Indeks Persepsi Korupsi Anjlok, Korupsi Merajalela dan Tak Terbendung, Ada apa sebenarnya?

- 4 Februari 2023, 10:24 WIB
Foto Sampul Laporan Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2022/transparency.org/
Foto Sampul Laporan Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2022/transparency.org/ /

 

GALAMEDIANEWS - Indeks Persepsi Korupsi sudah dirilis oleh Lembaga Transparency International. IPK Indonesia pada tahun 2022 yang dirilis menunjukkan bahwa Indonesia terus menghadapi tantangan besar dalam pemberantasan korupsi.

Hal ini tentu saja membuatkan kita merasa pemberantasan korupsi di Indonesia seakan sudah buntu.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 adalah 34/100, menempati peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei.

Baca Juga: Gunung Semeru: Perjalanan Pendakian dari Ranu Kumbolo sampai Kalimati, Fiersa Besari

Nilai ini lebih rendah 4 poin dari tahun 2021 lalu yang sebesar 38/100. Ini lebih rendah 4 poin dari tahun 2021, atau penurunan paling tajam sejak tahun 1995.

Berdasarkan hasil Indeks Persepsi Korupsi ini, kita bisa mengatakan bahwa Indonesia belum mampu mengatasi permasalahan korupsi yang sudah begitu dahsyat di negeri ini.

Apa yang Salah Sebenarnya?

Melihat situasi dan kondisi yang ada ini, seketika juga saya merenung dalam. Sebenarnya apa yang terjadi dengan negeriku ini.

Negeriku sangatlah kaya akan sumber daya alamnya. Sumber daya manusianya juga tak kalah dengan negara maju lainnya.

Baca Juga: Hasil Chelsea vs Fulham: Debut Enzo Fernandez Hanya Menuai Hasil Imbang

Tapi negeriku tetap saja berjalan ditempat. Negeriku masih tertatih-tatih untuk berdiri dan berlari kencang.

Alangkah malangnya negeriku ini, kekayaan alam melimpah ruah, tetapi tidak bisa menikmati, pasrah dengan keadaan harus dikuras oleh bangsa asing.

Kekayaan tambang dan laut dicuri begitu saja oleh negara asing, rakyat miskin bertambahlah miskinnya, pembodohan terus terjadi, dan korupsi merajalela, dari tingkat bawah sampai pemimpin negeri.

Hukum hanya jadi omong kosong, ketidakadilan dipertontonkan, bahkan kasus bisa direkayasa sedemikian rupa. Hukum kalau boleh saya gambarkan ibarat sarang laba-laba yang hanya mampu menjaring yang rentan dan lemah, tetapi yang kuat bebas menerjang. Harus mulai dari mana untuk memperbaiki negeri ini? Rakyat ataukah Pemimpin?

Baca Juga: 25 Link Twibbon Keren Hari Kanker Sedunia 2023 Cocok Dibagikan di Media Sosial, Berikut Cara Menggunakannya

Sungguh tak arif lagi bijaksana kalau saya menyalahkan pemimpin. Kita sebagai rakyat secara tidak sadar ikut serta menyumbang kebobrokan negeri ini.

Perilaku koruptif masih sukar hilang dari diri kita. Bahkan perilaku koruptif itu ibarat kata sudah menjadi budaya dalam keseharian.

Tak perlu melangkah jauh mulai dari hal terkecil saja, apakah kita masih taat pada rambu lalu lintas, masihkah kita membuang sampah sembarangan, Pernahkah kita berkompromi dengan aparat pemerintah dan lainnya. Perilaku koruptif ini susah sekali hilang dari kita pribadi.

Baca Juga: Hukum Menghilangkan Tanda Lahir di Wajah dalam Islam, Begini Penjelasan Buya Yahya

Bukan rahasia umum lagi, perkara korupsi tumbuh dengan suburnya, merambah dan merajalela di semua sektor kehidupan.

Korupsi telah memperkosa dan merenggut dengan paksa kesejahteraan rakyat tanpa memikirkan kepentingan publik yang sudah lama menunggu kata sejahtera di semua bidang kehidupan

Ada Apa dengan Negeriku?

Menurut catatan pena saya, ada dua persoalan yang terkait dengan hal ini, pertama adalah kurang tegasnya hukum yang berlaku di Indonesia.

Baca Juga: Blue Sky Collapse, Lagu Indie Karya Adhitia Sofyan Maknanya Tentang Selalu Terbayang Sosok yang Dicintai

Kedua adalah kurangnya kesadaran akan nilai-nilai Integritas pada diri pemuda bangsa ini.

Berbicara terkait masalah kurang tegasnya hukum yang berlaku di negara ini. Memang fakta berkata demikian. Kita bisa melihat dengan fakta yang ada.

Berapa banyak kasus-kasus korupsi yang dihukum ringan dan bahkan koruptor ada yang diberikan remisi. Hal ini bisa saja melahirkan masalah baru

Masih ingat dengan kasus Menteri Sosial RI yang ditangkap KPK karena korupsi Dana Bansos di tengah wabah pandemi Covid-19 menggila ? Kasus ini masih hangat yang terjadi pada 23 Agustus 2021 lalu.

Baca Juga: Cristiano Ronaldo Cetak Gol Perdana Lewat Penalti, Al Nassr Gak Jadi Kalah

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonisnya 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider.

Juliari dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan korupsi, yakni menerima suap sebesar Rp 32,4 miliar dari para rekanan penyedia bantuan sosial (bansos) Covid-19 di Kementerian Sosial.

Berdasarkan kasus vonis ringan ini, sudah seharusnya pemerintah itu menerapkan hukuman yang dapat menimbulkan efek jera, seperti hukuman mati.

Bukan hukuman yang memberikan angin segar bagi koruptor dengan pengurangan sanksi hukuman.

Baca Juga: Tiga Trisula Strategi Pemberantasan Korupsi KPK, Simak dan Kamu Harus Tahu!

Selain itu, Narapidana kasus korupsi juga dengan mudahnya diberikan remisi oleh pemerintah. Sehingga hal ini mencederai rasa keadilan bagi masyarakat dan tentu tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

Justru, yang ada dengan pemberian remisi ini akan melahirkan koruptor-koruptor baru.

Masalah kedua adalah kurangnya kesadaran akan nilai-nilai Integritas pada diri pemuda bangsa ini.

Mau jadi apa bangsa ini jika pemudanya sendiri banyak yang terjebak dalam kasus tindak pidana korupsi?

Baca Juga: Menjelang Pemilu 2024, Korupsi Politik Berikut Ini Harus Diwaspadai, Nomor 1 Paling Banyak Terjadi

Untuk itu, sebagai generasi muda, kita harus paham bahwa kita adalah motor penggerak perubahan. Pahami peran kita sebagai agen perubahan.

Masa depan Indonesia ada ditangan kita. Kita lah yang diharapkan kedepan mampu membawa perubahan bangsa ini kearah lebih baik. Indonesia bersinar, Bersih dan berintegritas ***.

Editor: Reza Rafaeza

Sumber: Lembaga Transparency International


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x