Potensi Munculkan Krisis Hukum, Legislator Minta Pasal Penghinaan Terhadap Presiden Dikaji Mendalam

- 8 Juni 2021, 19:33 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto.
Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto. /Instagram.com/@didikmukrianto

GALAMEDIA - Publik Tanah Air kini kembali disuguhkan adanya wacana dihidupkannya kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dalam RUU KUHP.

Padahal sebelumnya, pasal penghinaan terhadap Presiden sudah tidak berlaku berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pro kontra muncul dengan adanya pasal penghinaan Presiden yang disebut-sebut sebagai salah satu bentuk kemunduran demokrasi itu.

Baca Juga: Simpang Siur Dana Haji 2021, Musni Umar: Perkataan dan Perbuatan Pemerintah Selalu Bertolak Belakang

Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menilai perlu dikaji dan dipertimbangkan secara mendalam terkait keberadaan pasal-pasal tentang penghinaan Presiden-Wakil Presiden yang akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Perlu dikaji dan dipertimbangkan lebih dalam lagi baik dalam perspektif konstitusional-nya maupun kemanfaatan-nya," kata Didik di Jakarta, Selasa, 8 Juni 2021.

Dia menjelaskan, dalam perspektif konstitusionalitas pasal penghinaan presiden dalam KUHP sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga: Pembiayaan Hotel sampai Wisma Isoman Covid-19 di DKI Jakarta Disetop, Kenapa Ya?

Menurut dia, kalau ada putusan MK yang sudah dibatalkan, kemudian dibangkitkan lagi maka bisa menimbulkan krisis konstitusi.

"Dibatalkan, kemudian dimunculkan, lalu diuji kembali, bisa jadi dibatalkan lagi. Potensi munculnya ketidakpastian hukum akan terus terjadi, padahal putusan MK bersifat final," ujarnya.

Didik mengatakan, pengaturan terkait dengan pidana penghinaan termasuk pencemaran nama baik secara umum sudah diatur.

Baca Juga: Wapres Ma'ruf Amin Sebut Angka Pengangguran Tinggi Gara-gara Masyarakat Tak Siap Beradaptasi

Menurut dia, setiap pejabat negara sebagai bagian dari warga negara, mempunyai hak yang melekat pada dirinya seperti warga negara lainnya untuk menuntut setiap pelanggaran terhadap kehormatannya.

Politisi Partai Demokrat itu menjelaskan, konsekuensi negara hukum yang demokratis seperti Indonesia, kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab menjadi salah satu hak yang harus dihormati dan dijamin sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Menurut dia, sebagai bagian penting partisipasi publik dalam ikut mengawal jalannya pemerintahan adalah ikut serta melakukan pengawasan termasuk memberikan masukan dan kritik yang konstruktif dan bertanggung jawab.

Baca Juga: Penyidik KPK Diberhentikan dengan Dalih Tak Lulus TWK, OTT Dibawah Kendali Firli Bahuri Justru Memudar

"Dalam konteks ini maka tidak ada terhindarkan munculnya kritik terhadap setiap institusi dan pejabat penyelenggara negara, termasuk Presiden dan wakil rakyat," tutur-nya.

Didik menilai hal yang lumrah dan biasa saja ketika rakyat terus bersuara dan mengkritik keras untuk perbaikan sehingga tidak perlu sensitif berlebihan karena itu dengarkan saja dan lakukan perbaikan.

Dalam draf RKUHP yang beredar, aturan terkait penghinaan terhadap Presiden-Wakil Presiden diatur dalam BAB II Pasal 217-219.

Baca Juga: Mahfud MD Gembar-gembor Soal Korupsi, Rocky Gerung: Oligarki Bersekutu dengan Otoriterisme

Pasal 217 disebutkan bahwa "Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 218 ayat (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Ayat (2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Baca Juga: Bakal Bubarkan Lembaga Negara Lagi, Tjahjo Kumolo: Ada Kementerian yang Badannya Sampai 3 Lho, Binggung Ini

Pasal 219 disebutkan bahwa "Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220 ayat (1) disebutkan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

Ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.***

Editor: Dadang Setiawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x