Dukung Pasal Penyerangan Pada Presiden dan Wapres, Anggota DPR: Perlu Dipertahankan

- 10 Juni 2021, 17:18 WIB
Ilustrasi. Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin.
Ilustrasi. Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin. /

GALAMEDIA - Pro dan kontra terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pasal penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden disebut layak dipertahankan.

Hal itu disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani. Dia mengatakan bahwa sudah banyak negara yang tradisi demokrasinya menerapkan kriminalisasi bagi penghina atau penyerangan kepada kepala negara yang menjabat.

Tetapi ia mengatakan supaya pasal tersebut diformulasikan agar tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Artinya adalah wajar kalau di dalam KUHP kita berdasarkan benchmarking, pasal terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden, atau penyerangan terhadap martabat presiden dan wakil presiden itu dipertahankan," papar Arsul saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Menkumham Yasonna H. Laoly beserta jajaran di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, dikutip Galamedia dari situs DPR RI.

Baca Juga: Said Aqil Jadi Bulan-Bulanan Gegara KAI Rugi Rp315,9 M, Rizal Ramli: Saya Mau Bela Dikit

Arsul pun mengatakan bahwa tantangannya adalah bagaimana hal tersebut tidak menabrak putusan Mahkamah Konstitusi.

Sebelumnya, anggota DPR itu pun mengatakan bahwa sebagai upaya tidak menabrak putusan MK, ada tiga hal yang harus dilakukan.

Pertama sifat deliknya diubah, dari delik biasa ke delik aduan. Kedua, diberi pengecualian pada ayat berikutnya, yang bukan merupakan penyerangan itu apa, dalam rangka terhadap kritik kebijakan atau pembelaan diri.

Ketiga adalah supaya menghindarkan potensi kesewenang-wenangan penegak hukum, maka pidananya harus diturunkan, harus di bawah lima tahun.

Baca Juga: PPN 12 Persen Jadi Trending Topic, Masyarakat Benar-benar Kecewa : Membunuh Tanpa Menyentuh

"Itu pun kita masih dalam rangka merespon terhadap kekhawatiran masyarakat, seperti yang disampaikan Pak Habiburokhman perlu ada penjelasan lagi terhadap pasal 218 dan 219 KUHP," tutur Arsul.

"Jadi hemat saya pasal ini tetap perlu dipertahankan, tetapi dengan formulasi yang baik yang hati-hati, yang menutup potensi untuk disalahgunakan seminimal mungkin," jelasnya.

Ia pun mengatakan agar tidak hanya melihat sisi pandang internal.

Namun, perlu melakukan benchmarking atau tolok ukur tentang hukum yang terkait penyerangan pemegang kekuasaan, khusunya kepala negara di negara-negara lain.

Baca Juga: Link Streaming Ikatan Cinta 10 Juni 2021: Tak Tahu Diri, Nino Datangi Andin Tanyai Reyna

Arsul mengatakan bahwa sudah banyak negara-negara demokrasi seperti kita, bahkan yang tradisi demokrasinya lebih lama dari Indonesia namun tetap mempertahankan less majesty, ketentuan-ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap harkat dan matabat pemegang kekuasaan, khususnya kepala negara.

"Contoh kita bisa baca di pasal 115 KUHP-nya Denmark, di sana juga ada ancaman hukuman pidana bahkan sampai 4 tahun. Pasal 101 KUHP Islandia, itu juga ancamanya 4 tahun," ungkap Arsul.***

Editor: Dicky Aditya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah