Bebasnya Bos Barang Ilegal dan Black Market Kembali Disorot, Ini Alasannya

24 Agustus 2021, 11:36 WIB
Ilustrasi deretan ponsel. /

GALAMEDIA - Kasus bebasnya seorang pengusaha yang menjual barang-barang murah di bawah harga pasar kembali menjadi sorotan publik.

Hal ini tak lepas dari kembali maraknya peredaran barang-barang elektronik hingga komestik murah di Tanah Air.

Kasus Putra Siregar (PS), menjadi yang paling disorot. Dalam kasus ini, PS sempat diperiksa karena dianggap merugikan negara meski akhirnya bebas dan kembali berbisnis.

Bebasnya bos PS Store itu dari jeratan hukum kembali mendapat sorotan dari Ketua Umum Aliansi Pemerhati Hukum Indonesia (APHI), Ahmad Rifai.

Ia menilai PS seharusnya tidak lolos dari jeratan hukum. Pasalnya, yang bersangkutan jelas dan terbukti sesuai barang yang dirampas oleh Bea Cukai, menjual ponsel ilegal berbagai merek atau black market.

Rifai menilai, apa yang diperbuat PS memiliki konsekuensi hukum, yakni telah melanggar UU No 17/2006 tentang Kepabean terutama Pasal 103 huruf (d) sebagaimana juga dimaksud Pasal 102.

Baca Juga: PT PII Berikan Bantuan Kursi Roda Adaptif dan Modal Usaha untuk Masyarakat Jawa Barat

Pasal itu memiliki ancaman paling lama 8 tahun kurungan penjara dan/atau denda paling tinggi Rp 5 miliar. Regulasi ini merupakan perubahan dari UU RI No.10/1995.

"Kasus ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi penegak hukum untuk memberantas barang ilegal yang kian hari mengkhawatirkan, bukan malah melempem," ujar Rifai, dalam keterangannya, Selasa, 24 Agustus 2021.

PS, ujar dia, secara terbuka mengakui perbuatannya dan kooperatif terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh Bea Cukai Kanwil Jakarta. Bahkan Bea Cuka juga sudah menyita barang buktinya.

Namun anehnya, Bea Cukai tidak mampu membuktikan dipersidangan hingga akhirnya yang bersangkutan terbebas dari jerat hukum.

"Kuat dugaan oknum Bea Cukai Kanwil Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini telah 'kongkalikong'," tegas Rifai.

Ia pun mengungkap dasar dari tudingannya. Menurut Rifai, dari kurun waktu 2017-2020 tidak dilakukan proses hukum secara benar oleh aparat berwenang.

Dia mensinyalir istilah kooperatif yang disampaikan PS itu hanya lebih kepada urusan 'setoran' kepada oknum aparat.

Baca Juga: Sempat Bocor di Twitter, Akhirnya Trailer Spiderman: No Way Home Resmi Dirilis

"Itulah alasan kenapa baru 2020 kasus ini muncul ke permukaan," ujarnya.

"Kasus ini sempat disidangkan di PN Jatim. Pada 10 Agustus 2020, PS didakwa melakukan tindak pidana karena menimbun dan menjual barang impor ilegal dengan bukti 191 ponsel yang disita dari tiga gerai PS Store di beberapa lokasi," terang dia.

Dari situ, pihak Bea dan Cukai melacak kerugian negara, dengan total Rp 26.332.919 dari segi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH).

Hitungan yang sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan dari keuntungan yang PS sudah peroleh.

Dalam persidangan selanjutnya pada Oktober 2020, tuntutan terhadap PS jauh lebih ringan, tidak lagi bicara mengenai kurungan penjara, namun hanya diminta membayarkan denda Rp 5 miliar subsider 4 bulan penjara. "Artinya ia terbebas dakwaan tindak pidana," ungkap Rifai.

Ajaib, lanjut Rifai, pada November 2020, PN Jaktim menyatakan PS tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan.

"Dilihat dari kronologis dan prosesnya, Komisi Yudisial harus turun tangan karena menurut hemat kami mengindikasikan adanya dugaan suap menyuap di antara oknum Bea dan Cukai dan pengadilan, yang membebaskan PS dari jeratan hukum," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Sipil Indonesia (Permasi), Muqoddar menilai kasus barang ilegal yang melibatkan PS ini bisa dimenangkan dengan mudah oleh Bea Cukai.

Baca Juga: Bali United vs Persik Kediri Jadi Laga Pembuka Liga 1, PT LIB Baru Rilis 3 Pertandingan

Pasalnya, hitungan secara matematis Bea Cukai mampu membuktikan secara hukum.

"Jika kita mengunjungi salah satu gerai PS Store di Bilangan Condet, Jakarta Timur tampak terasa ganjil lantaran tak pernah sepi pembeli," ujarnya.

"Catatan kami, harga ponsel yang dibandrol sekitar 30 persen lebih murah daripada harga pasaran," lanjutnya.

Praktik PS ini, tambah Muqoddar, dinilai sudah merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan pajak yang jika diperkirakan angkanya mencapai Rp 2,8 triliun per tahun.

"Apabila peristiwa penyelundupan barang ilegal semacam itu dibiarkan terus menerus, sama saja artinya membajak penerimaan negara," katanya.

Karena itu, dia pun mempertanyakan kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap kasus PS. Sebab, terindikasi kuat masih terdapat kongkalikong di Kantor Pajak yang membuat PS bisa tenang lolos seperti di Bea Cukai.

Menurut dia, bila dilihat dari potensi Pajak yang bisa dipungut dari penghasilan dan transaksi yang dilakukan PS Grup, bukan tidak mungkin DJP mendapatkan pemasukan ke Kas Negara sebesar Rp 50 miliar.

Baca Juga: Ferdinand Tuding HNW Sepaham dengan Taliban: Ketidaksetujuanmu Menunjukkan Kau Siapa

"Hampir semua stakeholder yang terkait permasalahan ini ada di bawah Menkeu Sri Mulyani. Maka sudah saatnya aparat yang berwenang melakukan investigasi lebih jauh dan menindak oknum Bea dan Cukai, DJP, serta pengadilan yang terindikasi ikut terlibat dalam aktivitas yang melanggar hukum demi menyelamatkan uang negara," papar dia.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis bebas terhadap bos PS Store, Putra Siregar bin Imran Siregar.

Hakim menilai PS tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.

Perbuatan yang dimaksud adalah menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.***

Editor: Lucky M. Lukman

Tags

Terkini

Terpopuler