Wanggi Hoed, Gaungkan Isu Kemanusiaan Melalui Pantomim

- 21 September 2020, 16:16 WIB
/

GALAMEDIA - Menjelang sore, pertemuan Galamedia dengan salah seorang Pantomim Indonesia, Wanggi Hoed. Menemuinya di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) kota Bandung, suasana sedikit sunyi di kawasan itu. Memasuki tongkrongan di GIM bersama Wanggi, mulai terdengar beberapa orang saling bertegur sapa membalas, obrolan hangat pun terdengar.

Cerita ringan pun mulai dilontarkan Wanggi kala bertemu. Kesibukan yang saat ini sedang Wanggi lakukan berupa riset digital tentang pantomim dengan pengetahuan lain. Terkhusus di tengah pandemi, dirinya mencoba sesuatu yang ternyata menarik. Selama ini Wanggi menyadari pantomim yang disuguhkan olehnya tidak memiliki gaya yang spesifik.

“Pantomim saya itu engga jelas ya, dalam artian ini gaya apa, karena memang saya tidak mengkategorikan itu,” tuturnya, Senin 21 September 2020.

Baca Juga: Rencanakan Operasi Gabungan OMSP, Pasis Seskoau A-57 Gelar Pra PKB Opsgab

Pengetahuan baru yang didapatkannya yaitu pengetahuan geometri. Menurutnya, menarik ketika bisa bermain-main dengan garis dan ruang. Pengetahuan secara astronomi dan matematika, karena ada keterlibatan keseimbangan, jiwa, dan tubuh. Pola-pola itu ia dapatkan melalui riset digital.

Tetap Ekspresikan Diri
Sebelum adanya pandemi, seharusnya Wanggi melaksanakan tour yang dijalankan tetapi menjadi terhambat dan malah tertunda. Jadwal tour yang sudah direncanakan seperti ke Sumedang, Cirebon, Kuningan, Yogya, dan Bali. Pertunjukan-pertunjukan yang sempat dilakukan akhirnya ditampilkan secara virtual, seperti live instagram.

“Saya aktif di dunia digital, biar temen-temen tidak panik. Dalam artian pantomim saya lakukan tidak mencari bentuk keuntungan atau materi yang terlalu berlebihan,” tuturnya.

Baca Juga: Forum Pengurangan Risiko Bencana Ajak Masyarakat Melek Bencana

Contoh lain, saat hari pantomim sedunia, seharusnya Wanggi melakukan pertunjukan dalam pertemuan fisik dan membuat gelaran. Kondisi pandemi lumayan sulit untuk melakukan aktivitas, bahkan tidak bisa apa-apa yang dirasakan Wanggi. Keputusan akhirnya dibuat, melalui dua platform yaitu facebook dan instagram sehingga penampilan virtual pun dilaksanakan.

Dalam penampilan virtualnya kata Wanggi, saat itu ia bercerita, berbagi dan memberikan energi kepada teman-teman yang menonton. Bahwa di kondisi pandemi saat ini, masih bisa terus bergerak untuk diri sendiri, dan bahkan berkarya.

Penampilan tubuh berupa ancamam-ancaman dalam bentuk visual, yang pada akhirnya adanya kesadaran dengan kondisi diri sendiri, lingkungannya, tempat dirinya tinggal, negaranya atau lainnya.

Baca Juga: Waduh, APBD Kabupaten Bandung Barat Alami Defisit Rp 1 Triliun

Dirinya merasa ingin memiliki andil saat baru munculnya pandemi. Lalu sempat munculnya hastag terkait “Seniman Melawan Corona”, sehingga di respon oleh beberapa seniman lain, baik dari Indonesia dan Luar negeri, untuk bersama-sama melawan pandemi covid-19.

Meski begitu, Wanggi akui jika seniman tidak memiliki gaji yang menentu, bukan lagi bulanan bahkan harian pun tidak jelas, “Tapi disitu kita punya daya kreativitas, minimal kreativitas itu tidak hilang, masih kita rawat,” ungkapnya penuh semangat.

Perjalanan Menjadi Pantomim Indonesia
Bergelut di dunia pantomim sudah memasuki tahun ke-14, awal mula Wanggi mulai tertarik di dunia Pantomim sekitar tahun 2004, lalu mulai melakukan riset dan pencarian, “Ibaratnya nih, oh ini air putih, terus air putih buat apa sih, buat diminum. Nah, sama halnya dengan pantomim buat apa dan lain-lain,” terangnya.

Selanjutnya, saat 2006 dirinya kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) jurusan Teater, lalu lebih dalam mengenal pantomim dirasakan Wanggi ketika di bangku kuliah. Perjalanannya itu membawa dirinya menemukan dunia yang imajinatif. Imajinasi yang ditemukannya berupa imajinasi yang dilihatnya sehari-hari lalu diwujudkan.

Baca Juga: Anya Geraldine: Berbaliklah Jika Kau Lelah dan Ingin Mengeluh, Aku Rumahmu!

Dalam pertunjukan Wanggi yang kerap membawa isu-isu kemanusiaan, hal itu ia akui dan rasakan seperti organik. Alasannya, Wanggi katakan dirinya lahir untuk bisa berbagi dengan semua orang melalui karya bersama.

Secara realitas, gejala yang dikhawatirkannya saat ini ialah regenerasi. Hal ini pun berlaku untuk semua seni, baik seni musik, rupa, atau apapun itu. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami menurut Wanggi, meski sulit tapi ia yakin pasti ada.

“Saya pun belajar ilmu disiplin lain, bukan hanya seni pertunjukan, dan saya pun harus tahu cara mengapresiasi semua temen-temen. Seni rupa, seni musik ,seni tari, tradisinya, dan sub-sub kultur anak muda,” jelasnya.

Baca Juga: Sadis, Tersangka Curanmor Ini Lumuri 17 Wajah Korbannya dengan Sambal Cabai

Masih dalam ceritanya, Wanggi jelaskan jika pantomim bukan lagi passion menurutnya. Dirinya sudah diajak untuk bekerja menjadi guru di SD, SMP, SMA, mengajar di yayasan, dosen, tapi ia tolak karena merasa bukan kapasitasnya berada di zona itu. Ketika memasuki ruangan-ruangan tersebut, ia sadari sebagai seniman sudah tidak memiliki ‘warna’ lagi.

Momen dimana hal itu ia akui bahwa pantomim bukan passion dan bukan profesi, tapi menjadi hidup, karena Wanggi menjalani kehidupannya melalui pantomim. Lalu, pantomim menurutnya termasuk benda asing namun punya cara dan value untuk bisa menyerap esensi dari pantomim itu. Elemen dan bahan bakarnya Wanggi katakan adalah tubuh.

Pasalnya, tubuh dan imajinasi tidak bisa dijual di mana pun. Dua elemen itu yang kemudian menjadi penggerak dirinya memilih pantomim.

Baca Juga: Hebat, Ini Manfaat Bawang Putih, Mulai untuk Kesehatan Jantung Hingga Mencegah Kanker

Pertunjukannya dengan selalu mengenakan ikat kepala, yang memiliki filosofi berupa terikat untuk mengikat sesuatu, terutama imajinasi dan tubuhnya agar tidak terkontrol oleh ruang lain. Kata Wanggi, saat bermain menjadi simbol untuk penonton yang datang juga menjadi terikat.

Lalu pakaian putih yang dikenakan memiliki arti suci, bersih. Wanggi ungkapkan seperti melukis diatas kanvas hitam, dan dirinya bayangkan sebagai warnanya.

Menikmati pantomim meski pasti ada suka duka yang dirasakannya, seperti menderita dan kelaparan merupakan salah satunya. Kesenangan lainnya, bertemu dan berkolaborasi dengan banyak orang, termasuk musisi-musisi.

“Kolaborasi bareng bottlesmoker, efek rumak kaca, banda neira, dan saya lupa,” ucapnya dengan canda hangat. Lanjutnya, seniman Prancis dan Malaysia pun pernah dipertemukan.

Cara Berpikir Melalui Pantomim
Tema-tema pertunjukan yang Wanggi gaungkan bukan hanya sekedar tema, namun adanya makna lain dan bisa berupa kritikan, baik berupa orang lain ataupun dirinya. Ketika dibenturkan oleh seseorang yang bertanya tentang profesi atau pekerjaan yang ia lakukan, jawabannya ialah pekerjaan sikap, karena dirinya berpantomim.

Baca Juga: Presiden Jokowi Enggan Ikuti Saran PBNU dan Muhammadiyah, Kapolri Terbitkan Maklumat

Kata Wanggi, pantomim sudah menyatakan sikap melalui tubuh, berbeda halnya jika orang lain memberikan sikap melalui kata-kata. Tujuan penampilannya berupa cara berpikir. Mengajak apresiator untuk berpikir seluas-luasnya, meski yang diterima penonton adalah kebingungan. Hal itu menurut Wanggi berarti berhasil, dalam artian penonton mencari-cari tahu dan diajak untuk berpikir lebih jauh.

“Enggak penting keren, enggak penting bagus. Ketika ada umpatan dan bahkan makian-makian itu menarik, dan itu yang saya cari,” katanya sambil tertawa kecil.

Ia tawarkan pantomim dengan keterangan-keterangan yang rumit. Maksudnya, untuk memberikan warna lain dalam seni pertunjukan atau seni pantomim yang ada di Indonesia. Jika tidak begitu, akan terasa flat diantara semuanya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Enggan Ikuti Saran PBNU dan Muhammadiyah, Kapolri Terbitkan Maklumat

“Pantomim jelas tidak ada referensi di Indonesia, rata-rata di luar semua,” tegasnya kemudian. (nazmi/job)

Editor: Kiki Kurnia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x