Bahaya Nih, Data Orang Indonesia Bocor di Tangan Perusahaan China

25 September 2020, 11:18 WIB
ILUSTRASI.* //FBI

GALAMEDIA - Database 2,4 juta orang, termasuk data 2.100 warga Indonesia, telah dibocorkan dari perusahaan Shenzen Zhenhua Data.

Shenzen Zhenhua Data merupakan perusahaan China yang memiliki hubungan dengan jaringan militer dan intelijen Beijing. Data yang bocor diyakini digunakan oleh dinas intelijen China, Kementerian Keamanan Negara.

Baca Juga: Die Roten Pastikan Jerman Superior, Delapan Klub Dunia Bayangi Rekor Quadruple Bayern Muenchen

Basis data tersebut bocor ke tangan seorang akademisi Amerika Serikat (AS) yang berbasis di Vietnam, Profesor Chris Balding. Ia hingga tahun 2018 bekerja di Universitas Peking sebelum meninggalkan China dengan alasan khawatir akan keselamatannya.

"China benar-benar membangun pengawasan negara besar-besaran di dalam negeri maupun internasional," ujar Balding.

"Mereka menggunakan berbagai macam alat - alat ini diambil terutama dari sumber publik, ada data non pubkli di sini, tetapi terutama diambil dari sumber publik," tambah dia.

Baca Juga: Ibrahimovic Positif Covid-19, Reaksinya Benar-benar Mengejutkan

"Saya pikir ini berbicara tentang ancaman yang lebih luas dari apa yang sedang dilakukan China dan bagaimana mereka mengawasi, memantau, dan berusaha memengaruhi bukan hanya warga negara mereka sendiri, tetapi warga di seluruh dunia," lanjutnya.

Dilansir dari kantor berita Australia, ABC, Balding kemudian memberikan database tersebut kepada perusahaan keamanan cyber Canberra Internet 2.0 yang mampu memulihkan 10 persen dari 2,4 juta catatan individu tersebut.

Kepala eksekutif Internet 2.0 Robert Potter menyebutkan, Zhenhua telah membangun kapasitas untuk melacak kapal angkatan laut dan aset pertahanan, untuk menilai karier perwira militer dan membuat katalog kekayaan intelektual pesaing China.

Baca Juga: Gibran Tetap Gelar Konser Demi Raih Kemenangan di Pilkada Solo

Untuk diketahui, klien utama Zhenhua diketahui adalah Tentara Pembebasan Rakyat dan Partai Komunis China.

"Pengumpulan data massal ini terjadi di sektor swasta China, dengan cara yang sama Beijing mengalihkan kemampuan serangan dunia maya ke subkontraktor swasta," terang Potter kepada ABC.

"Dalam prosesnya, perusahaan telah melanggar privasi jutaan warga global, persyaratan layanan dari hampir semua platform media sosial utama dan meretas perusahaan lain untuk mendapatkan datanya," ungkapnya.

Baca Juga: Waspadai, Indonesia kini Berada di Urutan Tiga Penyebaran Covid-19 di Asia

Dari 250.000 catatan yang ditemukan, ada 52.000 tentang warga Amerika, 35.000 Australia, 10.000 India, 9.700 Inggris, 5.000 Kanada, 2.100 orang Indonesia, 1.400 Malaysia dan 138 dari Papua Nugini.

Ada 793 warga Selandia Baru yang diprofilkan dalam database, 734 di antaranya ditandai dengan minat khusus atau terpapar secara politik.

Baca Juga: Jadwal Acara TV Hari Ini, Jumat 25 September 2020 di Metro TV. Kompas TV, dan INews

Perusahaan ini menyusun akun Twitter, Facebook, LinkedIn, Instagram dan bahkan TikTok, serta berita, catatan kriminal, dan pelanggaran perusahaan.

Perusahaan tersebut diyakini telah mengambil beberapa informasinya dari apa yang disebut "web gelap".***

Editor: Lucky M. Lukman

Sumber: Warta Ekonomi

Tags

Terkini

Terpopuler