Kirab Satu Suro Keraton Surakarta, Warisan Tradisi Berusia Ratusan Tahun

- 19 Juli 2023, 19:01 WIB
Kirab malam Satu Suro tradisi Keraton Surakarta yang sarat makna spiritualitas.
Kirab malam Satu Suro tradisi Keraton Surakarta yang sarat makna spiritualitas. /
GALAMEDIANEWS - Tahun Baru Islam yang dirayakan setiap 1 Muharram, dikenal dalam penanggalan masyarakat Jawa dengan malam Satu Suro. Bagi masyarakat kota Surakarta atau Solo, datangnya malam Satu Suro berarti waktunya menjalankan tradisi turun temurun yang telah dimulai sejak jaman Raja Pakubuwono X tahun 1893.
 
Pada masa pemerintahan Raja Pakubuwono X 1893 hingga 1939, setiap Selasa dan Jumat kliwon, Pakubuwono X rutin berkeliling tembok Baluwarti berdasarkan penanggalan Jawa. 
 
Rutinitas Pakubuwono X ini kemudian berkembang menjadi sebuah tradisi kirab yang hingga kini terus dilestarikan oleh kerabat Keraton Solo. Tradisi kirab ini memiliki makna dimana masyarakat memohon keselamatan kepada sang Pencipta sekaligus sebagai sarana introspeksi diri agar membentuk pribadi yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya.
 
 
Kirab malam Satu Suro di Keraton Kasunanan Surakarta erat kaitannya dengan salah satu ikon Keraton yakni kebo bule atau kerbau bule. Kebo bule menjadi tokoh utama dalam ritual ini, dan diberi nama Kyai Slamet. Nama Kyai Slamet diambil dari salah satu pusaka Keraton yakni tombak yang sering dibawa oleh Pakubuwono X saat mengeliling tembok Baluwarti. Kebo bule senantiasa setia mengikuti di belakang langkah Pakubuwono X.
 
Karena kesetiaannya mendampingi saat ritual, kerbau ini kemudian diberi nama kebo bule Kyai Slamet, yang mengikuti langkah tombak Kyai Slamet. Kebo bule yang sakral itu merupakan hadiah istimewa dari Bupati Ponorogo, yakni Kyai Hasan Besari Tegalsari, kepada Pakubuwono II bersama dengan pusaka tombak yang tak kalah sakralnya, yaitu Kyai Slamet. 
 
Kehadiran Kebo bule dipercaya membawa anugerah dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kemunculannya selalu dinantikan dengan penuh harap oleh seluruh masyarakat.
 
 
Pada pelaksanaan kirab malam Satu Suro, ribuan orang memadati sepanjang rute yang akan dilalui. Biasanya kirab dimulai pukul 23.00 WIB. Rute kirab umumnya diawali dari Keraton Solo, menuju Jalan Pakoe Boewono – Bundaran Gladag, lalu Jalan Jenderal Sudirman. 
 
Selanjutnya, kirab akan mengitari Benteng Vastenburg ke arah timur melalui Jalan Mayor Kusmanto, kemudian berbelok ke arah selatan melintasi Jalan Kapten Mulyadi. Lalu kirab dilanjutkan ke arah barat memasuki Jalan Veteran, kemudian berbelok ke arah utara melintasi Jalan Yos Sudarso, kembali ke arah timur melalui Jalan Slamet Riyadi, dan di Bundaran Gladag berbelok kanan (ke arah selatan) untuk mengakhiri rute kirab dengan masuk kembali ke area keraton. 
 
Hal menarik dari kirab ini, banyak warga yang menantikan kehadiran kebo bule, lalu berusaha untuk menyentuh, mengambil air jamasan, dan bahkan mengambil kotoran kebo bule yang jatuh selama kirab berlangsung.
 
 
Seluruh peserta kirab malam Satu Suro, pria maupun wanita, mengenakan pakaian berwarna hitam. Peserta pria mengenakan busana adat Jawa atau busana Jawi jangkep. Sementara peserta wanita mengenakan kebaya. Barisan kebo bule beserta pawangnya ada di barisan kirab paling depan. Kemudian, diikuti oleh barisan abdi dalem, putra-putri raja, dan kerabat Keraton Solo yang membawa sepuluh pusaka milik keraton.
 
Prosesi kirab ini sarat akan pesan spiritualitas. Selama kirab berlangsung, peserta dilarang berbicara satu sama lain. Ritual ini dikenal sebagai tapa bisu. Tapa bisu dimaknai sebagai bentuk perenungan diri atas apa yang telah dilakukan selama setahun yang telah dilalui.
 
Kirab malam Satu Suro Keraton ini juga menjadi salah satu agenda wisata khas Kota Solo yang selalu dihadiri ribuan wisatawan baik domestik maupun mancanegara.***

Editor: Ryan Pratama

Sumber: surakarta.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x