Demokrat KBB Bersama Buruh Tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja

- 6 Oktober 2020, 15:32 WIB
Para pimpinan DPRD Kabupaten Bandung Barat saat menemui para buruh aksi di depan Kantor DPRD Kabupaten Bandung Barat, Jalan Raya Padalarang, Selasa 6 Oktober 2020./Ziyan Muhammad/Galamedia.
Para pimpinan DPRD Kabupaten Bandung Barat saat menemui para buruh aksi di depan Kantor DPRD Kabupaten Bandung Barat, Jalan Raya Padalarang, Selasa 6 Oktober 2020./Ziyan Muhammad/Galamedia. /
 
GALAMEDIA - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Kabupaten Bandung Barat menolak keras Undang–Undang (UU) tentang Cipta Lapangan Kerja. Demokrat menilai banyak hal yang harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. 
 
Untuk diketahui, Pemerintah dan DPR hanya butuh waktu tujuh bulan untuk menyelesaikan pembahasan UU Cipta Kerja hingga disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 5 Oktober 2020. 
 
Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Bandung Barat, Iwan Setiawan turut hadir dalam aksi mogok nasional yang dilakukan kaum buruh di depan kantor DPRD Kabupaten Bandung Barat, Padalarang, Jalan Raya Padalarang, Selasa 6 Oktober 2020. Kehadirannya merupakan bentuk dukungan kepada para buruh untuk menolak pengesahan UU Cipta Kerja.
 
 
Di sela aksi, Iwan menuturkan langkah yang diambil oleh Pemerintah bersama DPR dalam mengesahkan UU Cipta Kerja ini sebagai bentuk penindasan dan rasa ketidakadilan kepada kaum buruh. Menurutnya, banyak catatan atau poin yang sangat jelas merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha.
 
"Kami sangat jelas menolak UU Cipta Kerja ini karena jauh dari prinsip keadilan sosial bagi masyarakat. Seharusnya negara hadir untuk memberikan keadilan, karena dengan disahkannya UU tersebut menjadi berat perjuangan yang selama ini dilakukan oleh para buruh," kata Iwan, di sela-sela aksi. 
 
Iwan menyebutkan, ada sejumlah catatan penting yang harus diperhatikan.
Pertama, UU Cipta Kerja tidak memiliki nilai urgensi dan kegentingan memaksa di tengah krisis pandemi ini. 
 
 
"Di masa awal pandemi prioritas utama negara harus diorientasikan pada upaya penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan jiwa manusia, memutus rantai penyebaran Covid-19, serta memulihkan ekonomi rakyat," ujarnya. 
 
Kedua, UU ini membahas secara luas beberapa perubahan UU sekaligus (omnibus law). Karena besarnya implikasi dari perubahan tersebut, maka perlu dicermati satu per satu, hati-hati, dan lebih mendalam, terutama terkait hal-hal fundamental, yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. 
 
Ketiga, harapannya UU ini di satu sisi bisa mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional. Namun di sisi lain, hak dan kepentingan kaum pekerja tidak boleh diabaikan apalagi dipinggirkan. Tetapi, UU ini justru berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum pekerja di negeri kita.
 
 
Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk “reformasi birokrasi” dan “peningkatan efektivitas tata kelola pemerintahan”, justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya “pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan” (growth with equity).
 
Keempat, Partai Demokrat memandang UU Cipta Kerja telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial (social justice) ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik. Sehingga perlu dipertanyakan, apakah UU Ciptaker ini masih mengandung prinsip-prinsip keadilan sosial (social justice) tersebut sesuai yang diamanahkan oleh para founding fathers bangsa ini?
 
Kelima, selain cacat substansi, UU Cipta Kerja ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam UU ini kurang transparan dan akuntabel. Pembahasan RUU ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
 
 
Selain lima hal tadi, Partai Demokrat juga memiliki catatan lain. Pertama, terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip ”no work no pay” oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam. Selanjutnya, RUU Cipta Kerja ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.
 
Selain itu, UU Cipta Kerja ini juga akan berimplikasi terhadap nasib sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, substansi UU Cipta Kerja tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Prinsipnya, perlindungan terhadap hak-hak para pekerja adalah hal yang fundamental untuk diperjuangkan.***
 
 
 
 
 

Editor: Kiki Kurnia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x