"Ada yang mendanai, membiayai, dan membayar mahar politik. Yang pasti tidak ada yang gratis. Jika terpilih, dia akan menguntungkan dirinya sendiri karena berpikir untuk balik modal," kata Amir.
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya mahar politik. Diantaranya tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.
Pasal 47 menyatakan bahwa "partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota".
Peraturan yang melarang mahar politik juga terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 228 yang menyatakan "Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden".
Pasal yang sama juga menyebutkan larangan bagi orang atau lembaga untuk memberikan imbalan kepada partai politik dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Aturan mengenai mahar politik ini memuat sanksi tegas, yaitu larangan bagi partai politik untuk mengajukan calon pada periode berikutnya.
Meskipun mahar politik sudah menjadi rahasia umum, namun pembuktiannya sulit dilakukan karena bersifat terbatas dan rahasia. Selain itu, untuk membuktikan mahar politik harus ada pengakuan dari pemberi.
Adanya sanksi pidana bagi pemberi dan penerima mahar politik membuat pengakuan tersebut sulit diwujudkan. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa mahar politik adalah bentuk korupsi dalam politik demokratis.***