Vaksin Nusantara Sulit Dikembangkan Massal, Akademisi Ini Dorong Percepatan Produksi Vaksin Merah Putih

10 September 2021, 18:34 WIB
Ilustrasi Vaksin Merah Putih. /Antara

GALAMEDIA - Akademisi dari Universitas Sumatera Utara Saddam Shauqi menyatakan Indonesia bisa saja mengembangkan vaksin sendiri. Bahkan teknologi genetic messenger RNA (mRNA) yang dikembangkan Pfizer bersama Netech Jerman hingga menghasilkan Vaksin Pfizer-BioNTech, sebenarnya sudah diteliti LIPI.

"Namun, langkah LIPI ini belum berlanjut," ujarnya, Jumat, 10 September 2021.

Disebutkan, kini yang mengemuka adalah Vaksin Nusantara yang dikembangkan oleh Terawan Agus Putranto.

"Jenis Vaksin ini adalah berupa vaksin dendritik, bersifat individual dan autologous," lanjutnya.

Disebutkan, sel dendritic adalah sel imun yang akan menstimulus pembentukan sel-sel lain untuk memproduksi antibodi. Materi yang digunakan dari diri pasien sendiri sehingga lebih mirip sebagai paten proses, bukan paten produk.

Baca Juga: Vaksin Nusantara Alami Perkembangan Terbaru, Simak 7 Faktanya

Ia pun mengutip pernyataan ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo, yang menjelaskan tentang cara kerja metode sel dendritik. Sel dendritik diperoleh dengan cara mengambil darah orang yang akan divaksin.

Di dalam darah manusia terdapat tiga macam sel yaitu; Sel darah merah, sel darah putih, dan sel prekursor dendritic. Sel yang disebut terakhir ini belum menjadi sel dendritik. Ia baru bisa menjadi sel dendritic setelah diberikan perlakuan khusus yakni dengan menumbuhkannya di dalam wadah di laboratorium.

Masa inkubasi dari sel prekusor dendritic menjadi sel dendritic membutuhkan waktu beberapa hari, pada masa itulah diberikan antigen ke sel dendritik. Antigen itu adalah bahagian dari virus atau virus yang dilemahkan yang dapat memicu pertumbuhan antiobodi dalam tubuh manusia.

Antigen yang terkandung dalam vaksin disuntikkan ketubuh vasien hingga bertemu sel dendritik.

Pada Vaksin Nusantara, lanjut dia, antigen diberikan ke sel dendritik yang akan diambil dari darah orang yang akan di vaksin di laboratorium. Setelah sel dendritik terpapar antigen, kemudian sel itu disuntikkan kembali ke orang yang diambil darahnya tadi.

"Oleh karena itu sel dendritik hanya dapat digunakan oleh orang yang sama. Mencermati dari cara kerja jenis vaksin ini, maka sudah pasti produknya tidak bisa dikomersialkan. Kalaupun harus dikomersialkan adalah prosesnya yang dapat dilindungi sebagai paten proses, bukan paten produk," kata dia.

Baca Juga: Bukan Vaksin Nusantara, BPOM Gencar Promosikan Jamu Nusantara: Di Masa Pandemi Terjadi Lonjakan Permintaan

"Yang pasti jenis vaksin ini sulit untuk dikembangkan secara massal, apalagi dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu prosesnya juga rumit, yang pasti akan menelan biaya yang besar," tambahnya.

Meski begitu,lanjut dia, metode ini secara medis cukup membantu, karena ia dikembangkan dari metode yang berbasis sel potensial yang berasal dari pasien itu sendiri. Metode ini sangat baik terutama dalam hal mengatasi penyakit kanker.

"Akan tetapi untuk mengatasi pandemi covid yang penyebaran sangat cepat dan menyerang manusia secara massal, tak akan mampu diimbangi dengan percepatan pembuatan vaksin nusantara," katanya.

Dengan begitu, menurut dia, Vaksin Nusantara dengan metode ini pastilah kalah bersaing dengan jenis-jenis vaksin yang dikembangkan di dunia saat ini.

"Untuk jangka panjang Vaksin yang dikembangkan oleh Terawan ini dapat saja terus dioptimalkan penelitiaannya. Karena bagaimanapun juga Virus Covid 19 ini akan terus bertahan dalam jangka pajang dan menjadi bahagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia," bebernya.

Untuk kepentingan jangka panjang vaksin nusantara ini masih dapat dikembangkan. Namun untuk keperluan massal dan dibutuhkan dalam waktu yang cepat dalam saat bersamaan Indonesia harus mengembangkan jenis vaksin lain setara dengan yang dikembangkan oleh industri farmasi di dunia.

Baca Juga: Bahas Soal Vaksin Nusantara, dr Riska Larasati Ungkap Cara Mendapatkannya

"Indonesia tentu dapat belajar dari pengalaman negara lain seperti, Jepang, Korea, Brazil dan Turki. Jepang sendiri paling tidak telah memasuki uji klinis tahap ketiga untuk tiga jenis Vaksinnya, yaitu Shionogi dan AnGes selain Daiichi Sankyo," ungkapnya.

Ia pun mengungkapkan, vaksin yang berbeda dengan vaksin Niusantara yang dikembangkan sat ini di Indonesia adalah Vaksin Merah Putih.

Saat ini terdapat enam institusi penelitian dan lembaga pendidikan di Indonesia tengah mengembangkan penelitian untuk menemukan vaksin Covid-19. Institusi itu adalah; Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Masing-masing lembaga ini mengembangkannya dengan metode yang berbeda. LBM Eijkman mengembangkan dengan platform protein rekombinan, UI dengan platform DNA- MRNA dan virus-like particle.

Unair menggunakan formula Adenovirus dan Adeno-Assisated Vierus-Basedf, ITB menggunakan platform Vector Adenovirus, sementara UGM menggunakan protein rekombinan dan LIPI juga menggunakan metode protein rekombinan fusion.

"Harus diakui ilmuwan kita banyak, peneliti kitapun banyak, bahan baku yang diperlukan lebih dari cukup. Apalagi untuk menghasilkan vaksin covid-19 seperti yang dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan di berbagai Negara.Metodenya dan cara penemuannya sama," katanya.

Terlebih, lanjut dia, cara kerjanya sama dan komponen berupa protein, gen, particle, DNA dan lain sebagainya termasuk metode dan tekniknya hampir semuanya dapat dilakukan di Indonesia.

Baca Juga: Vaksin Nusantara Sudah Bisa Diterima Masyarakat Bagi Pendaftar di RSPAD, Peneliti: Hoaks!

"Kita terlambat beberapa langkah, dari negara-negara yang sudah memporoduksi vaksin. Pada saat semua Negara telah memproduksi, kita baru mulai fokus untuk bekerja. Waktu kita banyak terbuang. Keburu anggaran habis duluan untuk membeli vaksin dari luar," katanya.

Kemudian orang-orang yang akan menjadi relawan untuk uji klinis keburu sudah divaksin. Padahal cara kerja dan proses pembuatannya tidaklah terlalu rumit, sepanjang ada para ahli, ada laboratoriumdan ada anggaran.

"Memang saat ini terdapat kendala seperti yang disampaikan oleh Amin Soebandrio, Kepala LBM Eijkman. Selain ketersediaan relawan untuk uji , juga persoalan fasilitas laboratorioum yang kurang mumpuni," katanya lagi.

Uji praklinis juga mendapat kendala terkait dengan ketersediaan Animal-BSL-3 dan Fasilitas GMOP untuk propduksi masih sangat tebatas untuk tiap platform yang keduanya merupakan komponen penting dalam mendukung proses praklinis.

Baca Juga: Vaksinasi Belum Merata di Negara Miskin, Dirjen WHO Minta Negara-negara Kaya Hentikan Sementara Vaksin Booster

"Kita jangan lagi terbuai dengan Vaksin Nusantara yang setelah memakan waktu yang cukup panjang, akhirnya jenis vaksin ini hampir pasti tak dapat diproduksi dan dilaksanakan untuk kebutuhan massal dalam waktu yang singkat. Apalagi untuk ekspor," katanya.

Menurutnya, Indonesia harus fokus untuk membuat jenis vaksin yang setara dengan vaksin yang diproduksi oleh industri farmasi di dunia.

Saat ini ada jenis Vaksin yang sedang dikembangkan di Indonesia yakni Vaksin Merah Putih. Arah yang dilakukan Tim penemu Vaksin Merah Putih sudah benar. Tahapannya dimulai dari riset, uji klinis sampai pada penerapannya dalam aktivitas industri farmasi.

Pembuatan vaksinnya sendiri menggunakan virus yang diisolasi dan diapplikasikan dengan protein S dan N yang berasal dari PCR analisis genetic ekspresi protein. Kemudian proses dilanjutkan dengan kloning secara bertahap. Prose kloning dilakukan bertujuan untuk memasukkan protein ke dalam sistem, ekskresi mamalia atau ragi.

Sel-sel itulah kemudian dijadikan pabrik untuk pembuatan sel yang menghasilkan protein yang sudah didesain. Jika proses ini sudah berjalan, proses selanjutnya tidak lagi diulang dari awal tapi fokus pada pembuatan sel untuk menghasilkan protein.

Protein inilah yang kemudian menjadi bibit vaksin. Setelah melalui beberapa tahapan, bibit vaksin ini diproses, kemudian diuji coba pada hewan. Jika hasilnya baik, maka uji klinis bisa dilanjutkan ke fase 1 hingga 3. Saat Vaksin sudah mendapatEmergency Use Authorization (EUA), vaksin dapat diproduksi dalam skala besar untuk disebarluaskan dan digunakan.

"Oleh karena itu sebaiknya Tim Vaksin Merah Putih harus terus bekerja. Walau terlambat itu harus dilakukan dari pada tidak sama sekali. Jika Indonesia tidak melakukan itu maka Indonesia akan tetap menjadi Negara konsumen. Habis devisa negara kita keluar hanya untuk membeli vaksin," tandasnya.***

Editor: Dicky Aditya

Tags

Terkini

Terpopuler