Menyikapi Revenge Travel

- 14 Desember 2021, 21:41 WIB
Foto penulis./dok.pribadi
Foto penulis./dok.pribadi /

GALAMEDIA - Memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia. Keingintahuan adalah salah satu kebutuhan manusia, yang juga menjadi salah satu sebab terjadinya suatu perjalanan (wisata) dari yang bersifat rekreasi sampai melakukan perjalanan jauh yang memerlukan waktu menginap di destinasi.

Terhambatnya suatu kebutuhan tersebut karena pandemi, dengan adanya pembatasan-pembatasan untuk melakukan perjalanan/ wisata, menyebabkan terhambatnya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dan terbatasnya kesempatan untuk melakukan wisata secara fisik.

Sejak 2 Maret 2020, kita dipaksa “dipenjara” di rumah, kebutuhan kita menjadi sedikit dan simple, sebagian masyarakat penat zoom meeting dari pagi hingga malam, masyarakat mengalami pukulan psikologis yang berat. Mereka mengalami kelelahan luar biasa akibat PPKM ("lockdown fatigue").

Recovery time sektor pariwisata dipercaya lebih cepat dari sektor lainnya, mengingat berwisata merupakan kebutuhan masyarakat kekinian. Boleh jadi hanya berbentuk rekreasi ataupun lebih dari sekedar rekreasi.

Baca Juga: Ada Peringatan Apa 15 Desember? Simak Sejarah Hari Juang Kartika TNI AD atau Hari Infanteri

Terbukti dimasa PPKM pun masyarakat tetap "memaksa diri" untuk berwisata, meski sebagian diantaranya harus gigit jari batal berwisata karena pembatasan jumlah kunjungan, pemberlakuan nomor polisi kendaraan ganjil-genap, keharusan aplikasi peduli lindungi, dan lain-lain.

Saat ini pandemi masih berlangsung meski menunjukan tren menurun. Keadaan tersebut cukup membuat optimis sehingga pemerintah berani mengambil kebijakan untuk membuka tempat wisata dengan tetap konsisten menerapkan protokol kesehatan dan pembatasan "carrying capacity" tempat wisata sampai 50%.

Hal ini tentu membuat suatu gairah dikedua sisi, sisi pengusaha dan masyarakat. Disatu sisi bagus untuk sektor pariwisata kita karena setelah "mati suri" sekian lama kini mulai menggeliat dan hidup lagi.

Namun, disisi lain tren ini juga membawa risiko berbahaya karena bisa memicu third wave dalam beberapa minggu ke depan. Kerumunan warga di tempat-tempat wisata harus bisa dikelola dengan baik.

Efek dari kebijakan relaksasi adalah memunculkan reaksi sosial - masyarakat mencari kepuasan yang sempat tertunda - bentuknya bisa revenge travel (wisata “balas dendam”). Sehebat apapun dampak pandemi, ia tak akan mampu menghentikan kebutuhan leisure (santai) kita. Dan kinilah saatnya momentum ledakan leisure itu akan terjadi.

Dengan vaksinasi yang digenjot pemerintah dan badai second wave Covid-19 sudah berangsur mereda, maka momentum revenge travel ini sudah tampak terjadi akhir-akhir ini.

Baca Juga: Rizal Ramli dan Akademisi Keheranan terhadap PDIP: Kok Takut Kompetisi Yang Fair Sih? Ada Apa?

Relaksasi PPKM terutama menjelang momen Nataru (Natal dan Tahun Baru) diprediksi akan mendorong masyarakat berbondong-bondong melakukan revenge travel.

Artinya, akan ada permintaan perjalanan yang sangat tinggi yang sebelumnya tidak tersalurkan karena kebijakan pemerintah maupun keamanan setempat. Masyarakat membanjiri destinasi wisata.

Mal kembali ramai oleh mereka yang just window shopping. Gerai kopi kembali dipenuhi oleh anak-anak milenial nongkrong. Fenomena kemacetan hampir semua kawasan wisata adalah menjadi fenomena umum kekinian.

Bagi para inovator bisnis wisata, fenomenal ini merupakan reaksi intuitif yang membutuhkan pendekatan psycho-marketing untuk mampu mengakomodir hasrat berlibur pelancong domestik.

Produk wisata yang dilaunching mestinya didesain sesuai dengan kondisi para pelancong berstandar healthy tourism yang berkonsep NEWA (Nature, Eco, Wellness, Adventure) serta memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Pegiat wisata pun dituntut fokus pada inovasi bisnis wisata dalam menghadapi perilaku anomali wisatawan ini. Wisatawan revenge travel ini termasuk kelompok pencari kepuasan yang tergesa-gesa, sehingga apa pun dikonsumsi, dan siap membayar harga mahal, misalnya biaya PCR yang mahal tetap dibeli demi sampai ke destinasi.

Baca Juga: Wagub Jabar Tegaskan Pesantren Miliknya Tak Ada Kaitan dengan Boarding School Milik Herry Wirawan

Patut diingat bahwa pandemi ini akan berakhir bilamana berakhir, oleh karena itu penggiat usaha wisata harus dapat menahan diri dan taat aturan dan protokol kesehatan, agar tidak menjadi penyebab kluster penyebaran virus yang mungkin telah bermutasi menjadi varian yang lebih mematikan.

Demikian pula bagi masyarakat, jangan terlalu memaksakan diri dan merasa bebas pandemi. Kita semua harus sangat menyadari bahwa pandemi masih berlangsung, kita bisa lihat tren menaik di negara tetangga.

Kesimpulannya bahwa pelonggaran pembatasan ini harus dipahami oleh seluruh pihak, masyarakat dan pengusaha, bukan berarti bebas melakukan wisata sebagaimana biasa sebelum adanya pandemi.

Semua pihak harus tahu, paham, mengerti dan menyadari, bahwa kelalaian, keteledoran, dan mementingkan diri sendiri, akan mencelakakan pihak lain.

Berwisata adalah kebutuhan, boleh-boleh saja, malah suatu hak yang dijamin. Tapi tetap ingat aturan yang harus kita terapkan.

Kinilah saatnya kita mulai disiplin menyeimbangkan kepentingan kesehatan dan berwisata. Kita harus hidup berdampingan dengan covid-19 dan dengan adanya herd immunity pasca vaksinasi massal, covid-19 akan menjadi endemi yang harus kita adaptasi: Disiplin 3M, bijak dalam berperilaku.

Pengirim
Yudhi Koesworodjati
- Dosen Tetap Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan
- Pemerhati pariwisata

DISCLAIMER: Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim.

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x