Klaim Dokter Top Italia, Tak Perlu Vaksin Covid-19 Akan Hilang Sendiri

24 Juni 2020, 12:50 WIB
Ilustrasi virus corona Covid-19. /PIXABAY/geralt

GALAMEDIA - Kepala unit penyakit menular RS  Umum San Martino Genoa, Italia, Profesor Matteo Bassetti mengatakan terjadi pelemahan virus Covid-19 dibanding fatalitas yang diakibatkannya pada medio  Maret – April.

 Ia menganalogikan jika awalnya corona merupakan “harimau agresif” maka kini virus yang bermula dari Wuhan, Cina tersebut telah melemah hingga tak ubahnya kucing liar saja.

Dikutip Galamedianews dari DailyMail beberapa waktu lalu, Bassetti meyakini perubahan virus saat ini memengaruhi tingkat fatalitas. Menurutnya pasien yang terpapar virus sekarang akan mampu bertahan.

Baca Juga: Tahan Kencing 18 Jam Usai Pesta Bir, Kandung Kemih Pria Ini Meledak

Lebih jauh, jika  pelemahan virus benar terjadi, Basetti mengklaim Covid-19bisa menghilang tanpa vaksin karena sudah sangat lemah hingga virus mati dengan sendirinya.

Sebelumnya di berbagai kesempatan berbeda, Bassetti mengatakan dalam beberapa bulan terakhir kondisi pasien Covid-19 jauh lebih baik daripada mereka yang terinfeksi di  awal epidemi di Italia.

Bassetti mengungkap perubahan terkait pelemahan virus bisa terjadi karena beberapa faktor seperti mutasi genetik, perawatan yang lebih baik atau efek  social distancing.

Baca Juga: Tragis, Keluarga Cabut Ventilator demi AC Pasien Covid-19 Meninggal

Meski demikian sejumlah ilmuwan lain menolak klaim mutasi virus dengan mengatakan tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Kepada The Sunday Telegrap, Basetti mengatakan virus bisa hilang dengan sendirinya.

“Virus ini ibarat harimau yang agresif pada bulan Maret dan April tapi sekarang seperti kucing liar. Bahkan pasien usia 80 atau 90 tahun, sekarang bisa duduk di tempat tidur dan bernapas tanpa bantuan. Pasien yang sama berkemungkinan meninggal dalam dua atau tiga hari sebelumnya.”

Italia merupakan salah satu negara yang paling terdampak Covid-19 di awal pandemi dengan catatan terbaru mengonfirmasi lebih dari 238.000 kasus positif dan 34.000 kematian.

Para ilmuwan mengatakan populasi lansia, titik sebaran yang meliputi daerah pedesaan dan timing berkontribusi pada tingginya angka kematian di Negeri Pizza.

Bassetti menyebut pelemahan virus dipicu mutasi genetik yang membuatnya tidak lagi terlalu destruktif pada paru-paru.  Atau, bisa juga terkait kuantitas paparan virus yang lebih rendah berkat social distancing dan lockdown.

Namun teori ini tergantung viral load atau  jumlah virus yang masuk ke dalam tubuh seseorang ketika terinfeksi. “Impresi klinisku dalam hal ini adalah bahwa virus berubah dalam hal tingkat keparahan yang diderita pasien.”

“Pada bulan Maret dan awal April polanya sama sekali berbeda. Orang-orang datang ke UGD dengan penyakit yang sangat sulit diatasi dan membutuhkan oksigen serta ventilasi, beberapa menderita pneumonia. Kini dalam empat minggu terakhir, polanya benar-benar berubah.”

Baca Juga: Edarkan 'Pil Sapi', Dua Pemuda Asal Jakarta Ditangkap di Tasikmalaya

“Mungkin ini dampak viral load yang lebih rendah di saluran pernapasan atau mutasi genetik pada virus yang memang belum dibuktikan secara ilmiah.” Klaim Basetti ini langsung mendapat kritik karena dinilai over-optimistis.

"Kekuatan virus dua bulan lalu tidak sama dengan saat ini," ujarnya di awal Juni. Pernyataan Bassetti ini tidak langsung diiyakan ilmuwan lain yang mengatakan tidak ada bukti ilmiah pendukung.

Baca Juga: Mulai Pekan Depan, Kota Cimahi Bisa Uji 192 Sampel Swab Test Per Hari

Doktor Gideon Meyerowitz-Katz dari University of Wollongong  Australia   kepada MailOnline mengaku meragukannya. Epidemiolog itu memperingatkan, faktanya Italia masih merupakan episenter corona di Eropa pada bulan Maret dengan 19 kasus terbaru. Ini membuktikan Covid-19 masih berbahaya.

Tanggapan juga dilontarkan Doktor Angela Rasmussen dari Universitas Columbia. “Tidak ada bukti penurunan potensi virus di mana pun.” Dia menambahkan, berkurangnya penularan memengaruhi jumlah pasien rawat inap dan angka kematian tapi tidak berarti terjadi penurunan virulensi.

Baca Juga: Jelang Hari Bhayangkara, Kapolda Jabar Cuci Pataka Ganda Wibawa Cakti

Virulensi virus terkait langsung dengan bahaya yang ditimbulkannya dan   tidak secara langsung berhubungan dengan tingkat penularan. Sementara  Seema Yasmin dari Stanford University menegaskan pernyataan Bassetti tak lebih dari ’omong kosong'.

Ditambahkan Dr. Oscar MacLean dari University of Glasgow, “Klaim ini tidak didukung oleh apa pun dalam literatur ilmiah dan tampaknya juga tidak cukup  masuk akal dilihat dari faktor atau alasan genetik.”

Baca Juga: Pasar Merespons Positif Potensi Pemulihan Ekonomi, Rupiah Ikut Menguat

“Mutasi SARS-CoV-2 sangat jarang dan meski beberapa infeksi melemah akibat mutasi tertentu, tapi tidak mungkin mengubah sifat virus di  tingkat nasional atau global. Membuat klaim berdasarkan pengamatan anekdotal dari tes usap (swab test) sangat berbahaya,” paparnya.

Ia melanjutkan, walaupun pelemahan virus melalui mutasi secara teori memungkinkan, namun bukan sesuatu yang saat ini bisa diharapkan.

Baca Juga: Hadapi Covid-19, Gojek Fokus Pada Layanan Inti

“Klaim-klaim seperti ini perlu diverifikasi dengan lebih sistematis. Tanpa bukti yang kuat, tak seharusnya siapa pun meremehkan bahaya virus yang sangat ganas ini. Klaim juga berisiko terhadap respons masyarakat ke depannya," tegasnya.

Noted.***

Editor: Mia Fahrani

Sumber: Daily Mail

Tags

Terkini

Terpopuler