Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah Dibawa-bawa pada Peringatan May Day 2021

1 Mei 2021, 22:13 WIB
Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah. /Instagram/@aurelie.hermansyah

GALAMEDIA - Nama Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah dibawa-bawa pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, Sabtu, 1 Mei 2021.

Dalam aksinya di kawasan Patung Kuda, Sabtu, 1 Mei 2021, salah seorang orator mengungkapkan kekecewaannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Soalnya ayah dari Kaesang Pangarep ini enggan menemui massa buruh dalam peringatan May Day tahun 2021 ini.

Tapi, kata dia, Presiden justru bisa hadir langsung dalam pernikaah artis Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah.

"Jokowi enggak datengin buruh yang memperingati aksi May Day, tapi nikahan Atta-Aurel dateng," ucap orator aksi.

Menurut orator, massa buruh harusnya mendapat perhatian khusus dari Presiden. Karena, buruh merupakan aset bangsa dalam membangun negeri.

"Buruh yang membangun negeri dari pajak tapi dibuat aturan yang tidak mensejahterakan buruh," tambahnya.

Dalam aksi kali ini, serikat buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) akan menyampaikan petisi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca Juga: Mahfud MD Termakan Omongannya Sendiri Soal Korupsi, Syahrial: Menyedihkan!

Wakil Presiden KSPI Riden Hatam Aziz mengatakan, sebanyak 20 sampai 30 massa buruh sebagai perwakilan diterima masuk ke gedung MK.

Usai menyerahkan petisi ke MK, Riden menyebut massa buruh akan bergerak ke Istana Negara untuk memberikan terkait petisi yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 bersama perwakilan KSP.

Adapun petisi yang akan disampaikan berkaitan dengan 69 pasal dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang dianggap bermasalah dan diharap bisa segera dicabut.

Pertama, terkait pengaturan upah minimum. Dalam UU Cipta Kerja diatur UMK bersyarat; UMSK dihapus; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat alternatif, yaitu inflasi atau pertumbuhan ekonomi.

Pengaturan yang demikian menunjukan tidak adanya perlindungan dari negara untuk mengupayakan kesejahteraan buruh.

Untuk mencapai tujuan bernegara dalam pengaturan upah minimum seharusnya ditetapkan; UMK tanpa syarat; UMSK tetap diberlakukan; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat kumulatif, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana setiap 5 tahun sekali dilakukan peninjauan ulang terhadap KHL.

Baca Juga: Rangga Sunda Empire Klaim Kader Terbaik PDIP, di Hadapan Sujiwo Tedjo Ngaku Bantu Jokowi Manggung

Kedua, terkait pengaturan pesangon. Dalam UU Cipta Kerja diatur nilai UP, UPMK, dan UPH ditetapkan standarnya; dan nilai UPH 15% dihilangkan.

Semestinya, untuk mencapai tujuan bernegara, perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh diwujudkan dengan membuat pengaturan nilai UP, UPMK, dan UPH tidak ditetapkan sesuai ketentuan (nilai standar), melainkan bersifat paling rendah (nilai minimum) agar terbuka peluang bagi perusahaan untuk memberikan nilai lebih kepada buruh; dan nilai UPH 15 persen tidak dihilangkan.

Ketiga, terkait pengaturan outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja diatur hanya ada satu jenis outsourcing, yaitu outsourcing pekerja yang bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan, termasuk untuk kegiatan pokok (tidak hanya kegiatan penunjang).

Perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sesuai tujuan bernegara hanya dapat dicapai apabila: outsourcing dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan saja yang terdiri dari outsourcing pekerjaan dan outsourcing pekerja yang dikhususkan untuk kegiatan penunjang.

Apabila outsourcing dibenarkan untuk kegiatan pokok maka dapat terjadi seluruh atau sebagian besar pekerja di suatu perusahaan adalah pekerja outsourcing abadi yang ketika mengalami PHK dia tidak akan menerima pesangon dan jaminan sosial dari perusahaan tempatnya bekerja.

Keempat, terkait pengaturan karyawan kontrak (PKWT). Dalam UU Cipta Kerja diatur PKWT tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak.

Aturan tersebut tidak sesuai dengan tujuan bernegara sebab dengan pengaturan itu buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).

Untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya diatur dibuat pembatasan PKWT 3-7 periode kontrak dengan batas maksimal waktu kontrak 5-7 tahun yang diatur pada tingkat UU.

Baca Juga: HARI BURUH INTERNASIONAL: Uu Ruzhanul Berdialog dengan Buruh di Gedung Sate

Dengan begitu buruh memiliki kepastian hukum dan berpeluang menjadi karyawan tetap.

Kelima, terkait pengaturan tenaga kerja asing (TKA). Dalam UU Cipta Kerja diatur TKA kategori buruh kasar (unskilled workers) diberi peluang secara luas untuk bekerja di Indonesia tanpa suatu izin dengan pengawasan terbatas.

Ketentuan tersebut tidak menunjukan adanya perlindungan kepada pekerja WNI yang semestinya mendapatkan prioritas untuk mengisi posisi/pekerjaan tersebut.

Sebab itu, sesuai dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh lokal diperlukan izin tertulis dari menteri sebagai bentuk pengawasan terhadap TKA yang bekerja di Indonesia.

Keenam, terkait pengaturan PHK. Dalam UU Cipta Kerja diatur pekerja dapat di PHK secara sepihak oleh perusahaan tanpa harus menunggu penetapan pengadilan PHI dan dalam kondisi tersebut pengusaha dibenarkan untuk tidak membayar upah buruh, jaminan kesehatan, dan hak pekerja lainnya.

Ketentuan tersebut tidak selaras dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja/buruh sehingga terhadap aturan PHK, pengusaha hanya dibenarkan melakukannya setelah ada penetapan dari pengadilan PHI dengan tetap memenuhi hak-hak buruh sebelum adanya putusan pengadilan PHI. PHK yang dilakukan tanpa mengikuti ketentuan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.

Baca Juga: Fadli Zon Menilai Penangkapan Munarman Tak Sesuai Prosedur: ini Bagian dari Pembunuhan Karakter!

Ketujuh, terkait pengaturan pidana. Dalam UU Cipta Kerja diatur pengusaha yang menggunakan TKA tanpa izin tertulis dari menteri terbebas dari sanksi pidana; dan tidak dibayarkannya UPMK dan UPH tidak disertai ancaman pidana.

Demi memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh sesuai dengan tujuan bernegara sudah seharusnya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam hal menggunakan TKA tak berizin dan tidak membayar UPMK dan UPH kepada pekerja dikenai sanksi pidana.

Kedelapan, terkait pengaturan cuti dan istirahat. Dalam UU Cipta Kerja diatur hak libur (1 hari) hanya diberikan kepada buruh yang bekerja selama 6 hari dalam seminggu; hak upah buruh tidak dibayarkan apabila buruh menggunakan cuti tahunan; dan tidak ada lagi hak istirahat/cuti panjang yang diberikan kepada buruh.

Aturan-aturan tersebut sama sekali tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sebab selain yang bekerja 6 hari dalam seminggu, terdapat pula buruh yang bekerja selama 5 hari dalam seminggu sehingga terhadap mereka perlu pula dibuat pengaturan yang jelas dengan memberikan libur selama 2 hari; terhadap buruh yang menggunakan cuti tahunan harus pula tetap dibayarkan upahnya; dan hak cuti/ istirahat panjang buruh harus tetap diberikan.

Kesembilan, terkait pengaturan waktu kerja. Dalam UU Cipta Kerja diatur waktu lembur buruh dapat diberikan kepada buruh sampai dengan 4 jam/hari dan 18 jam/minggu.

Ketentuan tersebut mengakibatkan waktu kerja buruh menjadi lebih panjang dan mengurangi hak libur bekerja bagi buruh.***

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler