Jaksa Agung Minta Penanganan Korupsi Lebih Mengedepankan Hati Nurani dan Kearifan

- 27 November 2021, 16:51 WIB
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin.
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin. /Dok. Kejaksaan Agung

GALAMEDIA - Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin menyebut pentingnya peran Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi serta mendongkrak Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Burnahuddin pun mengajak seluruh jajarannya untuk mengubah cara berpikir dalam pemberantasan korupsi. Ia meminta agar penanganan korupsi lebih mengedepankan hati nurani dan kearifan.

Hal itu disampaikan Jaksa Agung kepada seluruh Kepala Kejati dan Kejari se-Indonesia, saat berkunjung ke Kejati Sumatera Selatan, Kamis, 25 November 2021.

"Berdasarkan data situs Transparency International, IPK Indonesia tahun 2020 sebesar 37, dari sebelumnya IPK Tahun 2019 sebesar 40. Namun kerja keras yang dilakukan belum mampu mendongkrak IPK secara signifikan," ungkap Jaksa Agung.

Baca Juga: Langsung Disaksikan Jaksa Agung, Kejari Muara Enim Hentikan Penuntutan Kasus Pencurian Handphone

Burhanuddin menyampaikan, Kejaksaan sebagai Aparat Penegak Hukum sangat berkepentingan terhadap tinggi-rendahnya IPK. Pasalnya, IPK merupakan potret dari kinerja Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.

"Salah satu kekeliruan kita dalam menyikapi rendahnya IPK adalah dengan mengejar penanganan korupsi sebesar-besarnya, namun melupakan perbaikan sistem yang mengarah pada terwujudnya ekosistem yang berorientasi pada transparansi, akuntabilitas, dan persaingan usaha yang sehat," ujarnya.

Untuk itu, Jaksa Agung mengajak Kajati dan Kajari beserta seluruh jajaran untuk mengubah cara berpikir dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Mereka harus lebih berorientasi pada perbaikan sistem, yaitu dengan memperhatikan beberapa indikator dalam IPK.

Dalam rangka menaikkan IPK tersebut, seluruh Kejaksaan juga diminta untuk melakukan legal audit guna memperbaiki sistem, mengutamakan pelayanan digital baik melalui aplikasi maupun situs resmi yang aktual dan mudah diakses, memberikan pelayanan prima yang cepat, mudah dan transparan.

Baca Juga: Banjir Mengancam 13 Kabupaten Kota di Jawa Barat, BMKG: Kejadian Hujan Kian Meningkat Akhir November Ini

"Termasuk harus menunjukan akuntabilitas kinerja kepada masyarakat, menerbitkan standar operasional prosedur dan akuntabilitas penggunaan dana publik dan membangun zona integritas dan meraih predikat wilayah bebas korupsi (WBK) - Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM)," terang Burhanuddin.

Jika hal tersebut dilakukan secara simultan dan penuh integritas, Jaksa Agung yakin akan mempersempit celah bagi para oknum untuk melakukan perilaku koruptif, sehingga akan menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif.

Dalam penanganan perkara korupsi, Burhanuddin selalu menekankan kepada setiap satuan kerja agar selalu menggunakan hati nurani dan mengedepankan kearifan.

Termasuk memperhatikan kualitas perkara seperti status sosial pelaku dimata masyarakat, besaran nilai kerugian negara, besaran nilai pengembalian kerugian negara, kompleksitas perkara, dan jika memungkinkan sekaligus mengangkat kasus Tindak Pidana Pencucian Uang-nya (TPPU).

"Perkara korupsi tidak hanya berasal dari pengadaan barang dan jasa, tetapi juga bisa dari sektor-sektor yang menjadi sumber pemasukan daerah. Lakukan penegakan hukum yang dapat mendukung investasi," katanya.

Baca Juga: Sering Diserang Netizen, Anak Buah Sri Mulyani: Apakah Saya Pasti Benar? Jelas Tidak!

Jaksa Agung selanjutnya menyampaikan, tolok ukurnya dalam menilai kinerja Kajati dan Kajari beserta jajarannya tidak sebatas pada jumlah penyelidikan dan penyidikan yang dikerjakan, tetapi juga jumlah perkara yang ditingkatkan ke tahap penuntutan.

"Langkah ini saya ambil untuk menjaga kualitas penyelidikan dan penyidikan saudara, sehingga saudara tidak asal memiliki produk perkara. Buktikan kepada masyarakat bahwa Kejaksaan semakin mampu mengungkap perkara besar dan berkualitas," tuturnya.

Burhanuddin mengatakan, memberantas tindak pidana korupsi harus dilakukan secara berimbang antara pendekatan pencegahan (preventif) dan penindakan (represif) yang saling sinergis, komplementer, terintegrasi dan proporsional.
Penanganan suatu perkara tidak hanya sekadar mempidanakan pelaku dan mengembalikan kerugian negara, namun juga harus dapat memberikan solusi perbaikan sistem agar tidak terulang di kemudian hari.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x