Mewujudkan Kemandirian Pangan Di Negeri Agraris

- 11 Januari 2021, 13:31 WIB
Lilis Suryani
Lilis Suryani /istimewa

 

GALAMEDIA - Beberapa hari ke belakang emak-emak sempat dibuat bingung dengan menghilangnya tahu dan tempe dari pasaran. Padahal, komuditas pangan yang satu ini adalah salah satu favorit emak-emak, selain ramah dikantong juga bernilai gizi yang cukup tinggi. Untuk sebagian besar masyarakat Jawa barat, apalagi kalangan menengah ke bawah tahu dan tempe menjadi bahan pangan yang wajib ada setiap harinya sebagai alternatif pengganti protein hewani yang harganya jauh lebih mahal.

Jelas saja menghilangnya tahu dan tempe ini berdampak besar bagi masyarakat yang mengandalkan tahu dan tempe sebagai asupan gizi alternatif. Menghilangnya tahu dan tempe dipasaran ternyata disebabkan oleh aksi mogok para perajin tahu dan tempe di wilayah Jabodetabek sebagai bentuk protes kepada pemerintah.

Sebagaimana dilansir, harian Republika.co.id, yang memberitakan bahwa naiknya harga bahan baku kedelai impor membuat para perajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021.

Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai. Semenjak dua bulan yang lalu, harga kedelai  terus merangkak naik yang berakibat pada kerugian di pihak perajin.

Baca Juga: 900 Petugas Gabungan Terjun untuk Mencari 27 Korban Longsor yang Masih Hilang di Cimanggu

Kelangkaan pangan ini bukan hanya berakibat buruk bagi para pelaku usaha namun juga kepada para konsumennya. Akibat kelangkaan kedelai misalnya, sudah dapat dipastikan harga tahu dan tempe pun akan ikut naik. Hal ini akan berdampak pada anggaran belanja masyarakat. Sudah dapat dipastikan, emak-emak harus berfikir keras untuk mengatur pengeluaran keluarga.

Agar semua kebutuhan bisa tetap terpenuhi. Besar kemungkinan emak-emak akan mengurangi jumlah kebutuhan pangan yang harus dibeli. Apalagi saat terjadi Pandemi seperti sekarang ini. Dimana mencari nafkah bagi para suami begitu sulit. Setiap keluarga harus memilah dan memilih bahan pangan yang murah meriah agar bisa tetap bertahan hidup. Meskipun memiliki kandungan gizi yang rendah.

Dengan berkurangnya konsumsi dan asupan gizi seimbang di masyarakat, pada keluarga khususnya. Tentu akan berdampak buruk bagi kesehatan serta tumbuh kembang anak, baik fisik maupun mentalnya. Peningkatan kasus stunting misalnya adalah bukti bahwa anak-anak tidak menkonsumsi asupan gizi yang cukup. Hal inilah yang semestinya diperhatikan oleh pemerintah.

Kelangkaan pangan bukan kali ini saja terjadi. Permasalahan ini seolah menjadi hal yang rutin dihadapi bangsa ini. Ketergantungan terhadap impor bahan pangan membuat harga bahan pangan pun menjadi tidak stabil. Hal ini membuktikan bahwa bangsa ini belum memiliki kemandirian di dalam penyediaan bahan pangan.

Baca Juga: Presiden Jokowi Setuju Pelarangan WNA Masuk ke Indonesia Diperpanjang hingga 28 Januari 2021

Padahal, naik turunnya harga pangan karena besarnya jumlah impor bisa diatasi dengan keseriusan menghentikan ketergantungan impor.

Berkaitan dengan hal ini, Islam mempunyai solusi jitu untuk mewujudkan kemandirian pangan sehingga tidak harus bergantung kepada impor dari negara lain. Sebagai wujud tanggungjawabnya, negara di dalam konsep Islam akan hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan mulai dari aspek hulu sampai ke hilir.

Di ranah hulu, negara bertanggungjawab untuk menjamin berjalannya proses poduksi dan menjaga stok pangan. Karenanya negara akan mendukung penuh usaha pertanian yang dilakukan rakyatnya.

Misalnya dengan memberikan kemudahan mengakses bibit terbaik, alsintan modern atau teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan subsidi, membangunkan infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi dsb. Termasuk menyelenggarakan riset-riset, pendidikan, pelatihan, pengembangan dst. Negara menerapkan hukum pertanahan dalam Islam sehingga mencegah penguasaan lahan dan menjamin semua tanah terkelola maksimal.

Begitupula pada aspek distribusi dan stabilisasi harga. Secara prinsip distribusi dan pembentukan harga dalam pandangan Islam mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami, tanpa adanya intervensi negara. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan jika terjadi kondisi yang tidak normal.

Pada kondisi harga tidak normal, negara akan mengambil dua kebijakan utama yaitu pertama menghilangkan penyebab distorsi pasar seperti penimbunan, kartel, dsb. Kedua dengan menjaga keseimbangan supply dan demand.

Baca Juga: Enam Daerah Masih Zona Merah,Emil : Secapa AD Disiapkan jadi Rumah Sakit Positif Covid-19

Tanggung jawab penuh dari negara akan menjamin pemenuhan pangan rakyat terjadi secara merata, mencukupi dan harganya pun terjangkau. Dukungan total negara dalam berproduksi, tentu akan menggairahkan petani berusaha. Begitupula distribusi yang dikawal negara akan menciptakan pasar yang sehat. Sehingga apabila pengurusan pangan dalam negeri telah dikelola dengan baik, maka kebutuhan untuk impor pangan akan hilang dan kedaulatan pangan benar-benar terwujud.

Jika kita lihat, sebagai negeri agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan tanah yang subur nan luas, harusnya menjadi modal utama bagi Indonesia mewujudkan pemenuhan pangan rakyat secara cukup, terjangkau dan berkualitas. Pemenuhan itupun bisa diusahakan secara mandiri tanpa ketergantungan pada negara lain.

Baca Juga: Lagi, Seorang Perampok Minimarket Diciduk Polresta Bandung

Saat ini potensi tersebut dikelola dengan sistem dan konsep batil Neoliberalisasi sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan hanyalah angan-angan. Sebaliknya apabila pengelolaannya menggunakan sistem politik ekonomi Islam yang mewajibkan negara hadir secara penuh, maka pemenuhan pangan secara mandiri bukanlah mimpi. Wallahu a’lam bi ash shawab.***

 

Penulis : Lilis Suryani

 

 

 

 

 

 

Editor: Kiki Kurnia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x