Saat ini kata radikal sudah mengalami distorsi yang digunakan dalam makna negatif dan ditujukan terhadap kelompok yang dicap radikal.
“Patut diduga mereka (GAR-ITB) yang memasang spanduk di kampus ITB ‘Pecat Din Syamsuddin dari anggota MWA ITB’ karena radikal katanya,” tutur Din.
Sejak awal pembentukan Majelis Wali Amanat (MWA), Din mengaku sudah mencium ada pertarungan yang tidak sehat. “Saya mengendus dari awal ini ada aroma pertarungan ideologis ya,” ujarnya.
Pria berusia 62 tahun tersebut melihat bahwa hal tersebut merupakan sebuah malapetaka bagi bangsa. “Kalau di kampus-kampus kita, termasuk di pusat (pemerintah) muncul lagi seperti itu, ini sudah lagu lama, di UI, di ITB, di Gajah Mada,” tambahnya.
Karni Ilyas pun mengajukan pertanyaan soal pihak mana yang masuk dalam cakupan deradikalisasi.
“Iya Islam dan non-islam yah, dulu kita kenal ada dikotomi santri abangan, kemudian sudah cair sebenernya tahun 90-an, tapi setelah reformasi, dikotomi ini (radikal) muncul,” jawab Din.
Din mengungkapkan bahwa cap radikal tersebut merupakan kepentingan dari pihak yang sudah mempunyai tujuan ideologis.
“Tapi ideologi politiknya bukan kepada kepentingan Islam, apalah ya sebut nasionalis, sosialis, bahkan komunis, atau sekuler, liberal, dan lain sebagainya,” jelasnya.