Hadiah Perlombaan dalam Perspektif Fiqih Transaksi, Begini Penjelasan Secara Filosofi

- 31 Oktober 2020, 13:44 WIB
Suasana perlombaan Olimpiade Internasional Astronomi dan Astrofisika (IOAA) 2020.
Suasana perlombaan Olimpiade Internasional Astronomi dan Astrofisika (IOAA) 2020. /Kemdikbud.go.id

Contoh dari kriteria lomba adalah jarak tempuh adu kecepatan, jenis kuda yang diperlombakan, dan seterusnya. Dan akhirnya, kriteria inilah yang diadopsi dalam teori dasar musabaqah dalam Islam, yaitu:
- Musabaqah meniscayakan adanya 2 pihak yang saling berlomba
- Hadiah lomba bisa berasal dari salah satu pihak yang berlomba, dalam rangka memenuhi kaidah dasar akad ijarah
- Kriteria lomba harus jelas, dari semua sisi yang dilombakan.
- Dalam lomba meniscayakan adanya kompetisi
- Kuda atau sarana yang dipergunakan untuk berlomba merupakan entitas yang terlatih/terdidik

Sama-sama Butuh Pengujian
Dalam perkembangannya muncul satu permasalahan dalam perlombaan. Permasalahan itu berkutat pada pertanyaan bagaimana bila dalam lomba itu masing-masing peserta lomba yang terdiri dari 2 orang, sama-sama saling butuh menguji kudanya?

Apakah boleh keduanya saling mengeluarkan ‘iwadl dengan ketentuan siapa yang berhasil mencapai finis terlebih dulu, maka pihak pemenang itu yang berhak membawa ‘iwadl? Bagaimana bila ‘iwadl itu diserahkan di muka kepada panitia?

Di sini para ulama memberikan sejumlah pandangannya. Imam an-Nawawi dalam Majmu' Syarah Muhadzab menjelaskan sebagai berikut:

Baca Juga: Bandara Kertajati Kini Hanya Jadi Tempat Wisata Siswa TK dan Peternak Menyabit Rumput

Pertama, penyerahan ‘iwadl di muka oleh setiap peserta lomba kepada panitia merupakan ciri khas dari judi (qimar). Oleh karenanya, agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, maka para ulama melarangnya sebagai bentuk saddu al-dzari’ah. Pendapat ini merupakan pendapat yang shahih.

Kedua, musabaqah meniscayakan adanya kompetisi. Oleh karenanya, bila masing-masing peserta harus dipungut ‘iwadl (uang pendaftaran) dan dikumpulkan terlebih dulu, atau ke panitia, maka dibutuhkan kehadiran pihak ketiga yang turut serta dilibatkan guna memenuhi adanya unsur ju’alah (sayembara). Selanjutnya, pihak ketiga ini dikenal dengan istilah muhallil (penghalal).

Pertanyaannya, mengapa perlu muhallil?
Kehadiran muhallil ini sejatinya bila ditelusuri lebih jauh adalah karena alasan dlarurah li al-hajah (kebutuhan mendesak). Hajat yang membutuhkan jawaban adalah perlunya lomba diadakan. Sementara letak dlaruratnya adalah masing-masing peserta lomba saling membayar ujrah satu sama lain.

Baca Juga: Polisi Tangkap Sopir Penabrak Pintu 89 Masjidil Haram
Alhasil, masing-masing pihak seolah menyodorkan harta yang dipertaruhkan. Adanya harta yang dipertaruhkan ini merupakan ciri khas dari praktik perjudian (muqamarah). Di sisi lain, sifat menangnya lomba dari masing-masing peserta adalah tidak pasti, sehingga terpenuhi kaidah gharar.
Untuk itulah, agar tidak terjadi ketidakpastian yang ganda, maka illat larangan judi itu musti dihilangkan, yaitu dengan jalan menghadirkan salah satu peserta yang tidak menyerahkan harta (‘iwadl). Pihak ini kemudian disebut dengan istilah penghalal (muhallil).

Jadi, kehadiran muhallil ini sejatinya ada kaitannya bahwa relasi dasar akad musabaqah adalah akad menyewa lawan tanding sehingga pihak penyewa harus menghadirkan adanya upah sewa (ujrah).

Halaman:

Editor: Hj. Eli Siti Wasilah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x