Indikasi Kecurangan Masih Ada di Jalur Zonasi PPDB, Stigma Sekolah Favorit Tak Bisa Dihapus

5 Juli 2020, 12:54 WIB
Asep Buchori Kurnia /

GALAMEDIA - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini masih tak bisa lepas dari sejumlah persoalan. Penerimaan melalui jalur-jalur yang disediakan, khususnya jalur zonasi, dianggap belum siap dilaksanakan.

Hal itu disampaikan pengamat pendidikan sekaligus Ketua Lembaga Bantuan Pemantau Pendidikan (LBP2) Jabar, Asep Buchori Kurnia. Ia mengatakan, kondisi itu semakin rumit di tengah keadaan negara yang sedang dilanda pandemi Covid-19.

"Sosialisasi PPDB menjadi kurang, sehingga semakin menambah persoalan. Sebelumnya saja bermasalah, apalagi dengan kondisi seperti sekarang," tutur dia kepada galamedia, Ahad, 5 Juli 2020.

Baca Juga: Hari Ini Milad ke-17, Daarul Qur'an Mendapat Hadiah dari Allah SWT

Pria yang akrab disapa Aa Maung itu lebih menyoroti carut marutnya PPDB lewat jalur Zonasi. PPDB Jabar dan Kota Bandung pada khususnya, tambah dia, pada kenyataannya belum bisa sepenuhnya menjalankan aturan yang ada.

Aa Maung melihat fakta di lapangan aturan soal zonasi yang tak bisa dilaksanakan dengan baik. Terlebih jika melihat sarana dan prasarana penunjang di masing-masing sekolah.

"Tentu didalamnya termasuk tersedianya sekolah baru yang harus terus dimaksimalkan ditempat-tempat yang letaknya jauh dari sekolahan," ujarnya.

"Sudah sering saya katakan bahwa aturan ini bukan jelek atau tidak baik, tetapi secara fakta dilapangan berbicara lain," tambah Aa Maung.

Baca Juga: Emisi Gas Rumah Kaca Menurun Drastis Selama Pandemi, Kearifan Lokal Ikut Berikan Peranan

Ia mengungkapkan, kondisi itu kemudian berpengaruh pada jalur zonasi PPDB. Berdasarkan hasil penelusurannya, masih ditemukan adanya indikasi kecurangan seperti dari penetapan titik kordinat.

Sekolah yang selama ini dianggap favorit, katanya, tetap menjadi incaran dan dibanjiri peminat meskipun di sekitar sekolah itu sangat jarang permukiman penduduk.

"Ini hal yang aneh. Bahkan ada yang tertera jarak rumahnya kurang dari 500 meter atau puluhan meter dari sekolah. Padahal di sekitar sekolah itu jarang sekali ada permukiman penduduknya," ungkap Aa Maung.

Baca Juga: Tembus Baja Setebal 3 cm, Senapan Asal Rusia Ini Bisa Menjangkau Sasaran Sejauh 7 Kilometer

Kondisi itu di mata dia pada akhirnya menimbulkan gejolak permasalahan bagi mereka yang merasa dirugikan. Para orang tua siswa pun banyak yang mengeluhkan dan menduga ada indikasi kecurangan, khususnya soal penggunaan Kartu Keluarga 'aspal' atau asli tapi palsu.

"Ini harus menjadi perhatian serius dan segera diselesaikan oleh pemerintah agar ke depannya tak lagi ada hal-hal seperti itu," tuturnya.

Melihat kondisi yang terjadi, Aa Maung pun menyimpulkan jika pandangan orang tua tentang sekolah favorit tak berubah. Stigma sekolah favorit tetap tak bisa dihapuskan meski aturan mengenai jalur zonasi sudah diterapkan.

Baca Juga: IKA UPI Minta Mas Menteri Masukan LPTK dalam Road Map Pendidikan

Padahal tujuan awal pemerintah menetapkan jalur zonasi PPDB adalah untuk menghapuskan stigma soal sekolah favorit sehingga kualitas pendidikan bisa dirasakan lebih merata.

"Jadi asumsi saya, padangan orang tua terhadap sekolah favorit tetap tak bisa dihilangkan. Mereka cenderung ingin memasukan anaknya ke sekolah yang sebelumnya dianggap favorit," tuturnya.

"Apalagi jika selama kualitas bangunan atau ketersediaan fasilitas lainnya belum sama rata untuk masing-masing sekolah," tandas Aa Maung.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler