Menurut Ahli Epidemiologi, Endemi Bukan Indikator Keberhasilan dalam Mengatasi COVID-19

22 Februari 2023, 09:49 WIB
Ilustrasi vaksinasi COVID-19. Endemi bukan indikator dari keberhasilan atas pencapaian mengalahkan COVID-19 /Pixabay @Alexandra_Koch/

GALAMEDIANEWS - Dicky Budiman seorang ahli epidemiologi dari Griffith University Australia berujar endemi bukan indikator dari keberhasilan dalam mengatasi COVID-19 yang mewabah di Indonesia terhitung sejak Maret 2020 silam. 

“Sebenarnya, kalau kita menyatakan endemi bukan kemenangan bahwa kita berhasil mengalahkan COVID-19 atau menjadikan itu tujuan karena endemi kan juga (masih seputar) penyakit dan wabah,” ujar Dicky kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

Mengutip dari Antara, Rabu, Sampai saat ini, Dicky mengatakan terdapat berbagai jenis endemi dalam kehidupan manusia. Semisal endemi dengue (demam berdarah) maupun endemi malaria. Penyakit-penyakit tersebut masih menjadi penyebab seseorang dirawat di rumah sakit dan terkadang berujung kematian. 

Perihal pengurusan COVID-19, Dicky menuturkan bukan berarti pemerintah sudah selesai begitu saja ketika mengumumkan endemi. Malah seharusnya, penanganan endemi perlu dilakukan terkendali supaya dapat menghindari munculnya penyakit lain yang berpotensi menjadi wabah di masa depan.

Ia mengatakan pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan satu sehat, yakni pendekatan yang bersinergi antara kesehatan manusia, hewan dan lingkungan. 

Terkait dengan hal tersebut, setiap orang sebagai warga negara memiliki peranan dan turut serta dalam menjaga kesehatan global dengan memilih dan disiplin mematuhi kebijakan guna meminimalisir peluang terjadinya penyebaran. Hal tersebut sudah mencakup tidak menjadi egois dan hanya memikirkan kesehatan masing-masing saja.

Baca Juga: Swedia Buang 8,5 Juta Dosis Vaksin Covid 19, Mengapa Mereka Melakukan Hal Itu?

"Saya selalu ingatkan, apapun keputusan, kebijakan yang diambil itu harus berbasis data dan sains. Harus melihat tatanan global karena apa yang dilakukan satu orang satu kelompok masyarakat itu bisa berdampak secara global,” tuturnya. 

Sebagai tambahan, Indonesia pernah memimpin dan diakui kala presidensi G20 dunia. Ia mengharapkan, strategi yang dilakukan oleh pemerintah nantinya mencakup komunikasi resiko yang efektif, sehingga masyarakat selalu dikawal oleh informasi mengenai COVID-19 dari hulu ke hilir.

Baca Juga: Update Gempa Turki dan Suriah: 6 Orang Tewas Setelah Gempa Bumi Terbaru Mengguncang Perbatasan Turki-Suriah

  Baca Juga: 10 LINK LEGAL NONTON Film 2023 dengan Kualitas Full HD Selain di Situs Streaming Rebahin, LK21, dan Indoxxi

"Kita harus tahu dunia ini makin rawan dengan adanya perubahan iklim, interkonektivitas manusia yang semakin tinggi, ini membuat potensi wabah berikutnya tinggal tunggu waktu sehingga kita harus cegah kejadiannya jangan begitu cepat baik negara, individu, dan masyarakat yang sebelumnya tidak sehat dan mengabaikan harmonisasi kesehatan,” ujarnya. 

Perihal pencabutan status darurat kesehatan terkait kesehatan masyarakat yang terdampak secara global (PHEIC). Ia menambahkan, setiap negara yang tergabung ke dalam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) perlu menunggu informasi lebih lanjut karena WHO tengah mengamati situasi kesehatan global terkini.

Endemi bukan indikator dari keberhasilan atas pencapaian mengalahkan COVID-19 

Dicky dan para ahli di WHO telah mengikuti sidang komite International Health Regulation (IHR). Agenda terakhir yaitu 27 Januari 2023 lalu dan acara dilaksanakan per tiga bulan sekali. Hasil dari rapat tersebut adalah terpecahnya menjadi dua kubu karena terdapat negara yang terlihat sudah memasuki endemi sedangkan negara lainnya masih epidemik. 

Hal tersebut lantas membuat WHO belum mencabut status PHEIC secara global.

“Kalau PHEIC dicabut otomatis pandeminya juga. Besar kemungkinan memang bicara pandemi COVID-19 akan berakhir, saya kira sebelum akhir tahun juga akan berakhir ya namun untuk diketahui bahwa meskipun kewenangan bicara endemi juga WHO tidak ada bisa bilang begitu tapi tidak terlalu lazim dalam artinya endemi itu dinamis,” ujarnya.***

Editor: Imam Ahmad Fauzan

Sumber: Antara

Tags

Terkini

Terpopuler