Ketua Umum DPP LDII: Rakyat Indonesia Harus Memiliki Wawasan Kebangsaan

21 Juni 2021, 19:57 WIB
Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso. /Dok. DPP LDII/

GALAMEDIA - Konflik dunia yang terus menderu, kerap menggunakan dalih penegakan demokrasi maupun agama. Padahal, konflik tersebut bila diperhatikan secara seksama berkaitan dengan persoalan sumberdaya yang kian terbatas.

"Konflik global saat ini pada dasarnya memperebutkan sumber daya seperti pangan, air, logam langka, dan energi," ungkap Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, mengutip buku Geof Hischock, Earth Wars: The Battle for Global Resources, dalam siaran pers, Senin, 21 Juni 2021. 

Namun menurutnya pada permukaan atau yang muncul di grass root, konflik-konflik tersebut seringkali atas nama penegakan demokrasi bahkan agama.

Dikatakannya fenomena tersebut harus disikapi dengan mengedukasi anak bangsa, terutama milenial mengenai wawasan kebangsaan dan nasionalisme, baik dalam geopolitik maupun geoekonomi.

Baca Juga: Refly Harun Sebut Isu 3 Periode Bisa Berhenti Jika Jokowi Menyatakan Kalimat Kuat: Ada Panggung dan Punggung

"Nasionalisme di sini bukan nasionalisme dalam arti sempit, yang memandang besar diri sendiri dan menutup diri dalam pergaulan internasional, namun yang kita harapkan adalah sosio-nasionalisme," katanya.

Sosio-nasionalisme merupakan pemikiran awal abad 20, ketika bangsa-bangsa terjajah mulai menuntut kemerdekaannya.

"Sosio-nasionalisme adalah pemikiran Bung Karno mengenai nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat manusia. Bukan nasionalisme sempit, tapi nasionalisme yang berlandaskan kemanusiaan dan antipenindasan sesama umat manusia," jelasnya.

Ia menjelaskan sebagai bangsa yang besar, rakyat Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan. Dengan wawasan tersebut, mereka bisa melihat posisinya di tengah-tengah hiruk-pikuk politik nasional dan global.

"Sebagai negeri yang kaya dengan sumberdaya, negara dengan ideologi tertentu ingin menguasai negeri ini," ujarnya.

Chriswanto menuturkan bahwa ideologi yang sifatnya transnasionalisme seperti liberalisme, sosialisme, komunisme, hingga pan Islamisme, tak henti-henti berebut pengaruh di tanah air. Kehadirannya, bisa dalam bentuk perdagangan dan investasi internasional, hingga masuk dalam dunia politik.

"Inilah pentingnya memupuk sosio-nasionalisme dan wawasan kebangsaan, untuk menjaga keutuhan NKRI sebagaimana cita-cita pendiri bangsa," terangnya.

Hal senada disampaikan Ketua Umum MUI Jawa Timur, KH Ali Maschan Moesa terkait ideologi transnasional seperti kekhilafahan, yang menegaskan berbeda-beda adalah sunnatullah, atau kehendak Allah.

"Berbangsa-bangsa itu boleh, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al Hujurat Ayat 13. Artinya, menjadikan bangsa-bangsa menjadi satu ideologi tidak tepat, justru bakal memunculkan anggapan anggapan diri mereka yang terbaik atau chauvinisme," tuturnya.

Menurutnya bila NKRI diganti dengan bentuk pan Islamisme atau yang lebih dikenal dengan khilafah, justru bertentangan dengan sunnatullah.

"Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia untuk mendirikan sebuah negara-bangsa," jelasnya yang juga merupakan Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Ia memaparkan, dalam perspektif agama, sebagian kelompok-kelompok umat Islam mengartikan Surat Al Baqarah ayat 208, untuk membenarkan berdirinya negara Islam.

"Mereka mengartikan masuklah kamu sekalian ke dalam negara Islam secara totalitas. Padahal kosa kata al-silmi, bukan berarti negara Islam tapi perdamaian," ujarnya.

Baca Juga: Orang Dekat Jokowi Jadi 'Otak' Skenario 3 Periode, Rizal Ramli Ungkap Hal Serupa Jatuhkan Soeharto pada 1998

KH Ali Maschan Moesa menegaskan kembali al silmi sebagai perdamaian dalam Surat Al Anfal ayat 61.

"Maka jelaslah Surat Al Baqarah ayat 208 tidak berkaitan dengan kewajiban untuk mendirikan negara Islam," ucapnya.

Menengok sejarah, Ia menerangkan bahwa pesan Rasulullah setelah meninggal adalah mengangkat khalifah atau pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam. Dan ketika musyawarah yang terpilih Abu Bakar.

"Dalam Alquran tak didapati kosa kata khilafah, yang ada khalifah dengan bentuk jamak khalaaif dan khulafa," tambahnya.***

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler