Kronologi Kerusuhan Dago Elos, Sengketa Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller

- 15 Agustus 2023, 13:27 WIB
YLBHI untuk warga Dago Elos
YLBHI untuk warga Dago Elos /lbhbandung.or.id/

Barikade polisi perlahan maju dan kendaraan water canon menyemprotkan air ke kerumunan, berupaya membubarkan massa. Namun, upaya itu kembali mendapat perlawanan. Di sekitar gang dekat terminal, massa kembali melempari petugas dengan batu.

Pukul 23.06 WIB, massa kembali melawan. Petugas kembali mundur hingga akhirnya Tim Raimas bersepeda motor diterjunkan. Massa perlahan dapat dipukul mundur sekitar pukul 23.59 WIB. 

Massa terlihat berlarian ke pemukiman di sekitar terminal. Petugas kemudian menangkap sejumlah warga yang dianggap anarkistis. Kondisi telah kondusif pada Selasa.

Awal Mulanya Sengketa Warga Dago Elos dengan Keluarga Muller

Hal ini berawal dari sengketa lahan warga Dago Elos dengan Keluarga Muller yang mengklaim sebagai ahli waris menggugat warga Dago Elos. Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller. 

Ketiganya mengaku keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda. Ketiganya kini sudah menjadi warga negara Indonesia. Mereka mengklaim bahwa tanah seluas 6,3 hektar di Dago Elos sudah diwariskan kepada mereka.

Semula, diatas tanah itu berdiri Pabrik NV Cement Tegel Fabriek dan Materialen Handel Simoengan atau PT Tegel Semen Handeel Simoengan, tambang pasir, dan kebun-kebun kecil. Kini kondisinya sudah berbeda jauh. Di atas lahan itu kini ada kantor pos, Terminal Dago, dan didominasi oleh rumah-rumah warga RT 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos. Meski demikian, tidak seluruh warga RW 02 menempati lahan 6,3 ha yang diklaim keluarga Muller.

Baca Juga: Dago Elos Melawan Ungkapan Hati Warga: Ridwan Kamil Coba Lihat Kami Jangan Hanya Diam Main Medsos!

Tanah itu diklaim berasal dari Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan kolonial Belanda. Tanah seluas 6,3 ha itu terbagi dalam tiga Verponding: nomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.780 meter persegi. Sertifikat tanah itu dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada 1934.

Sejatinya hak barat tersebut menjadi bagian dari nasionalisasi tanah bekas Belanda atau setidaknya berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dapat dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya 20 tahun sejak UUPA berlaku.

Namun hingga lebih dari 50 tahun keluarga Muller tidak pernah tercatat melakukan kewajibannya mencatatkan ulang bahkan menelantarkan begitu saja tanpa menduduki secara fisik tanah tersebut yang hingga kini dijadikan sebagai sumber penghidupan tempat tinggal oleh warga kampung Dago Elos.

Halaman:

Editor: Tatang Rasyid

Sumber: Instagram @lbhbandung


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah