Kisah Hidup RA Kartini, Pejuang Emansipasi Wanita: Akhir Perjuangan, Habis Gelap Terbitlah Terang

21 April 2021, 11:30 WIB
Kartini//titkduanet.com /

GALAMEDIA - Raden Ajeng Kartini adalah sosok penting bagi seluruh wanita di Indonesia. Sosoknya memperjuangkan emansipasi  wanita di negeri ini.

Tanggal 21 April yang merupakan hari kelahirannya diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasa-jasanya dalam kesetaraan gender.

Namun sudahkah kamu benar-benar mengenal dengan baik sosok  RA Kartini?

Yuk kita bahas lebih dalam tentang  Kartini seperti yang dirangkum Galamedia dari berbagai sumber.

Baca Juga: Rayakan Hari Kartini, Yuk Kenang Perjuangan RA Kartini dengan Menonton Film Ini

Tulisan sebelumnya menceritakan biografi hingga wafatnya RA Kartini di usia 25 tahun.

Terungkap bahwa sebelum wafat, banyak surat yang Kartini tulis. Isinya berupa kondisi wanita pribumi di tengah kebudayaan Jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan.
 
Kartini juga mengungkapkan ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.

Cita-cita luhurnya adalah melihat perempuan pribumi menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini.

Raden Ajeng Kartini-dan-suami akarnews.com

Baca Juga: Heboh Reshuffle Kabinet, Mardani Ali Sera: Jokowi Ikut Reformasi Birokrasi Saja
 
Ide-ide baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi oleh Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat mengubah pandangan masyarakat.
 
Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang makna ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan (Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid), perikemanusiaan (humanitarianisme), dan cinta tanah air (nasionalisme).

Ada juga harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada surat perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa.

Baca Juga: Dinas Peternakan dan Perikanan Ciamis Sosialisasikan Gemar Makan Ikan pada Masyarakat di 10 Titik Stunting
 
Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat belenggu adat, yang tidak membebaskan wanita  duduk di bangku sekolah. Mereka harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan bersedia dimadu atau dipoligami..

Surat-surat Kartini banyak mengungkap masalah-masalah  yang dihadapi untuk menjadikan perempuan Jawa lebih maju.
 
Meskipun   memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya walaupun hanya sampai usia 12 tahun, tetap saja pintu  menuju kebebasan bersekolah masih tertutup.

keluarga ra. kartini (Foto: Dok. KITLV Leiden)

 
Kartini sangat mencintai sang ayah. Namun ternyata rasa cinta dan hormat terhadap sang ayah ini ikut menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-citanya.
 
Dalam sebuah surat juga diungkapkan sang ayah  begitu mengasihi Kartini hingga akhirnya RM Adipati Ario Sosroningrat mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi.

Meski demikian ia tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Baca Juga: Persib vs Persija di Partai Final Piala Menpora Dipastikan Tanpa Perpanjangan Waktu

Keinginan  Kartini yang sangat mendalam  untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, ikut  terungkap dalam surat-suratnya.
 
Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika Kartini membatalkan upayanya demi mimpi  yang hampir terwujud tersebut, muncul  kekecewaan dari sahabat-sahabatnya.
 
Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda dibatalkan dan beralih ke Betawi setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon yang mengatakan bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Kartini membatik (Dok. Museum Pusat Jakarta)

Baca Juga: Moeldoko Beberkan Kemunduran Indonesia di Era Jokowi, Legislator: Begal Partai Masuk Peradaban Zaman Batu

Pada pertengahan tahun 1903 saat Kartini berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus.
 
Dalam sebuah surat yang ia tulis untuk  Nyonya Abendanon, Kartini mengungkapkan tidak berniat lagi untuk melanjutkan sekolah karena  sudah akan menikah.
 
“…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…”

Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Buku Kartini//satujam.com

Baca Juga: Persib vs Persija di Partai Final Piala Menpora Dipastikan Tanpa Perpanjangan Waktu

Menjelang pernikahannya, ada perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.  Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
 
Kartini juga menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra, tetapi juga mendukung Kartini menulis buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menyisihkan  egonya dan menjadi wanita yang mengutamakan transendensi.

Kardinah-kartini-dan-roekmini.-Koleksi-KITLV

Baca Juga: Intip 10 Negara dengan Tingkat IQ Tertinggi di Dunia, Posisi Pertama Tak Disangka, Indonesia?
 
Kartini memilih berkorban untuk menikah dengan Adipati Rembang, meskipun hal itu sangat ditentang sebelumnya.

Wafatnya RA Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangannya. Salah satu temannya  di  Belanda Mr. J.H. Abendanon, mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan  Kartini kepada teman-temannya di Eropa.

Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia membukukan seluruh surat itu dengan judul  Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.

Buku ini diterbitkan pada tahun 1911 dan cpada etakan terakhir ditambahkan surat baru dari Kartini.

Baca Juga: Wajibnya Jilbab bagi Wanita Agar Tidak Terkena Murka Allah, Renungan Hadis Hari Ini

Namun pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda.
 
Barulah pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu.
 
Tahun 1938, sastrawan Armijn Pane yang termasuk Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Baca Juga: Soroti Hilangnya KH Hasyim Asyari dari Kamus Sejarah Indonesia, Fadli Zon: Harus Diinvestigasi
 
Versi Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah.

Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA Kartini.

Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi ketika itu.

Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh Indonesia seperti W.R. Soepratman yang kemudian membuat lagu yang berjudul Ibu Kita Kartini.

Baca Juga: Pesan Positf dari Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA: Perbanyaklah Membaca Al-Qur'an

Presiden Soekarno sendiri mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964 pada  2 Mei 1964.

Isinya penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April sebagai Hari Kartini.

Seperti kita ketahui, pernikahan RA. Kartini dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat membuahkan seorang anak yang diberi nama R.M. Soesalit Djojoadhiningrat.

Soesalit Djojoadhiningrat sempat menjabat sebagai Mayor Jendral pada masa kependudukan Jepang.

Baca Juga: Sambut Hari Kartini 2021, Ini yang Disampaikan Raisa Andriana pada Sosok Sang Ibu

Soesalit sendiri mempunyai anak yang dinamai RM Boedi Soesalit yang menikah dengan RAY Sri Biatini. Mereka mempunyai lima orang anak.

Mereka yaitu  RA Kartini Setiawati Soesalit, RM Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM Samingoen Bawadiman Soesalit, dan yang terakhir RM. Rahmat Harjanto Soesalit.

Namun sayang,  kabarnya keturunan dari RA Kartini kini hidup dalam keprihatinan. Hanya cicit tertua Kartini yang berkecukupan.

Baca Juga: Pengamat Politik Ini Sebut Anies Baswedan Jadi Kunci Lemahnya Poros Partai Islam di Pilpres 2024

Cicit Kartini yang bernama Kartono saat ini diketahui berprofesi sebagai tukang ojek. Begitu pula dengan cicitnya Samingoen.

Cicit lainnya Roekmini yang telah ditinggal suaminya mengalami kesulitan ekonomi. Sedangkan Rahmat diketahui telah meninggal dunia.

Demikianlah kisah hidup dan pejuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Semoga kisahnya bisa menjadi inspirasi.***

Editor: Mia Fahrani

Sumber: Beragam Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler