Jadi Terdakwa Kasus Penggelapan, Miming Theniko Merasa Dikriminalisasi oleh Sepupu Sendiri

22 Februari 2024, 09:24 WIB
Kuasa hukum terdakwa Miming Theniko, Bahyuni Zaili, SH., MH didampingi Nuria Yashinta, SH. MH., dan Asep Kuswandi, SH. memberikan keterangan kepada media./ist /

GALAMEDIANEWS - Sidang perkara tindak pidana penggelapan dengan terdakwa Miming Theniko kembali digelar di Pengadilan Negeri Bale Bandung, Rabu, 21 Februari 2024.

Sidang dengan nomor perkara No.1062/Pid.B/2022/PN.Blb ini mengagendakan pemeriksaan terdakwa. Sebelumnya, jaksa telah menghadirkan 8 orang saksi fakta yaitu Romeo, Fery Sunarto, William Ventela, The Siauw Tjiu, Imas, Citra, Subiati, Ebeg, dan Martin Theniko.

Selain itu, jaksa juga sudah menghadirkan dua orang ahli yaitu ahli tekstil dan ahli pidana. Sedangkan terdakwa menghadirkan dua orang saksi yang menguntungkan.

Baca Juga: Film Horor Siksa Kubur Hadir Lebaran 2024, Penonton Diajak Pertanyakan Keimanan Diri

Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa Miming Theniko diduga kuat telah dikriminalisasi oleh pelapor yang merupakan sepupunya, William Ventela.

Hal itu disampaikan kuasa hukum terdakwa Miming Theniko, Bahyuni Zaili, SH., MH didampingi Nuria Yashinta, SH. MH., dan Asep Kuswandi, SH.

"Miming mau minta bantu orang lain juga saya tidak takut karena semua jajaran Polda bisa saya atur," begitu diucapkan Bahyuni menirukan apa yang disampaikan William Ventela.

Menurut Bahyuni, ucapan William Ventela tersebut sangat arogan, seolah-olah bisa mengatur semua aparat penegak hukum. "Sedangkan kita semua meyakini masih banyak aparat penegak hukum yang mempunyai integritas dan melakukan penegakan hukum secara adil," ujar Bahyuni.

Diceritakan Bahyuni, Miming Theniko didakwa Jaksa Penuntut Umum melakukan tindak pidana penggelapan. JPU dalam dakwaannya menyebutkan, pada Desember 2019 sampai Agustus 2020 PT Sinar Runnerindo Indonesia memberikan order pencelupan sebanyak 20 PO kepada PT BIG, perusahaan milik terdakwa.

Baca Juga: Cara Mempererat Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Tak ada penggelapan

Sebagian kain yang belum selesai dikerjakan tersebut dijual oleh terdakwa kepada Ebeg melalui Subiyati, dimana korban mengaku menderita kerugian Rp 418.000.000. Padahal, order pencelupan kain dari pelapor sejak tahun 2015 nilaianya lebih dari Rp 100 miliar.

Namun fakta persidangan, tegas Bahyuni, yang dijual oleh terdakwa bukanlah kain milik PT SR, tetapi kain polyster produksi PT BIG sendiri. Hal ini sesuai dengan keterangan Subiyati, bahwa yang dibeli Ebeg melalui subiyati adalah kain polyster bukan kain katun milik PT SR.

Demikian juga keterangan Martin dan Dedi yang saling bersesuaian, yang didukung dengan surat jalan yang ditandatangani oleh Citra yang memang bagian Polyster bukan kain katun.

Keterangan Ebeg yang membeli kain katun dari PT BIG melalui Subiati bertentangan dengan saksi Subiati, Citra martin. Oleh karenanya diduga Ebeg memberikan keterangan yang tidak benar dipersidangan.

Selain itu, dalam dakwaan, JPU tidak menjelaskan berapa kilogram total kain yang diserahkan kepada PT BIG untuk dilakukan pencelupan. Tidak juga menjelaskan berapa kilogram total kain yang sudah diselesaikan/dikembalikan oleh PT BIG kepada PT SR.

Baca Juga: PEMILU 2024, Lokasi Rekapitulasi Tersapu Angin Puting Beliung, Bupati Bandung Pastikan Surat Suara Tetap Aman

"Namun langsung menyebutkan jumlah kain yang belum dikembalikan dalam satuan meter, sedangkan barang yang dikirim oleh PT SR kepada BIG dalam satuan kilogram," jelas Bahyuni.

"Dakwaan JPU tidak menjelaskan bagaimana konversi dari satuan kilogram menjadi satuan meter. Bahkan ahli tekstil yang dihadirkan jaksa, juga tidak dapat menjelaskan bagaimana konversi kilogram menjadi meter dengan nilai kerugian Rp 418.000.000. Oleh karenanya menurut hemat kami dakwaan JPU adalah tidak jelas dan kabur," papar Bahyuni.

Lebih lanjut, disampaikan Bahyuni, terungkap dalam persidangan bahwa pada bulan Oktober 2022 pelapor melakukan pengambilan secara paksa barang-barang milik terdakwa. Termasuk kain milik pelapor yang masih dalam proses pengerjaan yang berada dalam pabrik milik Terdakwa.

Sebagai negara hukum, seharusnya William Ventela tunduk dan patuh terhadap hukum. Eksekusi secara paksa hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, dimana kerugian PT BIG atas pengambilan barang-barang tersebut tidak kurang dari Rp 30 miliar.

Bahyuni juga menegaskan, keterlambatan penyelesaian order pencelupan dari PT SR oleh terdakwa disebabkan adanya pandemi Covid-19 yang pada waktu itu semua kegiatan industri sempat dihentikan dan kemudian pemerintah membatasi kegiatan operasional hanya maksimal hanya 30% dari jumlah karyawan.

Baca Juga: Ide Menu Sahur Praktis, Cobain Resep Nasi Goreng Telur Asin Enak Ala Devina Hermawan Ini, Yuk!

Selanjutnya, pada bulan Oktober 2022, ada PKPU terhadap PT BIG, dimana PT BIG di bawah pengawas Kurator yang melarang PT BIG untuk melakukan kegiatan dan melarang PT BIG untuk memindahkan dan atau mengeluarkan barang-barang apapun termasuk kain milik PT SR yang berada di pabrik PT BIG.

Justru apabila PT BIG mengeluarkan barang-barang di PT BIG termasuk kain milik PT SR, PT BIG dapat dipidanakan oleh Kurotor.

"Oleh karena demikian jelas bahwa terdakwa tidak ada unsur dengan sengaja menguasai barang milik PT SR sebagaimana yang didakwakan dan tidak ada mens rea (niat jahat) dari terdakwa dalam perkara ini," tegas Bahyuni.

"Tidak ada barang bukti penggelapan dalam perkara ini karena kain milik pelapor telah diambil secara paksa oleh pelapor sendiri pada saat adanya PKPU, dimana curator melarang terdakwa untuk mengeluarkan barang-barang yang ada dalam pabrik," sambungnya,

Atas fakta-fakta tersebut, terdakwa dan penasihat hukum meyakini, Majelis Hakim akan memberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan fakta yang terungkap dimuka sidang.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler