Seberapa Kuat Aturan Denda Karena Masker di Provinsi Jabar

- 30 Juli 2020, 09:55 WIB
Ilustrasi. (Pixabay)
Ilustrasi. (Pixabay) /


GALAMEDIA - Denda akhir-akhir ini menjadi trend untuk mempidana masyarakat yang tidak memakai masker. Besarannya variatif, mulai Rp50.000 hingga Rp150.000 dan telah ditetapkan melalui Perbup oleh beberapa pemerintah daerah salah satunya Pemprov Jabar.

Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 60 tahun 2020 tentang pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran tata tertib kesehatan dalam pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar dan adaptasi kebiasaan baru dalam pelanggaran kesehatan COVID-19 di daerah Provinsi Jabar Telah ditetapkan pada tanggal 27 Juli 2020 lalu.

Pergub ini akan mendenda masyarakat Jabar jika tidak memakai masker atau tidak sesuai dengan protokol kesehatan dengan denda antara Rp100.000 hingga Rp500.000.

Baca Juga: Pahala Puasa Arafah, Ini yang akan Anda Peroleh Saat Berbuka Nanti

Lalu Bagaimana sebenarnya hukum melihat permasalahan ini? Apakah diperbolehkan pergub/perbup/Perwal memuat ketentuan pidana untuk masyarakatnya?

Peraturan Gubernur atau Peraturan bupati/walikota adalah suatu peraturan yang penjelasannya ada dalam pasal 8 Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UUPPP).

Pergub/Perbup/Perwal merupakan jenis peraturan perundang-undangan, akan tetapi baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Baca Juga: Selain Lemon, Ini Bahan yang Bisa Digunakan Agar Daging Tidak Alot

Namun, Pergub/Perbup/Perwal tidak boleh memuat ketentuan pidana. Hal ini karena ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa peraturan ditingkat daerah yang bisa memuat sanksi pidana hanyalah peraturan daerah (Perda).  

Hal ini berdasarkan Pasal 15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUPPP) yang menyebutkan bahwa "Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah" serta Pasal 238 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) yang menyebutkan bahwa “(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); (3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda selain dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.”

Baca Juga: Ema Sumarna: Angka Konfirmasi Covid-19 Kota Bandung Terkendali

Hal ini karena Sanksi merupakan pengurangan hak seseorang atau warga negara dan karena merupakan pengurangan hak, produknya harus dihasilkan oleh pemerintah dan perwakilan masyarakat, dalam hal ini DPRD.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPPP, disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d.Peraturan Pemerintah; e.Peraturan Presiden; f.Peraturan Daerah Provinsi; dan g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan pasal ini, maka status Perda tidak menjadi lebih rendah dari Peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Keppres, Permen, dan Kepmen, karena aturan tersebut tidak masuk dalam hierarkis.

Dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUPPP) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD) sebaiknya Peraturan Gubernur/ Peraturan Bupati/ Peraturan Walikota ini memuat landasan yuridis, sosiologis dan filosofis dalam suatu naskah akademik sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

Baca Juga: Pantai Plengkung Banyuwangi Jadi Tuan Rumah Liga Selancar Dunia

Lalu bagaimana mekanisme pemberlakuan tindak pidana ringan (Denda Karena Masker) ini?

Mekanisme dari pemberlakuan denda akibat tidak memakai masker ini tentu harus melalui Pengadilan Negeri, mekanismenya mirip dengan tilang, menggunakan proses beracara tindak pidana Ringan. Karena pengenaan denda pada warga Jabar yang tidak memakai masker hanya di kenakan instrumen pemidanaan berupa denda antara Rp100.000 – Rp500.000.  

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tipiring merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

Baca Juga: Tidak Pakai Sabun Mandi Selama 5 Tahun, Dokter Ini Disebut Bau Manusia

KUHAP tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya “.

Pasal 205 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.”  

Pemberlakuan peraturan mengenai denda masker ini hanya bisa diimplementasikan dengan mendasarkan kepada Peraturan Daerah (Jika Daerah yang menetapkan) dan tidak bisa jika hanya pergub/Perbup/Perwal. 

Baca Juga: Xiaomi Luncurkan Skuter Listrik Ninebot C30, Harganya Lebih Murah dari Sepeda Lipat

Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dari pada yang ditentukan oleh undang-undang. Pasal 6 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman ini mengandung asas legalitas, Bahwa setiap orang yang dihadapkan ke pengadilan haruslah orang yang dianggap telah melanggar undang-undang, dalam arti jika orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Jika dianggap melanggar Peraturan Daerah (Perda) haruslah orang yang dianggap telah melanggar Peraturan Daerah (Perda). 

Jika tidak, pengenaan denda melalui dasar pergub/perbup/perwal batal demi hukum, apalagi jika pengenaan denda tidak melalui pengadilan yang mana dalam perbup tersebut yang mengeksekusi adalah Satpol PP bersama TNI dan POLRI, jelas sudah menyalahi ketentutan dan norma hukum yang mana dijelaskan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman bahwa hanya pengadilan lah satu-satunya yang berhak memutus (judicial power) yakni memeriksa dan mengadili perkara yang menjadi wewenang Pengadilan, menyatakan warga bersalah atau tidaknya, melanggar atau tidaknya suatu peraturan yang telah ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini eksekutif dan legislatif.

Baca Juga: Ronaldo Kehilangan Sepatu Emas, Juventus Dibantai Tim Papan Bawah

Dengan demikian, pengenaan instrumen pemidanaan berupa denda seharusnya disahkan dan ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda), bukan melalui Peraturan Gubernur walaupun didasarkan pada peraturan daerah (Perda). sehingga Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 60 tahun 2020 tentang pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran tata tertib kesehatan dalam pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar dan adaptasi kebiasaan baru dalam pelanggaran kesehatan COVID-19 di daerah Provinsi Jabar cacat formil dalam perspektif hukum. ***

Penulis: Yusril Hardiansyah Pratama
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten
Email: [email protected]

Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim

Editor: Dadang Setiawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x