Sebut Gibran-Bobby Tak Bisa jadi Walkot Solo-Medan Tanpa Jokowi, Salim Said: Lagi Mempertahankan Kekuatannya?

27 Januari 2022, 16:03 WIB
Guru Besar Ilmu Politik, Prof Salim Said. /Tangkapan layar YouTube Akbar Faizal Uncensored

GALAMEDIA - Baru-baru ini Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan), Salim Said nampak buka-bukaan mengenai rezim Jokowi saat ini.

Hal ini bermula pada saat Salim Said menyoroti perihal kondisi partai politik di rezim Presiden Jokowi ini bukan konsolidasi demokrasi.

Salim Said bahkan menyebut hampir 82 persen partai yang berada dalam parlemen merupakan bagian dari pemerintahan Jokowi, bukan sebagai oposisi.

Melihat fenomena tersebut, Salim Said mengatakan penggabungan para partai hingga menjadi gemuk ini merupakan konsolidasi kekuatan Jokowi.

Baca Juga: Film Ben & Jody Tayang di Bioskop Mulai Hari Ini 27 Januari 2022, Berikut Sinopsinya

"Untuk proses politik Indonesia, menurut saya, itu bukan konsolidasi demokrasi, itu lebih merupakan konsolidasi kekuatan Jokowi," katanya dilansir Galamedia dari saluran YouTube Akbar Faizal Uncensored pada Kamis, 27 Januari 2022.

Guru Besar Ilmu Politik tersebut menegaskan, Jokowi semakin kuat, terbukti dengan terpilihnya keluarga Jokowi sebagai pemimpin daerah.

Di antaranya Gibran Rakabuming Raka yang kini menjadi Wali Kota Solo, serta menantunya yang menjadi Wali Kota Medan.

Menurut Salim Said, semua perolehan kursi kepala daerah tersebut tidak mungkin dapat diraih jika bukan karena posisi Jokowi yang kuat.

"Dan itu kan risikonya berat, apakah Jokowi bisa bertahan mempertahankan kekuatannya setelah dia mundur, selesai menjadi presiden?" ujarnya.

Baca Juga: Hari Ini 14 Tahun Lalu Presiden Soeharto Tutup Usia, Tutut: Semoga Diampuni Kesalahan, Diterima Amal Baik

Tak berhenti disitu, dirinya menilai Gibran yang berhasil menduduki jabatan sebagai Wali Kota Solo dan menantunya, Boby Nasution menjadi Wali Kota Medan disebabkan adanya dukungan dari partai-partai kekuatan politik.

Melihat Fenomena tersebut, Salim Said menyimpulkan ini bukan contoh yang baik bagi demokrasi di Indonesia.

Pasalnya, seperti tercatat dalam sejarah, Indonesia baru saja melakukan sidang MPR dengan keputusan melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

"Lah kok kita punya presiden (yang) KKN-nya terang-terangan," jelasnya.

"Anaknya yang cuma punya pengalaman jual martabak jadi wali kota," tambahnya.

"Itu bagi pendidikan politik Indonesia, konsolidasi seperti itu sangat melukai perjalanan demokrasi di Indonesia," sambungnya lagi.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler