Penyebab Punahnya Megafauna Asia Tenggara Ternyata Bukan Manusia

19 Oktober 2020, 10:27 WIB
Hutan Tropis di Indonesia /David Mark/Pixabay/

 

GALAMEDIA - Ketika membayangkan Asia Tenggara, mungkin terlintas dalam benak kita hutan hujan tropis yang lebat dengan hewan ikonik seperti orang utan, harimau, dan monyet.

Padahal ada hewan-hewan bertubuh besar lainnya yang mungkin kurang terkenal, tapi sama pentingnya bagi ekosistem, seperti serow (mirip kambing), goral, 3 spesies badak Asia, dan satu-satunya spesies tapir masih tinggal di “Dunia Lama”.

Makhluk ini bersama-sama membentuk megafauna Asia Tenggara, kedua setelah Afrika soal keanekaragaman.

Baca Juga: Koleksi Kesayangan Pangeran William, Meghan Markle Pamer Warisan Tak Ternilai Mendiang Putri Diana

Kedua ekosistem kontinental ini merupakan sisa terakhir dari dunia yang sebagian besar telah punah.

Lalu, apa yang menyebabkan begitu banyak spesies megafauna punah?

Dilansirkan theconversation, beberapa teori menunjukkan, ini bisa karena manusia, perubahan iklim, atau keduanya yang membawa megafauna Asia Tenggara menuju kepunahan.

Baca Juga: Pemain Asing Persib Tetap #DiRumahAja, Kenapa Kamu Tidak?

Namun, penelitian terbaru kami di Nature mengindikasikan bahwa naik turunnya sabana yang mendorong terjadinya kepunahan.

Asia Tenggara telah kehilangan banyak spesies mamalia besar selama periode Quarternary (periode keempat), dalam 2,6 juta tahun terakhir.

Spesies-spesies ini antara lain kera terbesar di dunia, Gigantopithecus, stegodon, makhluk mirip gajah, dan kerbau besar.

Baca Juga: Dukung Khabib Nurmagomedov Menang, Ronaldo Sebut Insya Allah

Kepunahan ini juga dialami oleh relasi terdekat manusia, yaitu Homo erectus dan Homo floresiensis (“Hobbit”) serta Homo luzonensis.

Spesies manusia terakhir yang tercatat dalam gen Asia Tenggara saat ini: Denisovan, yang kemungkinan tersebar di seluruh wilayah.

Berdasarkan studi sebelumnya, antagonis utama dalam kepunahan megafauna adalah manusia.

Baca Juga: Yuk Membuat Puding Roti Murah dan Simpel, Ini Caranya

Beberapa berpendapat bahwa kedatangan manusia ke pulau-pulau baru selama lebih dari 60.000 tahun terakhir, – yang terlalu banyak berburu dan mengubah habitat – mendorong punahnya mamalia besar ini.

Para peneliti lain telah berpendapat bahwa perubahan iklim sebagai penyebab kepunahan megafauna.

Sementara, sebagian mengatakan keduanya, manusia dan iklim berpengaruh.

Baca Juga: Habib Rizieq Akan Pulang Ke Indonesia, Ketum PA 212: Buat Istana Bergoyang-goyang

Untuk penelitian ini, kami melihat perubahan lingkungan di Asia Tenggara selama 2,6 juta tahun terakhir untuk menjelaskan dampaknya terhadap kepunahan.

Kami menganalisis isotop yang stabil pada gigi mamalia yang ditemukan di wilayah saat ini, termasuk dari catatan fosil yang tersedia.

Isotop stabil adalah bentuk non-radioaktif dari berbagai elemen.

Baca Juga: Peringatan Dini BMKG: Sejumlah Wilayah di Jabar Dilanda Hujan Lebat Hari Ini, Bandung Salah Satunya

Isotop yang stabil pada karbon dan oksigen diawetkan dalam gigi mamalia mencatat informasi penting tentang jenis tumbuhan apa yang dimakan hewan tersebut dan seberapa basah lingkungan mereka.

Karbon isotop yang stabil membantu dalam mencatat apakah hewan tersebut sebagian besar memakan daun dan buah-buahan dari hutan atau rumput di tempat yang lebih terbuka.

Ini memungkinkan kami mengidentifikasi perubahan lingkungan dari waktu ke waktu.

Selama 1,5 juta tahun pertama atau pada masa Pleistosen (zaman geologi yang berlangsung dari sekitar 2.580.000 hingga 11.700 tahun yang lalu), bagian utara Asia Tenggara sebagian besar adalah hutan dan bagian selatan adalah hutan atau padang rumput.

Baca Juga: Anggap Dunia Gagal Tanggulangi Covid-19, Ini Saran PBB

Sekitar 1 juta tahun lalu, hutan mulai menyusut di mana-mana di wilayah tersebut dan padang rumput mulai mendominasi.

Bersamaan dengan perubahan tersebut, hewan-hewan besar yang beradaptasi dengan hutan, seperti Gigantopithecus, dan panda besar relatif menghilang dari wilayah utara Asia Tenggara.

Lalu, 400.000 tahun yang lalu, Paparan Sunda Asia Tenggara mulai tenggelam dan siklus iklim berubah. Akibatnya, kondisi hutan kembali pulih.

Baca Juga: Menteri Kesehatan Afrika Selatan dan Istrinya Terkonfirmasi Positif Covid-19

Waktu bersamaan, makhluk yang beradaptasi dengan padang ruput memenuhi wilayah tersebut, termasuk hyena (anjing hutan) raksasa, stegodon, bovid, dan Homo erectus mulai menghilang, – dan punah di pengujung era Pleistosen.

Sisanya, berpindah ke hutan hujan.

Selama belasan ribu tahun terakhir, kami melihat bukti pertama hutan hujan bertingkat dan tertutup di Asia Tenggara. Ini telah mendominasi wilayah tersebut selama 20.000 tahun atau lebih.

Baca Juga: Terbaru, Harga Emas Hari Ini, Senin 19 Oktober 2020, Harga Emas Stabil

Spesies yang beradaptasi dengan hutan hujan seharusnya diuntungkan dengan kembalinya hutan hujan, namun satu penyelundup mengubah semuanya.

Homo sapiens merupakan satu-satunya spesies dalam pohon keluarga manusia yang berhasil beradaptasi dan mengeksploitasi hutan hujan.

Meskipun manusia tinggal di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara sejak 73.000 tahun lalu, mungkin saja hanya 10.000 tahun terakhir Homo sapiens mulai mengubah habitat dan memanfaatkan mamalia.

Baca Juga: Terombang Ambing Dilaut selama 6 Hari, Dua Nelayan Garut Ditemukan Selamat di Perairan Cilacap

Asia Tenggara terus melestarikan beberapa megafauna yang terancam punah di Bumi.

Megafauna khas padang rumput merupakan kehilangan terbesar akibat dari hilangnya sabana 400.000 tahun yang lalu. Saat ini, megafauna hutan hujan juga terancam punah.

Untungnya, nasib baik spesies kita sendiri berubah menjadi lebih baik dengan munculnya hutan tropis Asia Tenggara. Namun, kita sekarang menjadi ancaman yang dapat menghancurkan mereka selamanya.***

Editor: Dadang Setiawan

Tags

Terkini

Terpopuler