DKPP Terima Banyak Aduan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Jawa Barat Masuk 3 Besar

- 16 Mei 2023, 08:29 WIB
Para narasumber, salah satunya Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kedua kiri), dalam acara "Ngetren Media, Ngobrol Etika Penyelenggaraan Pemilu dengan Media", di Kota Bandung, Senin, 15 Mei 2023 malam./Lucky M Lukman/Galamedianews
Para narasumber, salah satunya Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kedua kiri), dalam acara "Ngetren Media, Ngobrol Etika Penyelenggaraan Pemilu dengan Media", di Kota Bandung, Senin, 15 Mei 2023 malam./Lucky M Lukman/Galamedianews /

GALAMEDIANEWS - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) menerima banyak aduan terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, baik KPU, Bawaslu maupun DKPP itu sendiri.

Berdasarkan data yang dimiliki DKPP, Jawa Barat masuk ke dalam tiga besar provinsi dengan jumlah aduan terbanyak. Aduan ini bukan menyangkut lembaganya, tapi personal penyelenggara Pemilu.

"Data sementara, karena aduan di DKPP itu sifatnya dinamis, dari data Juni 2022 hingga 8 Mei 2023, pengaduan yang masuk itu ada 302. Sumut ada 54 aduan, Jabar 28 dan Aceh 24," ujar Anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.

Baca Juga: UPDATE Perolehan Medali SEA GAMES 2023, Indonesia Terus Dipepet Kamboja, Peluang 3 Besar Terancam

Hal itu disampaikan Dewa dalam acara "Ngetren Media, Ngobrol Etika Penyelenggaraan Pemilu dengan Media", di Kota Bandung, Senin, 15 Mei 2023 malam.

Dari 302 pengaduan itu, kata Dewa, terbagi ke dalam dua kategori, yakni terkait tahapan dan non-tahapan. Untuk tahapan, salah satu contohnya terkait dengan verifikasi parpol.

Sedangkan non-tahapan, Dewa memberi contoh terkait dengan perilaku penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik pedoman perilaku dan sumpah penyelenggara.

"Kebanyakan dari aduan yang masuk adalah soal rekrutmen, terutama terkait badan penyelenggara ad-hoc baik itu PPK, PPS atau rekrutmen Panwaslu kecamatan dan pengawas di desa atau kelurahan," terangnya.

DKPP, ujar Dewa, menangani aduan yang masuk sepanjang ada sangkut pautnya dengan penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Sedangkan aduan terkait PPK atau PPS, biasanya diselesaikan di tingkat KPU atau Bawaslu kabupaten/kota.

Ia mengambil contoh pengaduan yang saat ini sedang ditangani dan kebetulan berada di Jawa Barat. Dewa menyebut ada dua perkara pelanggaran kode etik di Majalengka yang sedang disidangkan oleh DKPP.

"Ada dua perkara menyangkut KPU Majalengka. Ini terkait dugaan pelanggatan rekrutmen badan penyelanggara ad-hoc atau PPS. Sidangnya masih berjalan," jelasnya.

Soal sanksi yang dijatuhkan jika aduan itu terbukti, Dewa menyampaikan, DKPP memiliki mekanisme yang sudah diatur undang-undang. Jenis sanksi yang diberikan mulai dari peringatan, peringatan keras dan peringatan keras terakhir.

Baca Juga: Pemilu 2024 Kapan ? Pendaftaran Caleg Partai Politik Peserta Pemilu 2024 Mulai Hari Ini hingga 14 Mei 2023

Kemudian, lanjut Dewa, ada juga sanksi diberhentikan sementara dan sanksi diberhentikan dari jabatannya. "Misalkan diberhentikan dari jabatan ketua tapi tetap jadi anggota," ujarnya.

Terakhir, sanksi terberat yang dijatuhkan oleh DKPP kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik adalah diberhentikan tetap atau diberhentikan sebagai anggota. "Kalau ini yang bersangkutan tidak lagi sebagai penyelenggara, artinya total diberhentikan," tegasnya.

Dari 302 aduan yang masuk sejak Juni 2022 hingga 8 Mei 2023, Dewa menyebut ada beberapa putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi terberat kepada pelanggar kode etik. Disampaikan Dewa, putusan itu diambil melalui kajian dan pertimbangan mendalam.

"Ya, ada, ada beberapa penyelenggara di kabupaten yang diberhentikan (sebagai anggota) melalui kajian dan pertimbangan mendalam. Tapi ada juga yang diberhentikan sebagai ketua dan peringatan," tandasnya.

Kordinasi internal

Meminimalisir terjadinya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, Dewa menyatakan DKPP terus melakukan langkah-langkah. DKPP akan memastikan tahapan pemilu berjalan sesuai ketentuan dan mendorong komunikasi serta kordinasi di internal lembaga penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu dan DKPP itu sendiri.

Baca Juga: SMP Favorit Hilang Setelah Ada PPDB Sistem Zonasi, Disdik KBB : Orang Tua Harus Bijak Semua Sekolah Sama

Tripartid antara KPU, Bawaslu dan DKPP itu dinilai sangat penting, disamping adanya partisipasi dari stakeholder lain termasuk media, kampus dan lainnya.

"Ini penting, karena penyelenggara pemilu tidak hadir dalam ruang kosong. Dia hadir di tengah masyarakat. Dia harus melaksanakan ketentuan dan satu sisi dia akan alami perjumpaan dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Makanya, kalau mau pemilunya berintegritas, sudah waktunya membangun budaya politik dan kultur demokratis. Saya yakin masing-masing daerah memiliki kearifan lokal yang bisa mencapai itu," papar Dewa.

Sementara itu, Anggota Tim Pemeriksa Daerah DKPP, DR. Ujang Charda S, menilai kode etik penyelenggara Pemilu sangat penting karena berkaitan dengan integritas mereka dalam pesta demokrasi.

Penyelenggara Pemilu, ujarnya, harus setia terhadap sumpah dan janjinya, yang tak hanya disaksikan manusia tapi juga Tuhan.

"Ini perlunya kode etik, karena penyelenggara Pemilu itu haruslah homo juridicus atau yang paham tentang kepemiluan. Lalu dia juga harus homo ethicus, peduli sesama, kooperatif dan jujur. Perpaduan itu yang bisa menghasilkan penyelenggara Pemilu yang dapat dipercaya oleh masyarakat," kata Ujang.

Jurnalisme pacuan kuda

Meski begitu, ia tak menampik itu pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu akan terjadi. Ia mengambil contoh di Jabar. Dengan lebih dari 35 juta pemilih, lebih dari 148 ribu TPS, potensi pelanggaran penyelenggara pemilu cukup besar.

Baca Juga: 5 SMA Terbaik di Tegal versi Nilai UTBK Paling Tinggi dan TOP Sekolah Rangking Cek Alamatnya

"Bisa saja penyelenggara pemilu itu lalai dalam proses, lalu ada pelanggaran keberpihakan, melanggar tertib sosial atau perlakuan tidak adil. Termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum. Ini yang harus diantisipasi," tutur Ujang.

Di tempat sama, Ketua Bidang Advokasi PWI Jabar, Erwin Kustiman menyatakan, pers memiliki kaitan sangat dekat dengan lembaga demokrasi. Di Indonesia khususnya, pers sekarang ini bisa hidup bebas karena demokrasi.

Erwin berharap, media di momen Pemilu kali ini, bisa menampilkan pemberitaan yang memberikan dampak positif alih-alih menyajikan rivalitas kandidat. Pers, ujarnya, jangan terjebak dalam 'jurnalisme pacuan kuda' yang hanya fookus pada data polling dan persepsi publik daripada kebijakan kandidat.

"Saya kira, pers tidak boleh lagi menempatkan langkah yang dilakukan DKPP, KPU, Bawaslu, sebagai berita yang kurang seksi," ujar Erwin.

"Berita terkait administrasi, penyelenggaraan dan bagaimana semua proses berlandaskan dimensi etik itu yang jauh lebih penting. Alih-alih sedesar munculkan berita koalisi dll. Itu penting, tapi itu dinamika yang muncul di tengah mereka yang ikut kontestasi. Yang paling penting adalah bagaimana demokrasi ke depan akan berkembang," paparnya.***

Editor: Lucky M. Lukman


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x