Harus Tahu, Sisi Gelap Pemilu 2024

- 14 Februari 2024, 08:38 WIB
 ilustrasi bayangan pemilu./Tangkapan layar bakrie.ac.id /
ilustrasi bayangan pemilu./Tangkapan layar bakrie.ac.id / /

GALAMEDIANEWS – Semaraknya pesta demokrasi per 5 tahunan di Indonesia, dengan segala gejolak dan kontroversinya. Ternyata ada informasi yang banyak tidak diketahui masyarakat, apakah ini sebuah pembodohan, atau dalam rangka menjaga nama baik. Berikut adalah informasi tentang fakta, sisi gelap pemilu tahun 2024 yang banyak masyarakat tidak ketahui.

Mendapatkan posisi untuk menjadi presiden berikutnya di Indonesia, selama 5 tahun ke depan ada fakta yang jarang diumbar ke publik. Fakta bahwa mayoritas pemilih kita dalam pagelaran pemilu 2024, hanya berpendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) dan ke bawah nya. Sebanyak 44% pemilih berpendidikan SD ke bawah, yang ke-2 berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ke bawah.

Fakta ini penting karena seharusnya pemimpin selanjutnya, atau presiden berikutnya di Indonesia mesti memikirkan 2 sisi. Pertama ada sisi masa depan dimana ada globalisasi, teknologi, digitalisasi, AI, machine learning yang harus kita kejar. Kedua ada sisi masa lalu yaitu kesejahteraan masyarakat, hak asasi manusia hingga pendidikan yang harus diselesaikan.

Baca Juga: Ketua MUI: Golput Hukumnya Haram

Sehingga pemimpin yang seharusnya harus dapat memikirkan masa depan dan juga tidak meninggalkan masa lalu, atau tidak meninggalkan masyarakat. Menjadi pemimpin di Indonesia harus mendapatkan suara, secara logika seharusnya saat ini yang sedang bersaing adalah, pemimpin yang bagus atau pemimpin yang dapatkan suara. Untuk memenangkan suara yang besar sekitar 113 juta orang, yang didominasi oleh generasi milenial dan Gen Z yang totalnya sebesar 56%.

Untuk memenangkan pemilu capres harus memenangkan 2 sisi, pertama pikiran dan yang kedua adalah hati. Sisi pikiran adalah berdasarkan pada objektivitas dan fakta, sehingga paslon pasti menuangkannya dalam visi misi, serta program dan kebijakan yang akan dijalankan saat terpilih. Menuangkan rekam jejak, analisa sehingga kita dapat menilai pemimpin mana yang paling bagus, itu yang akan memenangkan pikiran.

Untuk memenangkan pikiran jauh lebih sulit dan tidak sekuat, dibandingkan dengan memenangkan hati. Karena saat ini masyarakat dominan memilih dengan hati secara irasional, dan kenyataannya membuat keputusan berhubungan langsung dengan tingkat pendidikan. Semakin rendah pendidikan maka semakin irasional keputusannya, semakin tinggi pendidikan maka semakin irasional keputusannya atau memakai logika.

Untuk memenangkan hati itu ada 5 emosi yang signifikan yaitu ketakutan, kebencian, kesedihan, kebahagiaan dan kemarahan. Calon Presiden yang mampu memenangkan hati masyarakat melalui 5 emosi, secara angka akan memenangkan pemilu. Caranya adalah sesuai dengan nilai-nilai, yang dipegang oleh masing-masing capres, jika ingin memajukan maka pancing emosi melalui kebahagiaan dan harapan.     

Kenyataannya banyak sekali kampanye yang sifatnya, menjatuhkan atau memicu kemarahan karena pendidikan yang rendah. Terjadi polarisasi politik yang bilamana ada ketidak cocokan, maka yang terjadi adalah perseturuan, membuat salah satunya marah dan salah satunya takut. Jangan mau untuk dibodohi, pemilu harusnya mempersatukan, mendapatkan informasi berdasarkan fakta dan objektivitas.

Berpegang pada pendirian masing-masing untuk memilih presiden, namun secara kenyataan tidak seperti itu. Presiden yang akan menang adalah presiden yang dapat memancing emosional warga, melalui konten dan banjirnya kampanye digital.

Sisi Gelap Kampanye Pemilu 2024

Bagaimana cara untuk menguasai warga dan memanipulasi ideologinya, yang jika dahulu sebelum era digital, kita harus turun dan berbincang lalu membuat kampanye darat yang besar. Menyampaikan semua kegiatan, pidato yang memukau hingga tercapai puluhan bahkan ratusan ribu orang. Hari ini di era digitalisasi dengan cara edit dan klik maka, 10 juta orang akan melihat konten yang dibuat.

Menyeramkan di era digitalisasi karena, propaganda diciptakan jika terjadi sebuah ideologi baru, masalahnya adalah hoax dan misi informasi. Jika capres selalu memakai fakta dan data itu dapat memenangkan pikiran, namun belum tentu dapat menangkan hati. Untuk menangkan hati maka harus memainkan emosi, dengan pendidikan yang rendah maka dapat menimbulkan sikap anarkis. Bila kebencian, kemarahan, ketakutan semuanya bernilai negatif, dan itu banyak di media sosial.

Media sosial saat ini dibanjiri dengan konten negatif dari pada konten positif, karena sifat netizen dengan pendidikan yang rendah menyukai drama. Ini adalah pemilihan pemimpin dan kelangsungan hidup, bergantung pada keputusan yang kita pegang. Membawa negara Indonesia maju, tapi tidak juga meninggalkan masa lalu, karena masalahnya belum selesai.

Hoax atau misi informasi yang memancing emosi yang sedang maraknya, ditambahnya sirkulasi uang hingga 100 triliun lebih, menurut para pakar itu digunakan untuk menyebarkan informasi. Menurut data selama satu tahun 11 ribu hoax lebih, kominfo hingga kewalahan membendung semua hoax, dan inilah sisi gelap kampanye digital.

Kita tidak akan bisa mengendalikan, kita tidak mengetahui siapa yang dibayar, sulit untuk mencari kebenaran. Jika ini dibiarkan maka ini adalah pembodohan warga, perubahan ideologi warga hingga dapat terpengaruhi, dan memilih pihak tertentu berdasarkan informasi yang salah. Cukup untuk sadar jika melihat konten yang memilih presiden, jangan diambil mentah-mentah, jangan dibawa emosi, saat ini belajar untuk menyeimbangkan pikiran dan hati.

Cara Agar Tidak Terbodohi

Analogi yang harus dibangun adalah bertanya sebelum memilah informasi, berpikir kritis, melihat berdasarkan fakta dan objektivitas. Buatlah keputusan secara fakta dan objektif seimbang, setelah itu ikuti kata hati, setiap mendapatkan informasi yang tidak yakin, maka pastikan secara fakta. Pemilu seharusnya adil dan mempersatukan, agar negara lebih maju,

Pada dasarnya melihat dan membaca visi misi, program dan kebijakan serta melihat rekam jejaknya, adalah cara yang rasional. Jangan terlebih dahulu melihat video yang memancing emosi, sehingga secara instan menetapkan pilihan. Semua pasangan calon pasti mengetahui data pendidikan dan mereka, mengetahui bagaimana cara memenagkan suara.

Baca Juga: Lewati Lautan Eceng Gondok di Waduk Cirata, Pj Bupati KBB Kawal Pengiriman Logistik Pemilu ke Daerah Terisolir

Pilihlah pemimpin yang paling menyentuh hati, namun berdasarkan pada objektivitas dan fakta sebenarnya. Demokrasi membebaskan kita memilih, dan tahun ini pemilu yang lebih digital, artinya lebih berbahaya dibandingkan sebelumnya.***   

Editor: Feby Syarifah

Sumber: Tiktok @raymondchins


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah