petugas dari Polrestabes Bandung dan Polda Jabar sempat bernegosiasi dengan warga. Negosiasi sempat berhasil. Namun, tiba-tiba terdengar tiga kali suara letusan gas air mata. Sontak hal itu memicu kerusuhan. Warga kemudian melempari petugas dengan batu.

"Mundur-mundur, batu bahaya," kata salah satu petugas yang membubarkan masyarakat yang sedang menonton aksi pemblokiran jalan.

Petugas akhirnya ikut mundur dan berupaya menyiapkan barikade. Kendaraan water canon kemudian maju perlahan. Sementara, lemparan batu dan pembakaran ban masih terus berlangsung. Polisi terus berupaya memukul mundur massa pukul 22.45 WIB. 

Barikade polisi perlahan maju dan kendaraan water canon menyemprotkan air ke kerumunan, berupaya membubarkan massa. Namun, upaya itu kembali mendapat perlawanan. Di sekitar gang dekat terminal, massa kembali melempari petugas dengan batu.

Pukul 23.06 WIB, massa kembali melawan. Petugas kembali mundur hingga akhirnya Tim Raimas bersepeda motor diterjunkan. Massa perlahan dapat dipukul mundur sekitar pukul 23.59 WIB. 

Massa terlihat berlarian ke pemukiman di sekitar terminal. Petugas kemudian menangkap sejumlah warga yang dianggap anarkistis. Kondisi telah kondusif pada Selasa.

Awal Mulanya Sengketa Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller

Hal ini berawal dari sengketa lahan warga Dago Elos dengan Keluarga Muller yang mengklaim sebagai ahli waris menggugat warga Dago Elos. Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller. 

Ketiganya mengaku keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda. Ketiganya kini sudah menjadi warga negara Indonesia. Mereka mengklaim bahwa tanah seluas 6,3 hektar di Dago Elos sudah diwariskan kepada mereka.

Semula, diatas tanah itu berdiri Pabrik NV Cement Tegel Fabriek dan Materialen Handel Simoengan atau PT Tegel Semen Handeel Simoengan, tambang pasir, dan kebun-kebun kecil. Kini kondisinya sudah berbeda jauh. Di atas lahan itu kini ada kantor pos, Terminal Dago, dan didominasi oleh rumah-rumah warga RT 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos. Meski demikian, tidak seluruh warga RW 02 menempati lahan 6,3 ha yang diklaim keluarga Muller.

Baca Juga: Dago Elos Melawan Ungkapan Hati Warga: Ridwan Kamil Coba Lihat Kami Jangan Hanya Diam Main Medsos!

Tanah itu diklaim berasal dari Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan kolonial Belanda. Tanah seluas 6,3 ha itu terbagi dalam tiga Verponding: nomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.780 meter persegi. Sertifikat tanah itu dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada 1934.

Sejatinya hak barat tersebut menjadi bagian dari nasionalisasi tanah bekas Belanda atau setidaknya berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya 20 tahun sejak UUPA berlaku.

Namun hingga lebih dari 50 tahun keluarga Muller tidak pernah tercatat melakukan kewajibannya mencatatkan ulang bahkan menelantarkan begitu saja tanpa menduduki secara fisik tanah tersebut yang hingga kini dijadikan sebagai sumber penghidupan tempat tinggal oleh warga kampung Dago Elos.

Kabar kemenangan sempat menyebar di tahun 2020 semasa seluruh masyarakat sedang berjuang menghadapi pandemic Covid-19 melalui putusan Putusan Kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019, hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa eigendom verponding atas nama George Hendrik Muller sudah berakhir karena tidak dikonversi paling lambat tanggal 24 September 1980.

Menanggapi pasca dari putusan Kasasi warga segera untuk mengupayakan tindakan pendaftaran tanah kepada Badan Pertanahan Negara Kota Bandung, terhitung sejak 21 Januari 2021 Warga Kampung Dago Elos Kecamatan Coblong Kota Bandung mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah kepada Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung namun hingga sampai saat ini belum ditanggapi oleh kantor BPN Kota Bandung.

Selang satu tahun lebih tidak direspon oleh kantor BPN Kota Bandung Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 109/PK/Pdt/2022 yang sebelumnya telah diajukan upaya hukum peninjauan kembali oleh pihak Heri Muller. 

Keadaan pun berbalik, dengan adanya Putusan Peninjauan kembali tersebut mengabulkan Gugatan pihak keluarga muller yang sebelumnya di dalam kasasi ditolak gugatan tersebut.

Sengketa tanah di Dago Elos bergulir ke halaman anyar. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang terbit tahun ini ternyata menguntungkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha. Mereka diprioritaskan memperoleh hak milik tanah, sedangkan warga Dago Elos terancam digusur.

MA dalam putusan PK nomor 109/PK/Pdt/2022, melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, menyatakan para tergugat atau lebih dari 300 warga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.

Warga Elos diminta pergi dari kampung yang kini mereka tinggali. Jika menolak, maka sangat mungkin alat berat dan beserta aparat negara itu dikerahkan. Secara paksa.

“Menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang berdiri di atasnya serta menyerahkan tanah objek sengketa tanpa syarat apapun kepada PT Dago Inti Graha selaku Penggugat IV, bilamana perlu melalui upaya paksa dengan menggunakan bantuan alat keamanan negara,” demikian penggalan putusan tersebut.

Warga Elos dipaksa meruntuhkan rumah dan menyerahkan tanah kepada PT Dago Inti Graha, tanpa syarat. Namun, warga enggan menyerah, kini mereka memilih menjaga kampung untuk melawan penggusuran, sambil mengintip celah hukum lain yang mungkin masih bisa ditempuh.***

Editor: Tatang Rasyid

Sumber: Instagram @lbhbandung


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah