Heboh Tsunami setinggi 20 Meter, Ini Penjelasan Dosen Fakultas Geologi Unpad

- 28 September 2020, 19:41 WIB
Ilustrasi Tsunami.
Ilustrasi Tsunami. /Pixabay/Kellepics/Pixabay

 

GALAMEDIA - Sejak beberapa hari ke belakang, masyarakat diresahkan dengan potensi mega tsunami seperti kajian Institut Teknologi Bandung (ITB). Dimana ketinggian tsunami ini bisa mencapai 20 meter di pantai selatan Jawa barat dan 12 meter di selatan Jawa Timur.

Dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran Dr. Dicky Muslim, M.Sc., mengatakan, ancaman tsunami setinggi 20 meter tersebut merupakan skenario yang memungkinkan berdasarkan akumulasi regangan/energi yang dilepaskan saat gempa tektonik terjadi. Tentunya, skenario ini tetap harus dilakukan penelitian lanjutan.

Hikmahnya, kajian ini seharusnya menjadi upaya untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya tsunami. Ini pula yang sudah dilakukan negara Jepang. Hasil riset dijadikan pedoman untuk melakukan mitigasi kebencanaan dengan baik.

Baca Juga: Armenia dan Azerbaijan Makin Memanas, Bentrokan Kembali Tewaskan Belasan Tentara

“Berdasarkan pengalaman gempa dan tsunami Jepang pada 2011, itu sudah diprediksikan 10 tahun sebelumnya,” kata Dicky, Minggu, 27 September 2020.

Lebihlanjut Dicky menuturkan, hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan tsunami akan terjadi. Namun Indonesia setidaknya punya sistem peringatan dini tsunami yang salah satunya sudah dipasang di sepanjang pesisir selatan Jabar.

“Pada intinya kewaspadaan dipertinggi,” ujarnya.

Baca Juga: Mengancam Akan Melukai Dirinya Sendiri, Mantan Manajer Kampanye Donald Trump Dibawa ke Rumah Sakit

Dijelaskan Dicky, kawasan pesisir selatan Indonesia merupakan wilayah zona subduksi selat sunda atau yang kerap kenal dengan Sunda Megathrust. Zona ini memanjang dari selatan pulau Sumatera hingga Nusa Tenggara.

Kawasan ini merupakan zona pertemuan antara lempeng Indo-Australia.

Aktivitas sesar atau patahan di Sunda Megathrust masih aktif hingga sekarang. Aktivitas patahan menyebabkan gempa vertikal yang kerap menjadi pemicu terjadinya tsunami.

Baca Juga: Pelaku Spesialis Pencuri Burung Murai Diciduk, Hasil Curian Dijual Rp13 Juta

Dicky menjelaskan, terjadinya gempa vertikal merupakan peringatan utama yang harus diwaspadai oleh masyarakat yang tinggal di pesisir. Aktivitas gempa akan ditangkap dan diproses oleh sistem. Jika gempa berpotensi tsunami, maka sistem akan mengeluarkan peringatan dini tsunami.

“Jika sudah ada peringatan tsunami, masyarakat harus lari ke tempat yang lebih tinggi,” kata Dicky seperti dilansirkan laman resmi Unpad.

Dicky menambahkan, masyarakat hanya punya waktu sekira 15 – 20 menit untuk menyelematkan diri pascagempa vertikal terjadi.

Baca Juga: Nadiem Makarim Dukung Literasi Gizi Sejak Dini, Upaya Maksimal di Tengah Krisis Kesehatan

Ciri lain yang bisa menjadi penanda terjadinya tsunami adalah surutnya air laut tiba-tiba akibat terserap terserap ke dalam retakan setelah gempa tektonik terjadi.

Namun, Dicky mengatakan, tidak semua peristiwa tsunami diawali dengan menyurutnya air laut.

Sayangnya, lanjut Dicky, banyak masyarakat yang masih mengabaikan peringatan dini tsunami. Hal ini sering dijumpainya setiap kali melaksanakan observasi lapangan, salah satunya di kawasan pesisir selatan Jabar. ***

Editor: Dadang Setiawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x