Pelapor Jokowi Kecewa, Refly Harun Ungkap Adanya Masalah dalam Mekanisme Pelaporannya

28 Februari 2021, 09:59 WIB
Potret kerumunan saat menyambut kedatangan Jokowi ke Maumere, NTT. / /Twitter @BennyHarmanID

GALAMEDIA – Ahli hukum tata negara, Refly Harun menilai jika kasus kerumunan pada saat kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke NTT merupakan sesuatu yang ironi.

Hal itu dikarenakan pada kunjungan kerja tersebut telah mengundang kerumunan meskipun Jokowi sendiri telah memperingatkan masyarakat setempat terkait masalah penggunaan masker.

“In sebuah ironi. Mengingatkan sebuah masker tetapi menyebabkan kerumunan terjadi,” ujar Refly Harun yang dikutip Galamedia dari kanal Youtube pribadinya, @Refly Harun, 28 Februari 2021.

Baca Juga: Laga Bologna Vs Lazio: Mengejutkan, Bologna Tekuk Lazio 2-0

Dari kejadian tersebut, Refly menyebut jika sebagian masyarakat meminta kepada para penegak hukum agar azas kesamaan di depan hukum kembali untuk dapat segera ditegakkan dengan memenjarakan Jokowi.

“Sebagian masyarakat menginginkan ditegakkannya azas kesamaan di depan hukum. Tapi bayangkan seorang presiden itu sebagai orang nomor di republik ini. Bahkan, beliau yang mengangkat Kapolri,” ujarnya.

Sayangnya, Refly menyebut jika Presiden dan Wakil Presiden Indonesia memiliki proses hukum yang berbeda dengan warga negara biasa.

Baca Juga: Soroti Ma'ruf Amin Soal Investasi Miras, Said Didu: Semoga Tidak Sedang Ditugaskan Mencari Dalil Pembenaran

“Bagaimana jika presiden melakukan pelanggaran hukum? Presiden dan Wakil Presiden Indonesia memiliki hak-hak khusus dimana memiliki proses yang berbeda dengan warga negara biasa jika melakukan pelanggaran hukum,” ujarnya.

“Jadi seorang presiden kalau dia mau diproses di pidana biasa ya harus terlebih dahulu dijadikan sebagai warga negara biasa. Tidak bisa di dalam posisi sebagai presiden,” lanjutnya.

“Secara teoritis dalam posisi sebagai presiden, presiden itu tidak boleh diperkarakan secara teoritik. Kok begitu? karena kita terdapat pasal-pasal impeachment. Coba bayangkan jika presiden diadukan karena pencemaran nama baik. Maka pemerintah tidak akan berjalan baik,” ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Nyata Pengungkapan Kasus Pembunuhan Berantai: Sinopsis Film Memories of Murder (2003)

Menurutnya, seorang presiden dapat dilengserkan dari jabatan ketika presiden melakukan tindak pidana berat dan tidak memenuhi syarat sebagai presiden.

“Dalam konstitusi, presiden dapat dijatuhkan karena dua sebab. Pertama, melakukan pengkhianatan terhadap negara seperti korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Kedua, tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden,” ujarnya.

Berdasarkan pasal 93 Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan, perlanggaran protokol kesehatan dapat diancam dengan hukuman penjara selama satu tahun.

Baca Juga: Tidak Jera! Millen Cyrus Kembali Ditangkap Polisi Terkait Narkoba, Kali Ini Jenis Benzo

Oleh karena itu, Refly menilai kasus kerumunan di NTT itu tergolong ke dalam tindak pidana ringan.

“Berdasarkan Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan, pelanggaran protokol kesehatan itu hanya diancam satu tahun. Itu ada di pasal 93 dan belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana berat lainnya,” ujarnya.

Selain itu, Refly juga menganggap jika penolakan laporan yang dilakukan oleh pihak kepolisian ini disebabkan karena adanya masalah dalam mekanisme pelaporannya.

Baca Juga: Selebgram Millen Cyrus Terjaring Razia Petugas Polda Metro Jaya di Bar

Menurutnya, pelaporan tersebut seharusnya ditujukan langsung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan kepada polisi.

“Terkait masalah tersebut, pelaporannya bukan ke polisi tetapi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kalau DPR ingin memproses kasus ini maka DPR bisa menggunakan hak-haknya dimulai dari hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat,” ujarnya.

Pada kasus ini, DPR bisa mengawali proses hukum dengan hak angket. Menurutnya, hak angket ini bisa mengarahkan ke hak impeachment atau pemakzulan yang dapat diproses oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Selebgram Millen Cyrus Terjaring Razia Petugas Polda Metro Jaya di Bar

“Untuk memproses kasus itu, DPR bisa mengawalinya dengan hak angket. Jadi, hak angket itu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap sebuah kebijakan dan kejadian yang dianggap ada pelanggaran hukumnya yang dilakukan oleh eksekutif,” ujarnya.

“Hak angket ini bisa mengarahkan ke hak menyatakan pendapat dan bisa berujung ke hak impeachment yang dapat diproses Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikembalikan ke DPR hingga pada akhirnya berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk proses pemberhentian,” lanjutnya.

“Jadi, azas kesamaan di hadapan hukum yang sudah diatur dalam konstitusi itu azas umum yang berlaku bagi setiap warga negara kecuali presiden. Presiden sendiri dapat diberhentikan melalui proses impeachment atau pemakzulan,” ungkapnya.

Baca Juga: Ditangkap KPK Diduga Lakukan Gratifikasi, Gubernur Nurdin Abdullah: Sama Sekali Tidak Tahu, Demi Allah

Setelah mendapat persetujuan dari MK, DPR baru bisa memberi usulan tersebut kepada MPR yang dimana memiliki wewenang dalam proses pemberhentian presiden.

“Jadi, harus ada insiatif impeachment DPR. DPR ke MK. Kemudian MK kembalikan ke DPR dan DPR ke MPR,” ujarnya.

“Oleh karena itu, tidak ada satu pun institusi negara yang dapat mempersoalkan eksistensi seorang presiden kecuali DPR. MPR hanya menunggu di ujung dan MK hanya pada konteks sengketa hukum,” lanjutnya.

Baca Juga: Pemeran Paman “Bo Bo Ho” Tutup Usia, Tenky Tin Kai Man: Dia Meninggalkan Kami dengan Damai

Namun, Refly menilai jika kasus ini tidak akan berlanjut karena dirinya menganggap Jokowi sudah “menang” jika ditinjau dari sisi hukum dan sisi politik.

“Sepanjang Presiden Jokowi masih mengontrol mayoritas DPR maka apapun yang dilakukannya termasuk pelanggaran protokol kesehatan sekalipun pasti akan dibela oleh partai-partai pengusungnya,” ujarnya.

Jadi, di atas kertas hampir muskil untuk memproses presiden dari sisi politik. Dari sisi hukum tidak bisa karena konstitusi sudah memberikan pengecualian kecuali inpeachment tadi. Dari sisi politik juga tidak mungkin karena mayoritas suara di DPR masih berada di tangan Presiden Jokowi,” lanjutnya.

Baca Juga: Jadwal TransTV 28 Februari 2021: Weekend Seru, Celebrity on Vacation hingga My Trip My Adventure

“Tidak seperti Bung Karno pada tahun 67 yang sudah kehilangan dukungan dan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001,” ungkapnya.

Sebelumnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri disebut tidak menerbitkan laporan polisi Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan pada 25 Februari 2021 atas kasus kerumunan yang terjadi di Maumere, NTT ketika kedatangan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Setelah mengetahui kabar tersebut, Ketua Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan, Kurnia mengaku kecewa dan dirinya pun turut mempertanyakan pelaksanaan azas persamaan kedudukan di hadapan hukum di Indonesia.

Baca Juga: Jadwal Acara RCTI 28 Februari 2021: Ada Movie Special: Matt and Mou hingga Ikatan Cinta

Laporan tersebut dibuat didasari dengan tindakan Jokowi yang telah melanggar Protokol Kesehatan Covid-19 karena telah memicu adanya kerumunan itu.

Menurutnya, kegiatan presiden di NTT itu merupakan hal yang terjadwal sehingga seharusnya protokol kesehatan dapat diantisipasi dan dijaga.***

Editor: Dadang Setiawan

Tags

Terkini

Terpopuler