Sembilan Netizen +81 Jadi Korban, 'Jagal Twitter’ Dijatuhi Hukuman Mati

16 Desember 2020, 10:42 WIB
Ilustrasi Twitter. /Pexels/Brett Jordan/

GALAMEDIA - Pembunuh berantai Jepang yang dijuluki Jagal Twitter dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Tokyo dalam kasus yang mengguncang Negeri Sakura.

Vonis dijatuhkan pekan  ini setelah “netizen maut” bernama  Takahiro Shiraishi itu terbukti membunuh dan memutilasi sembilan korban yang semuanya bertemu secara online.

Dikutip Galamedia dari DailyMail, Rabu (16 Desember 2020) Taka (30) mengaku membantai delapan wanita dan satu pria dengan usia antara 15 -  26 tahun yang ditemuinya di platform media sosial.

Baca Juga: Dzikir Pagi dengan Asmaul Husna Al Afuw, Ar Rauf, Malikal Mulki, Semoga Dosa-Dosa Kita Diampuni

Tak itu saja, korban perempuan juga ditemukan mengalami pelecehan seksual.
Menanggapi hukuman maksimal tersebut pengacara menilai Taka harusnya menerima hukuman penjara.

Alasannya para korban memiliki kecenderungan bunuh diri yang dibuktikan dengan cuitan mereka di akun media sosial. Karena itu kematian para korban dianggap sebagai “konsensus”.

Baca Juga: Ridwan Kamil Penuhi Panggilan Polda Jabar Terkait Kasus Kerumunan di Megamendung

Namun hakim memutuskan hukuman mati bagi Taka setelah pengadilan menyatakannya bertanggung jawab secara pidana atas kematian para korban.

"Tak satu pun dari kesembilan korban setuju untuk dibunuh, termasuk persetujuan tersirat," ujar  Hakim Ketua Naokuni Yano seperti dilaporkan  NHK.

“Sungguh sangat menyedihkan nyawa sembilan korban yang masih muda telah direnggut. Martabat mereka diinjak-injak.”

Baca Juga: Relawan Jokowi Duduki Kursi Komisaris Bank Syariah Indonesia

Yano menggambarkan pembunuhan Taka sebagai aksi yang sangat kejam dalam sejarah kejahatan Jepang.

Hakim juga menyatakan secara mental Taka layak untuk bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

Ayah salah satu korban yang berusia 25 tahun di pengadilan bulan lalu menegaskan dirinya tidak akan pernah memaafkan Taka bahkan jika dia sudah meninggal sekalipun.

“Bahkan sekarang, setiap kali melihat anak seusia mendiang putriku, aku sering  salah mengira dia putriku. Rasa sakit ini tidak akan pernah hilang. Kembalikan putriku..”

Baca Juga: Saat Dilanda Kesulitan, Ini 3 Perkara yang Bisa Menghilangkannya

Saat horor Twitter ini terungkap pada pagi hari Halloween 2017, polisi yang tiba di kediaman Taka di Zama, Kanagawa mendapati pemandangan mengerikan.

Sembilan mayat dalam kondisi terpotong-potong dan 240 bagian tulang disimpan dalam pendingin dan kotak peralatan. Semuanya ditaburi kotoran kucing untuk menyembunyikan bukti.

Terungkap kemudian selama ini profil Twitter Taka menampilkan gambar manga berupa sosok pria dengan leher yang diikat tali dan pergelangan tangan  dengan luka irisan.

Baca Juga: Juz Amma: Yuk Tadarus Surat Al Insyirah, Berikut Asbabun Nuzul, Bacaan Arab, Latin, dan Terjemahnya

Laporan Japan Times, nama akun Twitter Taka dalam  bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai 'algojo'. Dalam bio-nya ia mengaku memiliki  keahlian dalam praktik “gantung-menggantung”.

“Aku membantu siapa saja yang benar-benar kesakitan. DM saja kapan pun.”

Sedangkan dalam postingannya pada 21 Oktober, Taka mencuitkan serangkaian tweet yang mencurigakan.

“Bullying ada di mana-mana, di sekolah dan di tempat kerja.”

“Pasti ada banyak orang di tengah masyarakat yang menderita setelah mencoba bunuh diri, meski kasus mereka tidak dilaporkan dalam berita.. Aku ingin membantu orang seperti itu.”

Baca Juga: Pelaku Penculikan 300 Anak Sekolah Dipersenjatai Senapan Serbu AK-47, Amerika Serikat Turun Tangan

Sekitar 435 orang hadir demi menyaksikan putusan mati Taka meskipun pengadilan hanya menyediakan 16 kursi.

Laporan awal  tahun 2017 korban pertama Taka seorang wanita yang dihubunginya melalui Twitter. Ia  menawarkan diri untuk membantu keinginan korban bunuh diri, kemudian membunuh sang pacar untuk membungkamnya.

Taka disebut menggunakan taktik serupa untuk membunuh tujuh wanita lainnya.

Laporan NHK menyebutkan, salah seorang korban menghubungi Taka melalui Twitter pada akhir September.

Ia mengaku tengah mencari partner untuk membuat perjanjian bunuh diri. Korban mencari partner karena takut mati sendirian.

Keduanya ternyata terekam kamera keamanan berjalan di luar stasiun kereta api di dekat kediaman dan apartemen Taka.

Baca Juga: Wow, Terbaru, Harga Emas Hari Ini, Rabu 16 Desember 2020, Harganya Anjlok

Jepang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara industri Kelompok Tujuh, dengan lebih dari 20.000 orang bunuh diri setiap tahun.

Meskipun tingkat bunuh diri telah menurun sejak mencapai puncaknya pada tahun 2003, angka tersebut tetap tinggi di kalangan dewasa muda dan anak sekolah.

Sementara itu, mengetahui adiknya hilang, sang kakak melapor ke polisi keesokan harinya. Saat tengah mencari informasi tentang hilangnya si adik,  di Twitter, kakak laki-laki korban dihubungi seorang wanita tak dikenal.

Baca Juga: ILC TVOne Berakhir, Sujiwo Tedjo: Kalau Bukan Pengaruh Luar, Ini Pasti Topiknya Soal FPI

Wanita tersebut mengatakan adiknya bertemu Taka. Beruntung ia setuju untuk bekerja sama untuk mencari tahu. Dibantu polisi, mereka membuat janji palsu untuk bertemu Taka.

Dua penyelidik kemudian mengikuti Taka saat pulang ke apartemennya. Saat  membuka pintu, polisi langsung bertanya apakah dia mengenal atau mengetahui keberadaan korban yang hilang.

Kala itu dengan dingin Taka menunjuk ke salah satu dari delapan pendingin dan menjawab pendek. “Dia ada di sini,” katanya seperti dikutip NHK dari  sumber investigasi.

Baca Juga: Ridwan Kamil Serahkan Dokumen Pembentukan Kabupaten Bogor Barat ke Ditjen Otda

Jepang menjadi satu dari sedikit negara maju yang mempertahankan hukuman mati dengan dukungan publik yang tetap tinggi.

Eksekusi terakhir dilakukan pada Desember 2019 ketika seorang pria Tiongkok digantung karena membunuh empat anggota keluarga.

Sekitar 500 orang Jepang di bawah usia 20 tahun bunuh diri setiap tahun dan survei Yayasan Nippon tahun lalu menunjukkan satu dari empat orang mempertimbangkan secara serius untuk bunuh diri.

Baca Juga: Update Harga Emas di Jakarta, Bandung dan Surabaya: Antam Masih di Bawah Rp 1 Juta

Dalam beberapa kasus, korban bunuh diri massal setelah bertemu di  apa yang disebut 'situs bunuh diri'.

Fenomena ini mendorong pemerintah menindak orang-orang yang menggunakan internet untuk memosting keinginan terkait kematian mereka.

Isu ini pertama kali menjadi berita utama tahun 2005 saat total 91 orang melakukan 'bunuh diri berkelompok' setelah saling menghubungi secara online.

“Sudah lama menjadi tabu di Jepang untuk membicarakan kematian dan bunuh diri.. tetapi dengan mudah ini dibicarakan di media sosial,” ujar Akiko Mura, anggota eksekutif Befrienders Worldwide Tokyo kepada AFP pada 2017.

Baca Juga: ILC TVOne Berakhir, Sujiwo Tedjo: Kalau Bukan Pengaruh Luar, Ini Pasti Topiknya Soal FPI

Mura  mengatakan Taka kemungkinan besar berhasil membuat para korban percaya dengan meyakinkan mereka bahwa dia memahami keinginan untuk mati.

“Mereka mungkin mengira dia satu-satunya orang yang dengan tulus mendengarkan masalah mereka,” katanya.

Meski Taka  terbukti memanfaatkan media sosial untuk menyasar korban,  Mura memperingatkan orang-orang yang depresi tetap membutuhkan kanal untuk melampiaskan perasaan.

“Orang membutuhkan tempat di mana mereka dapat didengar. Tanpa itu, aku khawatir jumlah kasus bunuh diri kemungkinan akan meningkat,” paparnya.

Baca Juga: Ini Dia Pemaster yang Cocok untuk Burung Lomba! Bisa Gunakan Tembakan Cililin

Empat hari setelah mayat korban ditemukan di apartemen Taka di pinggiran Tokyo, Twitter meluncurkan aturan baru berupa larangan bagi pengguna untuk mempromosikan, mendorong atau menyakiti diri sendiri.

Namun Twitter tetap memperbolehkan cuitan yang mengungkapkan keinginan bunuh diri.

Well-wait-what?!***

Editor: Mia Fahrani

Sumber: dailymail

Tags

Terkini

Terpopuler